Tulisan ini dimuat di majalah Swa edisi Maret 2018. Ulasan tentang Ideosource Film Fund juga dimuat di Big Circle–MetroTV. Here’s the English version.

Ideosource Film Fund, Siap Mendanai Sineas Indonesia

Investasi di Ekosistem Industri Film

Andi Boediman
8 min readOct 27, 2017

Beberapa bulan lalu saya mulai berlangganan Hooq, sebuah aplikasi video streaming besutan Singtel dan Sony Pictures Television and Warner Bros. Kemacetan Jakarta tidak lagi menjadi momok, tetapi menjadi kesempatan asyiknya menonton film Indonesia yang tidak banyak tersedia di channel lain. Mulai dari Ca Bau Kan, Perahu Kertas, Soekarno, Garuda Di Dadaku, Ada Apa Dengan Cinta dan banyak lagi.

Ketika menonton Cek Toko Sebelah di bioskop karya Ernest Prakasa, seakan film ini bercerita tentang keluarga sendiri. Dan saya sangat menikmati Kartini sebagai karya terbaik Hanung Brahmantyo. Saya jatuh cinta lagi dengan film Indonesia.

Dengan pengalaman di Ideosource Venture Capital yang memiliki fokus investasi di startup teknologi, apakah film adalah industri yang investable dan scalable?

Sumber: MPAA

.

Besarnya Pasar Film

Merujuk dari laporan tahunan MPAA, Indonesia adalah pasar ke 15 untuk film Hollywood sebesar 300 juta USD atau sekitar 4T IDR. Melihat jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seharusnya kita punya potensi pasar yang jauh lebih besar.

Sumber: Filmindonesia.or.id

Pasar untuk film Indonesia bisa dilihat dari situs Filmindonesia.or.id. Merujuk hanya dari 15 film Indonesia dengan pendapatan tertinggi, penjualan tiket terendah terjadi di tahun 2010 dengan 8 juta tiket, sedang tahun 2016 adalah tahun terbaik dengan 30 juta tiket terjual. Jika harga tiket rata2 adalah IDR 35 ribu, maka besarnya pasar untuk film Indonesia adalah sekitar IT IDR. Jadi film Indonesia memiliki pangsa pasar sebesar 20% dari total pasar film.

Sumber: Tirto

Jumlah banyaknya film impor berkisar di antara 200 hingga 275 film setiap tahunnya, dibanding dengan film Indonesia yang terus meningkat dan mencapai 120 film. Ini menunjukkan bahwa kita tidak punya problem suplai. Dengan suplai 30% dari total film, maka penjualan tiket tiap film masih belum lebih rendah dibanding dengan film-film Hollywood.

Analisa Film Terlaris

Melihat data film terlaris di Indonesia, ternyata terdapat siklus 4 tahunan. Menurut seorang teman, pengembangan cerita yang baik membutuhkan setidaknya 1 tahun di luar waktu yang dibutuhkan untuk produksi. Siklus di Indonesia ini awalnya terjadi karena Miles Film merilis film utama mereka di setiap 4 tahun; hal ini terjadi di tahun 2008 dengan Laskar Pelangi dan 2016 dengan Ada Apa Dengan Cinta 2, tetapi tidak terjadi di tahun 2012. Siklus ini terbukti bisa berubah, di tahun 2017 jumlah tiket yang terjual mencapai 41 juta tiket, terjadi kenaikan dari 2016 yang mencapai 35 juta tiket.

Uniknya, jika ada film kuat, ternyata mampu menarik naik seluruh industri film. Menonton film Indonesia seakan reuni dengan kawan lama, terkadang lupa, tetapi ketika bertemu, menjadi kangen untuk lebih sering bertemu.

Falcon Pictures menjadi pemain dominan sejak berhasil dengan Comic 8, dilanjutkan dengan Warkop DKI Reborn dan My Stupid Boss. Formula yang diterapkan adalah menggunakan karakter yang sudah dikenal seperti aktor kondang, standup comedian dan atau Intellectual Property yang sudah terbukti, baik dari film lama atau novel. Ini dibumbui dengan menciptakan keunikan dengan ‘memplesetkan’ aktor seperti Reza Rahadian di My Stupid Boss dan Abimana Aryasatya sebagai Dono di Warkop DKI Reborn.

Sumber: Stephen Follows

Dari perspektif alokasi bujet, para produser mengalokasikan 10–20% bujet untuk marketing. Dibandingkan dengan Hollywood, studio film besar memiliki bujet marketing tahunan yang akan dibagi berdasarkan potensi pasar dari film-film yang mereka pasarkan di tahun tersebut. Dan mereka membagi sama antara proporsi bujet marketing dibanding dengan produksi. Dengan kekuatan marketing dan distribusi ini, maka film mendapat kesempatan bersaing secara sehat dan punya kesempatan dikenal oleh potensi pasarnya.

Ada 4 genre yang terbukti memiliki pasar yang konsisten, Komedi, Drama, Horor dan Drama Muslim. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah banyaknya tiket terjual untuk genre komedi adalah 57 juta tiket dengan 55 film masuk dalam daftar 15 film terlaris tahunan. Drama menyusul dengan 35 juta tiket dan 41 film, diikuti Horor dengan 33 juta dan 46 film serta Drama Muslim dengan 22 juta dan 20 film.

Biopik & Sejarah seperti tokoh pahlawan dan tokoh sejarah terbukti menarik minat penonton dengan film yang paling sukses adalah Habibie & Ainun. Genre Nusantara yang menunjukkan keberagaman Indonesia juga memiliki pasar dan kekuatan tersendiri, seperti halnya Laskar Pelangi.

Genre lain seperti Action, Thriller, Drama Anak, Petualangan dan Musikal masih kurang sekali dari sisi suplai. Action dan Musikal membutuhkan pengembangan setidaknya 2 tahun karena panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan rehearsal.

Dari perspektif manajemen portofolio, investasi di genre yang sudah terbukti perlu dilakukan secara konsisten, sedang untuk genre yang suplainya masih kurang, perlu mendapatkan alokasi secara berkala.

Source: Ideosource Analysis

Value Chain Industri Film

Dari sisi suplai, pelaku industri film cukup terfragmentasi, pemain lama seperti Starvision, Soraya, Rapi Films dan MD Entertainment terbukti mampu menghasilkan produksi film yang konsisten dan melakukan strategi portofolio investasi, dengan kombinasi beberapa film yang berbujet lebih kecil dan film kuat dengan bujet tinggi. Kombinasi ini memberikan hasil yang cukup stabil dari sisi jumlah penonton yang diraih dan revenue yang didapatkan. Falcon Pictures yang datang dengan formula baru membuktikan bahwa pasar film Indonesia masih bisa tumbuh signifikan. Screenplay Films dan Legacy Pictures mampu secara menghasilkan beberapa film berkualitas. KG Production dan Mizan banyak mengambil IP (intellectual property) dari novel untuk diangkat ke layar lebar, kebanyakan melakukan kolaborasi dengan production company lain. Lifelike Pictures bermitra dengan 20th Century Fox melakukan investasi besar di Wiro Sableng yang akan dirilis tahun 2018.

13 Entertainment, Falcon Pictures dan Multivision membeli IP dari banyak film lama. Mereka melakukan restorasi film, melakukan digitasi dan kemudian menjualnya sebagai bagian dari library yang dijual ke channel TV kabel dan OTT (over the top) seperti Hooq.

21 masih mendominasi 80% jumlah layar di Indonesia. Karena menanggung biaya operasional, mereka mensyaratkan agar film punya daya tarik terhadap penonton dan jika tidak memenuhi target penonton, maka film akan diturunkan segera. Karena kekuatan 21, keberadaan pemain distribusi di lokal tidak diperlukan, produser bernegosiasi langsung untuk mendapatkan layar. Film berbujet kecil dari production house independen mendapatkan 30–50 layar, dan karena cukup banyak film-film ini tidak memiliki strategi pemasaran yang baik, maka hanya mampu bertahan dalam hitungan 1–2 minggu.

Film kuat seperti AADC2 awalnya mendapatkan 180 layar bersaing dengan Captain America: Civil War yang mendapatkan 500 layar. Karena permintaan yang demikian tingginya, AADC2 mampu mendapatkan layar hingga 500 layar menggeser Captain America. Artinya jika film nasional punya daya saing dari sisi produk dan pemasaran, penonton Indonesia sangat menyukai konten yang relevan. Banyak yang menonton lebih dari sekali, baik secara individu maupun melakukan ‘nonton bareng’ yang sangat khas penonton Indonesia.

Dari kacamata komersial, 21 punya pilihan untuk menayangkan film Hollywood yang kualitas lebih konsisten dibanding film lokal yang meskipun punya relevansi lokal, tetapi kualitas naik turun dan tidak dipasarkan dengan baik. Produser Indonesia akhirnya membatasi bujet produksi untuk mengatur resiko investasi yang akhirnya mengorbankan kualitas. Ini menjadi problem yang tidak berkesudahan. Jika ada investasi film yang mendanai produksi dan marketing film secara berimbang, maka akan lebih banyak film Indonesia memiliki kualitas terjaga. Ini akan menciptakan stabilitas pasar karena penonton mendapatkan kualitas tontonan yang konsisten.

Keberadaan layar di Indonesia masih jauh dari ideal, saat ini untuk menonton, karena lokasi bioskop kebanyakan di dalam mall, satu keluarga akan menghabiskan setidaknya 200 ribu hingga 500 ribu IDR untuk makan, nonton, beli popcorn, dll. Kondisi ini tidak cocok dengan profile masyarakat kelas menengah yang alokasi belanja di kisaran 100–200 ribu IDR. Kita memerlukan bioskop yang ditargetkan di kelas menengah dalam jumlah besar untuk memperluas distribusi.

OTT seperti Netflix mendapatkan tantangan dari Hooq, iFlix, Genflix, Mox yang memiliki banyak konten lokal. Netflix akan tetap menyasar pasar high-end, sedang di pasar kelas menengah bagi mereka yang punya konten lokal kuat, akan menjadi pilihan bagi penonton; terbukti bahwa film seperti AADC2 dan Dear Nathan ketika tersedia di Hooq sangat mendominasi tontonan dibanding dengan film-film impor.

Penjualan tiket online melalui GoTix atas tiket CGV dan Cinemaxx sudah memberikan kontribusi signifikan. 21 kini juga sedang mempersiapkan terobosan untuk distribusi tiket melalui online. Di China, penjualan tiket sudah 90% terjadi secara online, bahkan untuk film-film dengan IP kuat, sudah bisa dibeli jauh hari sebelum film tayang atau bahkan dibuat.

Dalam ekosistem industri film, dukungan dari agensi marketing dan publishing ternyata berperan penting di dalam memaksimalkan publisitas dan revenue dari channel lain. Selain itu peran dari film festival, organisasi dan edukasi juga menjadi faktor pendukung dari keseluruhan ekosistem.

Menjawab pertanyaan awal, industri film menjadi investable melalui strategi portfolio investasi dan scalable jika berinvestasi di dalam keseluruhan ekosistem.

Manajemen Resiko Investasi

Berinvestasi pada dasarnya adalah melakukan manajemen resiko. Dari 120 film yang ditayangkan di tahun 2017, hanya 11 film yang menjangkau penjualan lebih dari 1 juta tiket, di mana dengan harga jual tiket 35 ribu, maka pendapatan total adalah 35M. Produser akan mendapatkan 50% dengan pendapatan sekitar 17M. Dari kacamata resiko, jika berinvestasi di individual film, maka kita perlu berinvestasi di 11 film sebelum mendapatkan 1 ‘jackpot’ dengan jumlah penonton di atas 1 juta. Bagi investor individual, akan sangat beresiko untuk berinvestasi satu persatu. Berinvestasi sekaligus di 10 film menjadi strategi manajemen resiko yang sangat baik karena keuntungan dari film ‘jackpot’ akan menutup semua kerugian yang mungkin dialami.

Pilihan Investasi Film

Sejak dimulai di tahun 2018, Ideosource Film Fund berinvestasi di beberapa film seperti Kulari Ke Pantai dari Miles Film, Aruna & Lidahnya dari Palari Films dan Keluarga Cemara dari Visinema.

Kulari Ke Pantai adalah sebuah cerita perjalanan keluarga yang mengunjungi beberapa tempat terindah di Indonesia. Film ini merupakan karya dari Mira Lesmana dan Riri Riza, duo di belakang Petualangan Sherina & Laskar Pelangi.
Aruna dan Lidahnya tak hanya bercerita tentang kekayaan kuliner Indonesia, tetapi juga indahnya persahabatan yang memiliki minat sama: makanan.
Keluarga Cemara adalah cerminan keluarga Indonesia. Film ini berasal dari serial TV di tahun 90an dan novel karya Arswendo Atmowiloto.

Ideosource Film Fund

Ideosource Film Fund (IFF) merupakan dana investasi yang berfokus untuk pembiayaan film Indonesia. Melalui kerja sama dengan produser yang terbukti sukses secara komersial, investor mendapat akses terhadap potensi keuntungan yang dihasilkan oleh industri film. IFF diatur untuk berinvestasi di beberapa portofolio film pilihan dan juga investasi di ekosistem industri film.

Kepada para sineas Indonesia, mari kita bangun bersama industri film Indonesia. Proposal film silakan di-submit melalui situs Ideosource atau email ke film@ideosource.com.

Dan untuk para investor, jika Anda tertarik melakukan investasi, silakan submit kontak di situs Ideosource atau email nama dan kontak Anda ke filmfund@ideosource.com.

__________________________

Versi 2.2 30 Juni 2018

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Bekraf khususnya kepada Triawan Munaf (Kepala Bekraf), Ricky Pesik (Wakil Kepala Bekraf), Fadjar Hutomo (Deputi Akses Permodalan Bekraf) dan Hanifah Makarim (Kasubdit Dana Masyarakat Direktorat Akses Non Perbankan Deputi Akses Permodalan)

Terima kasih kepada rekan-rekan yang memberikan masukan untuk riset di industri film ini: Rahadian Agung (Kravtd), Salman Aristo (Wahana Kreator), Kemal Arsjad (Lynx Films), Pandu Birantoro (IDS|International Design School), Manuel Irwanputera (Kerjaku), Vincent Henry Iswaratioso (Dana), Mira Lesmana (Miles Film), Mandy Marahimin (Tanakhir Films), Edy Nugroho (E-motion & Studio E), Robert Ronny (Legacy Pictures), Rafli Ridwan (Mox), Krishnan Rajagopalan (Hooq & Laughing Elephant), Lavesh Samtani & Manoj Samtani(13 Entertainment), Alex Sihar (BPI), Edy Sulistyo (Loket), Putut Widjanarko (Mizan Publika), Dellawati Wijaya (Hooq).

--

--

Andi Boediman

CEO of Ideosource Entertainment. Investing in content & film industry ecosystem.