Senja | Part.3

Annelis Brilian
3 min readDec 25, 2017

--

“Well somehow, sesuatu yang nggak spesial, justru kaya makna.”

‘Overhere!’ Adam melambai sambil menggerakkan bibir tanpa suara, lalu menunjuk bangku di sebelahnya.

“Daritadi?”

“Baru nyalain. Sebatang pertama,” ia mengangkat sebatang rokok putih. “Masih masuk aja udah akhir tahun kejepit gini? Loyalitas, ya?”

“Eh, ngaca!” ujarku tergelak.

“Ya nikmati aja, Ra. Akhir tahun gini orang-orang udah kabur cuti panjang kita malah masih di sini. Positifnya, taman ini jadi kosong. Nggak susah nyari duduk!”

“Elo biasanya juga berdiri di sana, bukan? Sok-sokan butuh duduk,” ujarku, menunjuk satu spot yang biasa diisi dia dan gerombolannya.

“Stalker?” Sialan. Dia membalas tuduhanku tempo hari.

“No, because you are the regular.”

“What, is it 9Junes?” dia semakin tergelak. Sialan sialan sialan.

“Look who the stalker is!” aku ikut tergelak. Mendadak senang karena menemukan celah untuk balik mencibirnya. 9Junes pasti tercetus karena dia lihat Insta Story-ku semalam.

Tadi malam. 6 of us. 9Junes. Double gin-tonic.

We always prefer bar over club.

Mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang lain dengan hasrat berbincang kelewat tinggi. Setiap bar seperti sengaja didesain untuk berkeluh-kesah.

Musiknya tidak bising, tapi mengumbar melankolia. Dinding-dindingnya menyerap begitu banyak cerita, sudut-sudutnya menyimpan rahasia, bahkan setiap jengkal langit-langitnya, penuh maklum menyaksikan ragam kegamangan dan kekonyolan manusia.

Di sisi lain, kepulan asap-asap rokok yang membumbung memenuhi udara, seolah mengupas lapis demi lapis beban yang memberatkan pundak.

“Tadi siang gue denger lagu ‘Help’ The Beatles di Uber. Dan denger lagu itu di usia sekarang kok jadi berasa beda banget, ya, maknanya?”

“Beda gimana?”

When I was younger, so much younger than today. I never needed anybody’s help in any way. But now these days are gone and I’m not so self assured. Now I find I’ve changed my mind, I’ve opened up the doors!”

Aku, menyanyi? Ah, the Gin effect.

I know that I just need you like I’ve never done before!” dia tetiba berdiri, mengangkat gelas sambil menyanyikan baris lain dari lagu itu.

Cheers!
Enam gelas beradu.

Waktu terkadang membuat pertemanan melentur ke sana ke mari. Merajut pertemanan dan persahabatan lain, menghabiskan waktu dengan orang yang berbeda, hingga terjebak dalam rutinitas baru yang membuat pertemuan menjadi langka.

Perubahan fase hidup memang memaksa kita membuka suatu babak. Menyerap kondisi lain. Hingga persepsi terukir dan kadang beberapa hal tak lagi sama.

Ada apa dengan pertemanan dan usia? Orang-orang bilang, seiring waktu kita akan kehilangan teman. Dan aku membayangkan orang yang pertama mencetuskan hal itu adalah orang paling kesepian.

Mungkin dia sedang membutuhkan seseorang untuk bertukar pikiran atau sekadar menerima nasib dan menertawakan diri. Lantas melihat sekeliling dan tidak ada siapa-siapa. Itu menyedihkan. Setidaknya menurutku.

Sementara kami, kami memiliki kehidupan yang tak lagi sama. Itu pasti. Namun ada saatnya saling menarik dan bertemu di satu titik. Itu patut disyukuri.

“Tapi kalau dipikir-pikir, apa sih yang kurang sekarang ini? I mean, we have a a job, we have a little place called home, we have a perfect partner in life, right? What else?”

“Bukan, ini bukan masalah ada yang kurang dalam hidup. Don’t you go there. Ini cuma karena butuh ngeluh aja sih. Kayak lo kerja, di kantor harus berakting perfect, maintaining everything itu kan capek. Senyam-senyum di depan klien, sok bijak di depan tim. Di sela poker face sepanjang waktu, gosh we just need to laugh at ourself. Or to whatever yang sebenernya enggak lucu!”

Kami setuju.

Cheers.
Enam gelas kembali beradu.

Kadang kita tidak selalu membutuhkan obrolan berat sarat makna. Kadang kita hanya perlu waktu bersama, untuk sejenak melonggarkan otot-otot kepala di sela pencarian makna. Jadi, apakah kamu membutuhkan hidup yang bahagia atau hidup yang bermakna?

Di umur sekarang, aku baru menyadari bahwa hidup yang bahagia dan bermakna, adalah dua hal yang berbeda.

“Senja lo itu belum dateng-dateng lagi, Ra,” cetusnya setelah kami sempat sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Baguslah. kalau ada setiap hari, jadi nggak spesial.”

“Well somehow, sesuatu yang nggak spesial, justru kaya makna.”

Bukankah ini seperti suatu kebetulan? Tidak sampai 24 jam, lagi-lagi berbicara tentang makna.

“Tell me about it,” aku menyalakan sebatang lain, urung menyudahi pertemuan.

--

--

Annelis Brilian

“In this most opinionated world, when was the last time you put your feelings?” Here is, the cheesy side of me.