All I Want

ran
5 min readMay 5, 2022

--

Kala arunika menyapa semesta, mataku akan terbuka oleh sebuah ketukan pintu yang lembut, hal biasa yang kehadirannya selalu kudamba.

Ketika pintu putih itu kubuka, disana akan berdiri seorang gadis serupa malaikat yang menyapa awal hariku sehangat arunika.

“Pagi, Saga” Senyumnya yang meluruhkan hatiku akan selalu membuatku rindu.

“Pagi juga, Dira. Mau sarapan bersama?” Kutawarkan hal yang selalu kami lakukan, ah memang aneh.

“Tidak kali ini, Saga. Aku harus pergi sekarang, aku mau pamit padamu dan tolong jagakan Pipi ya” Untuk pertama kalinya ia tolak kebiasaan kami dan menitipkan anjing kecil yang kami pelihara selama 1 tahun ini.

“Pergi kemana, Ra?”

“Rumah sakit…” Cicitnya kecil. Senyumku meluruh karenanya, ah dokter kecil ini.

“Sepagi ini? Semuanya baik?”

“Tentu, hanya ingin lebih rajin.” Kata itu menambah kegelisahanku, tapi aku harus apa ketika orang tua dira datang dan melambai dengan senyum, sebelum membawa dira bersama mereka menaiki sebuah mobil sport hitam.

Sudah seminggu setelah perginya Dira dan aku merindunya.

Di tengah hari yang terik ketukan itu kudengar kembali saat aku sedang memberi Pipi makan.

Saat pintu kubuka wajah pucat Dira yang pertama menyapaku, bersama sebuah senyum yang selalu kudamba.

“Hai, Saga. Lama tidak jumpa” Kupeluk Ia erat menumpahkan semua kerinduanku.

“Kapan pulang?” Ku ajak ia duduk pada kursi putih depan rumahku.

“Baru saja, Papa ingin mengambil baju dan aku memaksa ikut.” Raut ceria yang biasa kudapati darinya kini terganti dengan raut lesu yang tak pernah ingin kulihat lagi.

“Maaf tidak bisa menyusulmu, pekerjaanku sangat padat. Hari ini aku libur, dan baru saja mau ke sana setelah memberi pipi makan” Ia mengelus Pipi yang berada di pangkuannya, ah bahkan anjing itu melewatkan makanan kesukannnya demi Dira.

“Tidak masalah, Saga. Aku baik-baik saja”

“Aku akan mengiyakannya untuk kali ini. Emh Dira, aku rindu.” Bibir kami bertemu, kami tumpahkan setiap rindu di sana, air mata kami jatuh menganak sungai dalam lembutnya ciuman tanpa hasrat.

Begitu lama hingga tepukan lemahnya mengakhiri ciuman itu.

“Ayo putus, Saga.” Remuk, seakan sebuah tombak tak kasat mata menusuk tepat pada hatiku.

“Dira?” Ia tundukkan kepalanya, dan bulir-bulir itu jatuh semakin deras.

“A — aku takut, Saga.” Ku dekap ia pada kehangatan pelukan seorang kekasih yang hancur.

“Apa yang kamu takutkan? Bukankah kita sudah pernah melewati ini? Bahkan saat itu aku tidak meminta hal itu padamu, Sayang. Maafkan aku tidak di sampingmu selama seminggu ini, tapi Dira aku mengejar waktu untuk mengambil cuti panjangku dan menemanimu.” Selembut mungkin kujelaskan padanya betapa salahnya keputusan yang diambilnya itu.

“Tetap saja. Bagaimana jika aku tak sekuat kamu, bagaimana jika aku pergi dan membawa luka yang lebih dalam untukmu?” Nadanya begitu putus asa, dan ini bukan Diraku.

“Kamu lebih kuat, Sayang. Bahkan hari itu kamu bisa menguatkanku, mengapa hari ini kamu putus asa?” Kuusap lembut kepala berrambut coklatnya.

“Memberi orang lain pengertian memang lebih mudah, Saga. Tapi jika kualami sendiri rasanya sangat sulit.”

Menghela nafas, kubawa tubuhnya menjauhi dekapanku agar netra kami bertemu.

“Kamu bisa, kamu kuat, karena kamu Dira. Dira seorang sukarelawan yang pernah membantu kesembuhanku walaupun ia memiliki yang sama. Penyakit kita memang berbeda tapi kamu pasti kuat, Sayang. Kita lalui bersama, aku akan selalu di sisimu, bersamamu, dan mendukungmu melewati semua ini. Demi Papa, Mama, Pipi, dan Masa depan kita.” Anggukan lemah ia berikan sebelum kembali melesakkan kepalanya pada dadaku.

Setiap ketukan pagi yang kudengar menghilang, kini yang kudapati hanya suara alarm yang membangunkanku beserta jilatan dari lidah kasar milik Pipi yang kelaparan.

All i want is nothing more
To hear you knocking at my door
Cause if i could see your face once more
I could die as a happy man, i’m sure

Hari itu, ketika aku mendekapnya erat, semua sudah terlambat.

Selama 5 bulan sejak hari itu ia selalu berjuang kembali melewati kesulitannya. Tapi ia kelelahan, ia terlalu lelah bahkan untuk sekedar mengingatku. Tumornya menyerang bagian lobus temporal.

Keadaannya lebih parah dariku waktu itu ternyata. “Saga…lelahh…” Suara lirihnya begitu menyayat hatiku.

“Apa yang Dira mau?” Suaraku terdengar bergetar dan kuakui aku sedang menahan tangis saat ini.

“Tidur….” Kedua orang tua Dia sudah menangis tersedu melihat keadaan putri tunggal mereka.

Hari itu dia mengingat kami, namun hal yang pertama ia utarakan adalah mengenai ia yang merasa lelah.

“Dira sayang….Mama tau kamu lelah, ayo tidur, Papa dan Mama akan selalu menjaga Dira di sini” Mama menimpali dengan suara seraknya, dan mengelus lembut kepala putrinya.

“Papa dan mama sangat sayang Dira, terimakasih sudah menjadi anak yang hebat.” Papa pun sama tak kalah hancur melihat anak kesayangannya begitu lemah.

Mata dira mengerjap lemah sebelum kembali memandang padaku, mungkin ia ingin kata terakhir juga dariku?

“Hey, kamu lelah sekali ya…” Anggukan ia beri sebagai jawabannya. Kuusap pipi tirusnya.

“Kamu sangat hebat, Dira sangat hebat, Sayang. Lihat Dira berhasil sampai sejauh ini, tapi jika Dira lelah Dira bisa tidur, aku akan menemani Dira hingga benar-benar tidur nyenyak.” Kucium lembut dahinya yang membuat senyum lemah itu merekah.

“Sayang…. ka — lian” Mata indah kesukaanku sudah terpejam dan dapat kutangkap kata terakhir yang keluar dari bibir pucatnya yang tak bersuara, ‘terimakasih’ katanya sebelum benar-benar tidur dengan raut begitu damai.

When you said your last goodbye
I died a little bit inside

Papa dan Mama pindah setelah hari itu meninggalkan kenangan Dira disini bersamaku dan Pipi.

I lay in tears in bed all night
Alone without you by my side

Setiap air mata yang jatuh mengingatkanku pada setiap kenangan yang pernah kami rajut bersama.

Dimulai dari pertemuan kami sebagai relawan dan pasien yang berakhir dengan sebuah perasaan aneh yang kami kenal dengan cinta.

“Saat kamu sembuh baru aku mau menjadi kekasihmu” Ribuan kali kunyatakan cinta padanya dan jawabannya akan selalu begitu.

Aku yang saat itu seorang pengidap gagal jantung bertemu dengan seorang pengidap kanker otak.

Aku yang sudah putus asa dikuatkan oleh ia yang sebenarnya lemah.

Aku yang saat itu sudah memilih jatuh pada kegelapan diselamatkan olehnya yang menyinari laksana cahaya surya.

Dia mencarikanku sebuah donor dan menyelamatkan hidupku. Sedangkan aku hanya bisa menemaninya melewati kesulitan yang ia hadapi dan senantiasa menguatkannya walau akhirnya ia pun pergi.

Cause you brought out the best of me
A part of me i’d never seen
You took my soul and wiped it clean
Our love was made for movie screens

Ketika kukantongi sebuah kesembuhan ia bersedia menjadi kekasihku, dan saat itu aku tahu bahwa ia ternyata lebih rapuh dariku.

“Aku juga mencintaimu, Saga. Selama 6 bulan bersamamu aku akhirnya memiliki rasa itu juga untukmu. Tapi aku takut kau akan menjauh setelah tahu penyakitku.”

“Tidak akan, ayo lewati itu bersama seperti yang kau lakukan padaku.” Kubulatkan tekadku saat itu dan mulai menemaninya terapi dan segala alternative penyembuhan lain, tapi aku benci mengingat jika ia akhirnya pergi setelah semua yang kami lalui.

But if you loved me
Why’d you leave me
Take my body
Take my body

Lima tahun setelah kepergiannya aku mulai menata hidup kembali, sendirian. Pipi juga meninggalkanku setahun setelah kepergian Dira, ah aku iri padanya yang lebih dulu menemui Dira.

Dan saat ini aku tinggal di sebuah kota yang pernah ku kunjungi bersama Dira dahulu, Hamsterdam. Meninggalkan setiap kenangan menyakitkan Dira di rumah lamaku dan memilih menyusun kembali masa depan bersama kenangan indah Dira.

All i want is
And all i need is
To find somebody
I’ll find somebody
Like you oh..oh..oh..oh

Aku Saga dengan ini menyatakan bahwa dengan ini detik-detik terakhirku di dunia aku ucapkan selamat tinggal pada semesta yang memberiku pembelajaran, dan aku akan menemui kekasihku, sampai jumpa pada takdir berikutnya yang dipercayakan padaku dan kekasihku, Dira.

Tunggu aku di kebahagiaan abadi, Dira.

End

--

--