Senja | Part.1

Annelis Brilian
3 min readDec 16, 2017

--

Sekali lagi, ia menitipkan cerita pada senja. Gurat jingga menemani begitu banyak kisah yang datang dan pergi. Salah satunya, hari ini.

“Smoking area gedung kita jadi lebih nyaman kalau langitnya begini.”

Sebenarnya aku mendengar suara itu, tapi entah dia sedang berbicara dengan siapa. Sejujurnya, aku tak peduli. Dan masih tekun memandang layar ponsel, berusaha mendapat angle dan frame terbaik dari senja yang sangat dramatis sore ini.

Senja akan segera berlalu…

THURSDAY

There’s always something about sunset and buildings.
17.58
Seguni Building

uploaded.

Dipikir-pikir, Instagram storiesku belakangan ini sudah seperti laporan cuaca. Ketika hujan, terik, terlebih saat sunset sangat menggoda seperti ini, pasti tak pernah terlewat untuk diunggah.

“Nice catch,” ujarnya. Tiba-tiba saja menolehkan wajah ke arahku sambil memperlihatkan layar ponsel. Oh, dia bicara padaku ternyata. Jangan-jangan yang tadi juga?

“Hm?” aku masih tidak mengerti. Kenapa fotoku tadi bisa ada di layar ponselnya?

“Well, zaman sekarang tak sulit mencari tahu tentang seseorang. Gue tadi penasaran lo lagi ngapain, serius banget. Terus iseng cek Instagram pake location dan menemukan ini,” ujarnya sambil setengah nyengir. Awkward.

“Stalker?”

“Ha ha ha, bukan. Adam,” pria itu menyodorkan tangan.

“Tara.”

Aku sering melihatnya di taman ini. Satu-satunya tempat yang didatangi karyawan satu gedung perkantoran ketika ingin menyesap tembakau di sela padatnya jadwal dan tuntutan pekerjaan.

“Memangnya ada apa dengan senja dan gedung tinggi?”

“Suka aja. Di antara semua momen sunset, sunset yang ngintip di sela gedung itu paling menarik,” jawabku. Masih sambil memandangi langit.

“Bukan pantai?”

“Bukan pantai.”

Dia terlihat seperti masih menunggu jawaban selanjutnya.

“Buat gue, Dam, senja di antara gedung tinggi itu seperti memberi harapan. Tandanya sebentar lagi kita pulang dan berkumpul sama keluarga, teman, atau orang-orang lain yang kita pilih.”

“Tanda saatnya kita rehat dari segala deadline, emails, dan phone call yang berhubungan sama kerjaan?”

“Yes.”

“Sebelum besok dimulai lagi?”

“Shit, lupakan bagian itu. Ha ha ha. Dan dia seperti motivasi, as a thin line between professional to personal timing. Ketika lo lihat sunset di pantai, misalnya. Well indah sih, gue suka juga, dengan cara yang berbeda. Karena dia sangat gamblang. Saat lihat sunset di jalan, misalnya, iya indah banget tapi kendaraan kita pun semakin melaju mendekati sunset. Yang disangka semakin deket semakin indah, kenyataannya enggak. Sunset itu bukan buat digapai, cukup dilihat dari kejauhan.”

“I see. Sementara di sini kita cuma duduk dan nggak berusaha menggapai. Kita diem, lihat dia ngintip-ngintip di balik gedung. Sampai akhirnya berlalu. Dan itu lebih… what should I say, dramatic?”

“It is. Gedung-gedung tinggi sendiri, buat gue, adalah harapan. Atau motivasi. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Harapan akan ambisi. Motivasi yang mengingatkan gue kenapa harus ada di sini, di Jakarta. Kenapa harus kerja sampai segitunya. Duile, segitunya. Dan well, kenapa gue jadi chatty gini ya? Ha ha ha.”

“Make sense. Very make sense. Dan gue jadi mikir…”

“Mikir?”

“Iya gue berusaha mencerna dan yang lo bilang ada benernya. Hal-hal di sekitar, kalau dive deep the meaning of its presence, bisa jadi pemberi harapan dan motivasi. And I will see the sunset differently since now I think. Religiously, in a more contemplating way. Ha ha ha.”

“You should! Haha. Mood lo lagi pas, ya? Pekerja-pekerja butuh motivasi dan harapan,” balasku setengah mencibir dan tertawa.

Hening. Kami sibuk dengan sesapan rokok, senja, dan pikiran masing-masing.

“Gue naik duluan ya,” ujarku sambil mematikan bara dan merapikan barang-barang.

“Oke Ra, see you in another ciggs break?”

“We’ll see.”

--

--

Annelis Brilian

“In this most opinionated world, when was the last time you put your feelings?” Here is, the cheesy side of me.