Metode Sokratik untuk Anak Kelas 1 SD

Ken Andari
8 min readOct 1, 2022

--

Tadi aku berkesempatan untuk mengikuti micro-teaching yang diadakan Sekolah Al-Amanah, sekolah anakku. Kami, orangtua murid berperan jadi anak-anak yang diajarkan oleh guru mereka di sekolah, sehingga kami bisa mengalami langsung dan memahami apa yang mereka pelajari di sekolah serta bagaimana cara mereka belajar. Karena kalau ditanya, “Tadi belajar apa?” anakku kadang menjawab, “Nggak belajar tuh, main-main aja.” Nah loh. Di satu sisi, berarti ia sangat menikmati harinya di sekolah hingga sama sekali tidak merasa sedang belajar, tapi di sisi lain kami sebagai orangtua kan pingin recall juga apa yang mereka dapat di sekolah. Di sekolah ini, tidak ada buku tulis, tidak ada buku paket maupun LKS dan PR yang dibawa pulang anak-anak. Semuanya ada di sekolah.

Sekolah anakku menggunakan metode sentra, bukan jadwal pelajaran. Ada sentra matematika, sentra seni, sentra sains, sentra bahasa, dan sentra iman-taqwa; masing-masing satu sentra setiap hari Senin-Jumat. Tadi aku mengikuti sentra bahasa bersama Bu Dina, guru yang diceritakan Ali paling sabar dan pelan-pelan ngajarnya; ketika kelas yang lain sudah selesai makan dan solat, kelompok mereka masih makan 😂

Pengalaman Belajar yang Konkrit
Bulan lalu, anakku belajar dengan tema alat gerak dan kali ini temanya adalah alat indera. Bu Dina membawa alat peraga anatomi mata manusia. Lalu mulai bertanya kepada murid,
“Ada yang tahu ini apa?” Mataaaa… Bu Dina membuka tiap bagian-bagian mata. Alih-alih menerangkan, Bu Dina mengajak anak berdiskusi dua arah dengan terus-menerus mengajukan pertanyaan; probing questions untuk membuat anak berelasi dengan apa yang sedang ia paparkan. Tiap bagian mata itu bisa dilihat, dibuka satu per satu, dipegang, dibongkar, dan disusun lagi oleh anak.

“Teman-teman tahu, mata digunakan untuk apa?” Melihaaat…
“Apa saja sih yang bisa kita lihat dengan mata?” Banyak bu guruuuu… Apa ajalah Bu! Semuanya bisa dilihat bu!
“Betul, banyak sekali yang bisa kita lihat dengan mata. Boleh sebutkan?” Pohon! Buku! Matahari!

Di sini, aku melihat Bu Dina memancing anak untuk berpikir dan mengucapkan sebanyak mungkin kosakata, bukan hanya ungkapan “banyak”, “apa aja”, atau “semuanya”. Sesungguhnya, kosakata dan kemampuan berkomunikasi anak masih terbatas. Itulah sebabnya kalau kita tanya, “Tadi ngapain aja?” maka dia jawab dengan “Ya gitu-gitu aja.” Biasanya, kita sebagai orangtua tidak sabar dan bertanya, “Iya gitu-gitu tuh ngapain kaaaak?” Tetapi Bu Dina dengan sangat telaten, sabar, mengajukan pertanyaan satu per satu atas setiap jawaban anak dan memancingnya sampai tiba di jawaban yang tepat. Aku teringat deskripsi Charlotte Mason di sini tentang sikap ibu/guru yang “hopeful and expectant, not reproachful” saat mendampingi anak.

Aku pikir, inilah inti dari sentra bahasa — guru memantik dan melatih kemampuan berbahasa anak; membantunya merekonstruksi kosakata yang ia miliki di dalam otak lalu mengucapkannya dalam kalimat yang benar. Tak tampak oleh mata, tapi kita tahu bahwa otak manusia bekerja sedemikian kompleks. Adalah Dr Brenda Fitzgerald, yang telah melakukan riset selama puluhan tahun lamanya, dan menemukan bahwa salah satu faktor penting yang memicu kecerdasan anak adalah stimulasi bahasa. Coba tonton di sini, talk to your baby. Tak peduli status finansial dan ekonomi keluarga, jika kamu bisa terus menerus mengajak anak-anak berbicara, memperdengarkannya banyak kosakata dan intonasi, maka semakin banyak kabel yang tersambung dalam otaknya yang sedang berkembang pesat. Anak yang memiliki kemampuan berbahasa mumpuni, terbukti memiliki kecerdasan yang lebih tinggi.

Bu Dina menunjukkan dua kotak bersekat yang berisi kartu huruf, huruf kapital dan kotak lainnya huruf kecil.
“Kalau matahari, bagaimana ya tulisannya?” Lalu anak-anak mulai mengambil satu per satu huruf dari kotak untuk menyusun kata MATAHARI. Anak usia dini belajar dengan hal konkrit, sesuatu yang dapat mereka lihat, pegang, ambil. Huruf dan angka adalah simbol, dan anak-anak tidak dapat langsung membayangkan simbol tanpa pernah memiliki pengalaman konkrit terkait hal yang ia pelajari. Lazim kita dengar anak berusaha membayangkan simbol huruf dan angka dengan benda yang ia kenali. Huruf A itu seperti segitiga tapi ada garisnya di tengah! Huruf Q itu seperti kecebong! Huruf I itu kok mirip ya dengan tiang bendera? Kalau huruf H itu seperti jembatan! Kartu huruf membantu mereka memiliki pengalaman konkrit dan berelasi dengan simbol huruf.

Setelah itu, Bu Dina mengambil selembar kertas bertuliskan susunan abjad lengkap; dan satu kertas bertuliskan susunan abjad dengan 5 huruf yang hilang.

“Huruf apa saja ya yang tidak ada di sini?” A-I-U-E-O!
“Baik, teman-teman, kelima huruf tadi namanya huruf vokal. Coba teman-teman sebutkan kata yang dimulai dengan huruf vokal!” Apel! Air! Udang! Otot! Otak! Ember! Ikan!
“Alhamdulillah, sekarang Bu Dina punya kertas, boleh tuliskan ya yang teman-teman sebutkan tadi. Kertasnya ini berwarna putih dan tebal (Bu Dina SELALU mendeskripsikan segala sesuatu untuk memperkaya kosakata anak), teman-teman tuliskan ya yang dimulai dengan A-I-U-E-O. Kira-kira bagaimana ya supaya tulisan di sini rapi?” Digaris Bu! Tulisannya kecil-kecil saja!

Bu Dina menerima semua jawaban anak, tidak ada benar atau salah. Tetapi bila ada jawaban yang kurang tepat, ia akan bertanya lagi dan mengajak si anak berpikir kritis mengenai jawabannya sendiri. Sehingga, kalau jawabannya kurang pas, si anak pula yang akan menyadarinya. Metode ini disebut dengan metode Sokratik; ya betul, karena beginilah filsuf Socrates mengajarkan orang-orang untuk berpikir dan menemukan ide.

Alih-alih menceramahi mereka tentang apa yang menurutnya benar, Socrates justru mengajukan berbagai pertanyaan yang membuat orang menemukan sendiri kebenaran itu. Hanya dengan bertanya, ia menuntun orang untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya ia inginkan untuk mereka ketahui. Pengajaran semacam ini, yang dilakukan hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, disebut sebagai gaya belajar Sokratik. (Saduran dari A Child’s History of The World)

Hal ini sangat berbeda dengan metode didaktik seperti zaman kita sekolah dulu, di mana kita didikte, guru panjang lebar menerangkan, kita menyalin, merangkum, mengerjakan soal — metode pembelajaran yang berjalan satu arah. Metode Sokratik memungkinkan pembelajaran berlangsung dua arah dan mengaktifkan kerja otak anak. Jadi mereka tidak hanya “disuapi” pengetahuan, melainkan dipantik untuk menemukan sendiri pengetahuan itu.

“Bu guru, nulis IGUANA gimana?” tanya seorang anak. Jauh lebih mudah nggak sih untuk “Sini-sini, ibu tulisin!” atau didikte “I tulis i! Terus G! U gimana hayo huruf U! Terus A, tulis A!” dst. Tapi Bu Dina membimbing anak untuk mengucapkan kata IGUANA, lalu mengira-ngira sendiri huruf apa saja ya itu? Coba lihat huruf-huruf di dalam kotak ini, perhatikan, ambil kartunya, sudah ketemu? Nah coba tuliskan bagaimana bentuk huruf G itu? Kebayang, dia melakukan itu kepada TIAP-TIAP anak; dalam kelas Ali, ada 15 anak. Tidak heran, perkara menulis 5 kosakata yang berawalan huruf A-I-U-E-O ini saja bisa berlangsung selama 45 menit. Masya Alloh Bu Dina… kalau aku sih jelas udah gemes duluan 😂😂 Aku juga pernah ngajarin Ali baca di rumah, nggak ada 15 menit udah kelar… karena anaknya kabur dan mamahnya emosi. Bubar!

Pembelajaran Holistik
Oke, sekarang anak sudah dipersilakan untuk mulai “bekerja”, istilah yang digunakan untuk mengerjakan tugas. Kalau tadi sesi berlangsung sambil lesehan di lantai dengan posisi melingkar, ketika bekerja dengan alat tulis anak-anak harus melakukannya di meja dan kursi; sambil dilatihkan kebiasaan duduk dan menulis dengan postur yang tepat. Meja dan kursi yang tersedia di sekolah, terletak di beberapa titik dan ada berbagai model. Ada yang melingkar, persegi, ada yang tinggi ada pula meja pendek seukuran meja lipat.

Suasana kelas Ali

“Silakan teman-teman pilih kursi dan meja untuk mulai bekerja ya.”
“Bu aku duduk di mana?”
“Kamu mau bekerja sendiri atau dengan teman?”
“Aku mau bareng sama si A, B, dan C.”
“Berarti… ada berapa orang?”
“1, 2, 3, 4 —sama aku ada empat orang Bu!”
“Silakan kakak pilih meja dan kursi yang sekiranya cukup untuk kalian.”
Anak dipersilakan memilih kondisi yang paling nyaman untuknya, bersama teman-teman yang ia rasa nyaman juga untuk bekerja bersama.

Bu Dina berkeliling ke tiap-tiap anak sembari mereka bekerja, terus mengajukan pertanyaan dan membantu mereka menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Anak boleh mewarnai, menambahkan gambar, pada lembar kerja mereka yang tadi diperintahkan menulis 5 kata berawalan huruf vokal. Setelah selesai, anak-anak berkumpul lagi dalam lingkaran dan masing-masing diminta untuk… mempresentasikan hasil kerja mereka serta mengaitkannya dengan pembelajaran yang tadi dilakukan bersama.

“Ada yang sudah siap? Atau mau Bu Dina pilih?” Bu Dina memantik inisiatif dan kepercayaan diri anak.

Satu per satu, anak berbicara di depan teman-teman dan bu guru sambil memegang hasil lembar kerja mereka. Kadang ada yang malu-malu, berbicara pelan, Bu Dina akan bertanya, “Apakah teman-teman bisa lihat kertas Ali?” Tidak… “Teman-teman bisa mendengar suara Ali?” Tidak… “Boleh Ali, bagaimana caranya agar teman-temannya bisa lihat/mendengar?” Ali mengatur posisinya agar semua teman bisa lihat, dan mengontrol suaranya agar teman-temannya bisa dengar. Bukan berbisik, bukan teriak. Bu Dina mengajarkan tentang kontrol diri.

Suamiku berkomentar, “Itu persis metode yang biasa kita pakai untuk melatih fasilitator, kader, itu POD namanya — Pembelajaran Orang Dewasa — juga dipakai untuk mahasiswa. Kerenlah kalau anak kelas 1 SD sudah belajar dengan cara itu,” katanya saat aku bercerita pengalamanku di sekolah tadi. Aku melihatnya sebagai metode pendidikan yang menghargai pribadi anak. Berbeda dengan filosofi Herbartian yang memandang anak sebagai ember kosong, kertas putih yang bebas dituliskan, clay yang bisa dibentuk jadi apa saja, anak dianggap pasif dan tinggal “mangap” disuapi pengetahuan— metode yang dilakukan guru Ali memungkinkan anak berpikir kritis dan kreatif, mengidentifikasi masalah serta menemukan sendiri solusinya.

Aku mengerti kenapa tidak ada “jadwal pelajaran” atau buku pelajaran tematik untuk Ali. Ini adalah pendidikan holistik, yang tidak mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan; dan bahwa hidup ini seluruhnya adalah proses belajar. Mulai dari sains tentang anatomi dan fungsi panca indera (mata), kemudian mengenal alfabet dan menyusun kata, matematika (menghitung jumlah teman yang sesuai dengan jumlah bangku serta ukuran meja), pembiasaan postur duduk yang tepat untuk menulis, berkreasi dan melatih rasa keindahan, hingga kemampuan berbicara di depan umum!

Tidak hanya “hasil kerja” intelektual yang tampak, Bu Dina juga menanyakan bagaimana perasaan anak setelah sesi tersebut. Ia menerima, memvalidasi semua emosi yang anak ungkapkan. Senang, seru, pusing, pegel, apapun itu. Ini juga merupakan bagian penting dari kecerdasan emosional; anak belajar mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata dan merasa aman untuk mengungkapkan bahkan emosi negatif karena guru menerima perasaannya tanpa menghakimi.

Apakah setelah presentasi ini sesi pelajaran berakhir? Belum. Bu Dina meminta anak-anak untuk “beres-beres”, merapikan lagi semua alat tulis dan membantu Bu Dina meletakkan alat peraga dan kartu huruf kembali ke tempatnya. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan makan siang bersama, sambil berbincang-bincang ringan — di mana Bu Dina masih terus melatih kosakata anak tentang makanan yang mereka makan, serta melatihkan kebiasaan baik dan adab makan.

The education of habit is successful in so far as it enables the mother to let her children alone, not teasing them with perpetual commands and directions — a running fire of Do and Don’t; but letting them go their own way and grow; habits quite other than these, are inspired by the child as the very atmosphere of his home, the air he lives in and must grow by. (Vol. 1 pg 138)

Kebayang, semua ini dilatihkan kepada anak kelas 1 SD. Ini bukan hanya soal mengisi titik-titik jawaban, menghafal alfabet, menyalin barisan kata, it’s a whole nother level of learning. Ini adalah pembelajaran yang mencakup keseluruhan aspek dalam diri anak dan membantunya untuk berelasi dengan dunia sekitar. Terima kasih Bu Dina dan Al-Amanah atas pengalaman hari ini! Rasanya tidak sabar untuk dapat mengalami sendiri sentra matematika, seni, dan sentra lainnya!

--

--

Ken Andari

Ex-jurnalis yang banting setir jadi ibu rumah tangga. Charlotte Mason education, permaculture & history enthusiast