Pada cermin rias di ruang tengah, selalu sepanjang waktu kau duduk memandang diri, menghabiskan puluhan menit hanya untuk metas rupa, disana kau melukis alis, lalu pada lentik matamu kau lukis garis serupa puisi yang indah, Kadang pula kau tambahkan rona jingga pada sepasang pipimu.
Namun malam itu, kau ingin memecahnya dengan satu kepalan, lalu mengutuknya sepanjang malam. Pikirmu pecahannya ingin kau gunakan menyayat diri, biar kau lupa dengan kesakitan yang lain. Kini kau merasa sendiri, tanpa seorangpun. Sepi yang benar-benar sunyi.
Serupa Yunus yang diacuhkan umatnya, apartemenmu berubah seolah menjadi kedalaman perut paus yang begitu gelap.
Waktu itu kau ingin mati dengan cepat, biar syaraf otakmu tidak dapat merespon rasa sakit, tapi kau kembali bingung dengan cara apa, selain dengan delakan kuat kapal selam di kedalaman samudera?
Kau banyak terbayang akan kematian yang sepi, layaknya Fatima yang dimakamkan tanpa upacara. Namun kau berbeda. kau dikutuk, sedang Fatima dimuliakan. Tak akan ada penghormatan penuh keharuan padamalam kematianmu, sebab kau bukan Aisha Ibu dari orang-orang yang beriman, — kau hanya pemilik kesepian yang panjang.
Kini kau berdiri pada sisi ambiguitas, Antara dosa dan doa. Menjelang kehabisan darah yang mengucur dari sobekan nadimu, kau berdoa: semoga Tuhan memberi kilas balik yang indah, bukan memoar penuh ketakutan, amiin.
-K