Dibalik Advokasimu

Anwar Farihin
8 min readApr 27, 2020

--

Apa tuh? umisakovda dong?? gak deng JK :) Seperti yang sudah sempat disinggung pada post agile, Advokasimu dikembangkan oleh tim scrum keren yang bernama LePepe, berisi Saya, Naufal, Igna, Falya dan Cici. Disini, saya akan membahas bagaimana kami bisa menjadi suatu tim yang kompak, utuh dan saling melengkapi (semoga gitu ya hehe).

Disklaimer: tulisan ini ditulis benar-benar hanya untuk berbagi pengalaman dan tidak ada niatan untuk bertinggi hati. LePepe pun masih butuh banyak kritik dan saran, karena keterbatasan ilmu yang kami miliki.

Bagaimana LePepe bisa menjadi LePepe?

Jika kamu sedang atau sudah pernah mengambil mata kuliah PPL di Fasilkom UI, kamu pasti tahu betul bagaimana dramanya pembentukan tim PPL. Tak jarang perpecahan antar teman terjadi dalam proses pembentukan tim PPL. Awalnya, PPL dari tahun ke tahun selalu terdiri dari tim yang berisi 6 orang. Akibatnya, timbul asumsi dari kami mahasiswa angkatan 2017, bahwa kemungkinan PPL kami akan terdiri dari 6 orang juga. Akhirnya kami membentuk tim berisi 6 orang (tim sekarang + yafonia, sekarang masuk tim kelas sebelah hehe :) ). Namun ternyata, Pada bulan Januari diumumkan bahwa PPL pada angkatan kami per tim diinstruksikan untuk hanya terdiri dari 5 orang, bukan 6.

Akhirnya, setelah diskusi panjang antar kelompok, alhamdulillah tanpa perpecahan yang terjadi akhirnya yafon memutuskan untuk mengundurkan diri dan masuk ke kelompok teman saya yang lain, sehingga terbentuklah tim final LePepe yang terdiri dari 5 orang.

LePepe pada awal sprint 1. Lucu kan? :)

Berbicara tentang tim, ada sebuah teori yang dipelopori oleh Bruce Tuckman, mengenai fase perkembangan tim. teori tersebut juga umumnya dikenal sebagai Tuckman’s stages of group development yang terbagi menjadi 4, yaitu Forming — Storming — Norming — Performing.

Fase Forming kami sudah lewat, yaitu pada awal pembentukan tim sampai awal-awal sprint 1, seperti yang sudah diceritakan diatas. Pada masa forming kami belum tahu tentang kemampuan masing-masing dari kami, pun dulu kami merasa pekerjaan yang akan kami hadapi masih blur. Kami belum tahu bahasa apa yang akan kami gunakan. Klien tiba-tiba me-request proyek berbasis mobile apps. Namun ternyata begitulah masa forming, seiring berjalannya waktu akhirnya kami saling mengenal satu sama lain dan pelan-pelan menjadi semakin menyatu.

Tips pada masa forming: kenali tim mu secara pribadi, lakukan obrolan diluar pekerjaan yang mana akan mengubah “teman di tim” menjadi teman sungguhan, menghilangkan sekat-sekat yang bisa menghambat efektifitas sebuah tim. Lakukan tim building yang bisa mencairkan suasana tim agar kedepannya bisa menjadi lebih relaxed.

Kemudian, fase Storming. Seiring dengan meningkatnya kedekatan kami sebagai tim, perasaan khawatir muncul. Gimana kalo sprint ini semua fitur ga kelar? yang ngerjain fitur ini siapa ya?kayaknya gue ga mampu deh. dsb. Kira-kira begitulah yang sering muncul di pikiran saya dan teman-teman. Perbedaan latar belakang pada tiap anggota tim memang sangat mungkin untuk mentrigger pemikirian-pemikiran seperti itu. Kami bahkan mempertanyakan apakah klien akan menerima semua PBI yang kami ambil.

Tips pada fase storming: tingkatkan komunikasi dan rasa saling percaya, hilangkan ego masing-masing. Fokus kepada tujuan awal, yaitu fitur-fitur yang harus segera diimplementasikan dengan baik. Relax.

Fase berikutnya yaitu fase Norming. Pada fase ini, sebuah tim saling bahu membahu. Saling memahami satu sama lain. Istilahnya, fase norming adalah transisi menuju fase performing, namun belum perform.mengkritisi hal-hal yang beum sempurna, atau tidak sungkan untuk meminta bantuan jika membutuhkan. Kami baru merasakan kami pada fase norming yaitu pada sprint ke-2.

tips pada fase norming: jaga semangat, motivasi teman-teman kamu. Yakini bahwa bersama-sama bisa lanjut ke fase performing.

fase terakhir: fase Performing. Fase ini merupakan fase ideal, puncak dari segala fase yang ada. Sebuah tim yang sedang perform maka tim tersebut mencapai level efisiensi dan produktifitas secara maksimal. Saya sendiri berpikir bahwa kami belum mencapai fase ini, karena masih banyak sekali hal yang harus diimprove dari kami. Menurut saya pun, tim scrum PPL tidak benar-benar merepresentasikan tim scrum seperti pada dunia nyata, Kami bukanlah strangers yang dipertemukan untuk bekerja sama hingga goal kami tercapai, karena kami sudah mengenal satu sama lain bahkan dari 2 tahun sebelum LePepe dibentuk. Namun ternyata secara umum, teori Tuckman ternyata tetap relate dengan kami.

diagram Tuckman’s stages of group development

Saya akan mencoba berbagi pengalaman kami dalam (usaha) membentuk tim scrum yang ideal.

1. Pahami Peran dalam Tim

Tim scrum memiliki jumlah anggota yang cenderung kecil (5–12 orang). Artinya, setiap orang diharuskan berkontribusi secara signifikan dalam tim tersebut. Meskipun pada PPL role yang ada tidak dieksplisitkan, namun secara implisit kami sudah tahu role masing-masing. Sebut saja pada tim kami, Igna si-master-js yang memegang svelte berkolaborasi dengan jin si-master-flutter untuk bertanggung jawab terhadap backend alias condong menuju role hacker. Cici dan Falya yang keduanya sama-sama jago desain dan front end bertanggung jawab atas mockup-mockup yang ada alias condong menuju role hipster. Kalau saya yang ga kemana-mana lebih suka ngoprek-ngoprek dokumen akhirnya mengarah kepada hustler-hustleran deh hehe :). Akhirnya dalam menghadapi suatu problem, kami tahu siapa yang memiliki kemampuan lebih terhadap penyelesaian problem tersebut dan akhirnya menjadi lebih cepat diselesaikan deh.

2. Kita, Bukan Saya

Katanya, programmer tidak berurusan dengan orang. Ga salah sih, tapi teman anggota tim kamu apa? bukan orang? hehe. Karena sebenarnya kita juga berurusan dengan orang meskipun dengan skala yang lebih kecil. Meskipun demikian, kita juga harus memiliki empati yang tinggi. Bahasa kerennya put ourself in other’s shoes lah. Segala hal yang kita lakukan, letakkan di kacamata yang lebih luas. Coba lihat dari perspektif orang lain. Pikiri dampak dari setiap langkah yang dilakukan pada setiap anggota tim. Lihat sekeliling, apakah ada yang butuh bantuan yang lebih?

3. Tim Building

Tim dalam scrum bukan sekedar tim. Kita harus mengenal satu sama lain dengan baik. Hal-hal yang kami lakukan untuk membangun koneksi satu sama lain menjadi lebih kuat yaitu:

  • Bermain ping-pong. keberadaan tim yang terdiri dari Igna sebagai atlet ping-pong dan Naufal sebagai sport boy membuat kami sering sekali bermain ping-pong, terutama cowok-cowok. bahkan satu hari sebelum sprint review, disela-sela kodingan yang kami tulis, kami mengistirahatkan pikiran kami dengan bermain ping-pong hehe.
  • Men-surprise anggota tim yang sedang berulang tahun. Hal ini dilakukan secara terus menerus, walaupun sebenarnya udah ga surprise sih. Akibat dari surprise-surprise-an ini, kami jadi lebih dekat secara personal deh.
LePepe saat memberi surprise kepada saya yang sedang berulang tahun
  • Melakukan coding bersama sambil bermain ke rumah anggota LePepe. Sambil menyelam minum air, kalau kata peribahasa. fiturnya done, fun-nya juga dapet deh hehe.

4. Manfaatkan Retrospective dengan Baik

contoh board retro LePepe

Seringkali saya merasa malas pada saat harus retrospective. duh, retro lagi retro lagi. Namun, salah satu faktor yang bisa meng-improve efisiensi dari tim scrum adalah retrospective. Contohnya pada saat menuliskan hal-hal baik dan buruk, kita bisa berbagi pengalaman dengan teman-teman mengenai apa yang kita rasakan. Kemudian pada start and stop, kita bisa memberi saran dan mengkritisi tim kita mengenai apa yang harus dimulai atau diberhentikan. Contohnya, pada saat retro 2 kami menulis “bikin milestones” karena kami terlalu sering menjadi tim 23.55 alias deadliner, yang akhirnya kami terapkan pembuatan milestones pada sprint ke-4 dan ternyata memperjelas seluruh progress tiap pekerjaan yang sedang dikerjakan, dan memaksa kami untuk mencicil fitur yang sedang dikerjakan.

contoh isi start pada retro LePepe

Juga tentang “stop commit dengan message tidak jelas” yang mengakibatkan kehatian-hatian yang meningkat pada kami setiap ingin memberi commit message di git.

contoh isi stop pada retro LePepe

5. Jangan takut untuk berkolaborasi dengan PO dan Scrum Master

Memang sebuah tim developer scrum harus independen dalam menyelesaikan suatu problem. Namun, bukan berarti PO dan Scrum Master tidak dibutuhkan. Jika ada halangan yang bisa menghambat tim kamu, bisa kamu konsultasikan ke PO / Scrum Master, karena mereka pasti memiliki perspektif lain yang akan memberi solusi alternatif dari problem yang kamu miliki.

6. Ciptakan Atmosfir yang Baik

Jika ada masalah, bicarakan baik-baik. Jika atmosfir tim sudah buruk, maka bisa berimpact pada performa tim. Selain sebagai kolega, kamu bisa saling berbagi keluh kesah, saling memberi empati. Koneksi antar individu yang lebih dalam bisa membangun chemistry yang lebih baik. Chemistry yang lebih baik bisa menghindarkan tim dari permasalahan-permasalahan sepele seperti konflik, ngilang, dll.

Igna mengkritik pemerintah

7. Ciptakan Budaya Kerja Tim

Agar produktif, selain budaya-budaya yang sudah disebutkan diatas, kami juga membuat beberapa peraturan tidak tertulis:

  • Setiap minimal seminggu sekali, kita melakukan coding bersama. Entah 1 orang ngoding dan yang lainnya belajar (biasanya ini pada awal transisi suaatu bahasa), atau ngoding masing-masing sambil berbincang hangat. Biasanya kami menggunakan lab gedung baru. Namun karena wabah COVID, akhirnya kami lakukan via Discord.
coding bersama yang kami lakukan via discord selama pandemi
  • Jika ada artikel atau video yang menarik dan berguna yang terkait dengan proyek kami, maka kami biasa saling share link di grup telegram.
Naufal membagikan tontonannya ke khalayak masyarakat LePepe
  • Kami berusaha untuk merutinkan untuk datang ke workshop-workshop coding yang ada. kemarin sempat 1 kali datang ke workshop komunitas Flutter Jakarta yang diadakan di kantor Google. Belajar lebih lah istilahnya.
LePepe pasca talks yang diadakan Flutter Jakarta
  • Jika ada masalah yang benar-benar menghambat, dicoba dibahas bersama-sama dan dicari solusinya. seperti kemarin sempat ada bug pada halaman registrasi akun, yang ternyata sudah pernah di solve sebelumnya , sehingga waktu yang dihabiskan secara cuma-cuma untuk mendebug bisa diminamilisir.
Naufal yang memulai diskusi tentang, dia juga yang solve hm??

Sekian post saya kali ini, kalau ada yang kurang mohon dimaafkan. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari apa yang saya alami bersama LePepe. Terakhir, jangan lupa pantau kami melalui @lepepedepepeel di instagram (alias jangan lupa follow :D). Semoga bermanfaat!

--

--