Amieruddin Rizqi Ghazali
4 min readJul 15, 2020

Kompleksitas Pencemaran dalam Pertanian Konvensional

Penyemrpotan Pestisida (sumber: Liputan 6/ 038896500_1565179240-MURI-Penyuluhan-Petani8.jpg)

Jika merujuk pada trend kenaikan jumlah penduduk tiap tahunnya, maka kita bisa pastikan jumlah penduduk di masa depan akan semakin meningkat, begitu pula dengan kebutuhan pangan. Saat ini, sebagian besar bahan pangan dipasok dari pertanian konvensional yang menggunakan lahan luas sedangkan luas lahan pertanian terus berkurang akibat alih lahan jadi permukiman. Banyak yang memilih untuk memaksimalkan proses pemupukan dan pengendalian hama agar hasil panen bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk karena perluasan lahan tidak lagi memungkinkan. Sayangnya kedua aktivitas ini telah menimbulkan banyak masalah lain, yaitu menurunnya tingkat kesuburan tanah, meningkatnya pertumbuhan jamur batang pada tanaman padi penyebab ambles pada padi, meningkatnya pertumbuhan gulma dan rumput akibat sisa pupuk yang mengalir ke sungai, meningkatnya jenis hama baru karena mutasi akibat penggunaan pengendali hama yang berlebihan, dan masih banyak lagi. Kalau kita bandingkan, semula yang masalahnya hanya karena berkurangnya lahan, sekarang masalahnya bertambah lebih rumit dari itu. Dan diperparah lagi dengan masih banyaknya limbah industri dan rumah tangga yang langsung saja dibuang ke saluran air padahal sebagian besar sumber air pertanian didapat dari saluran air yang tercemar itu. Baik pertanian yang berteknologi tinggi di Amerika Serikat maupun berteknologi sederhana seperti di Indonesia akan mengalami hal yang sama walau ada sedikit perbedaan pada pelaksanaannya. Akibat yang lebih serius akan timbul apabila zat-zat yang dipakai untuk pemupukan dan pengendalian hama maupun dari limbah di perairan terakumulasi dalam hasil panen yang didapat, tentu akan sangat membahayakan kesehatan.

Fenomena ini akan terus terulang atau bahkan semakin parah apabila semua pihak tidak sama-sama memperhatikan masalah ini karena masalah ini cukup komplek dan melibatkan banyak pihak. Ada sebuah konsep yang dapat dipakai untuk menilai betapa rumitnya masalah ini, konsep tersebut dinamakan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Kata volatility berarti tidak stabil atau tidak terduga, aspek volatility dari permasalah di paragraf pertama adalah tidak adanya jaminan apakah pencemaran ini hanya disebabkan oleh aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan ataukah ada penyebab lain yang bisa jadi memiliki pengaruh besar tetapi samar untuk di deteksi. Sedangkan aspek uncertainty (ketidakjelasan) pada masalah tersebut pada ketidaktahuan kapan dan bagaimana bisa mengakhiri masalah tersebut jika model pertaniannya tetap seperti itu. Adapun aspek complexity atau kompleksitas masalah terletak pada banyaknya pihak yang terdampak dan terlibat dalam masalah ini mulai dari pengelola lahan, pelaku industri, masyarakat umum, produsen pupuk dan zat pengendali hama, pemerintah, dan masih banyak lagi. Dan yang terakhir adalah aspek ambiguity atau samarnya hubungan sebab akibat dari masalah tersebut. Bisa jadi pengelola lahan menuding masyarakat sekitar lahan dan pemangku kebijakan sebagai pihak yang patut bertanggung-jawab dan menyebabkan terjadinya pencemaran tersebut karena tidak adanya upaya untuk mencegah terjadinya pembangunan permukiman di kawasan pertanian. Akan tetapi bisa juga pengelola lahan dituding sebagai penyebab pencemaran itu karena pemupukan dan pengendalian hama tidak lain adalah upayanya yang disengaja. Itu pun masih bisa disangkal jika melibatkan zat-zat yang dipakai pengelola lahan tentu produsen pupuk dan pengendali hama bisa saja jadi pihak yang bertanggung jawab dengan alasan mengapa zat-zat yang digunakan berbahaya untuk manusia, dan masih banyak lagi hubungan sebab akibat yang samar dari masalah ini.

Inilah beberapa alasan, mengapa saya perlu mengangkat topik ini. Pertama, kuantitas bahan pangan sangatlah perlu diperbanyak namun kualitas mutu juga perlu dijaga atau bahkan ditingkatkan. Kedua, dengan semakin parahnya tingkat pencemaran air, tanah, dan udara maka upaya yang lebih ramah lingkungan memang perlu dilakukan terlebih kompleksnya pihak yang terlibat dalam sektor ini sehingga konsep lingkungan yang sehat perlu diketahui oleh setiap pihak. Ketiga, masih kurangnya inovasi-inovasi pertanian yang eco-friendly dan bisa diterapkan oleh pengelola lahan pada umumnya. Keempat, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua pihak saja, semua pihak yang terlibat dan yang terdampak perlu bekerjasama dalam mengatasinya. Oleh karena itu perlu rasanya saya menawarkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut dari perspektif yang berbeda pada setiap pihak yang paling terlibat dalam masalah ini, namun pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan solusi untuk pihak pengelola lahan terlebih dahulu.

Untuk pengelola lahan, ada setidaknya dua solusi yang bisa saya tawarkan untuk menjawab masalah tersebut. Pertama, menggunakan model precision farming dalam pengolahannya. Model ini akan memberikan banyak informasi yang berkaitan dengan kebutuhan nutrisi, kebutuhan pasokan air, pertumbuhan tanaman, dan sebagainya. Melalui model ini pengelola lahan bisa memetakan hal-hal yang perlu dilakukan dan yang dibutuhkan oleh tanaman, sebagai contoh: pada tanaman disebelah sisi utara menurut hasil dari precision farming menunjukan bahwa tanaman di bagian tersebutlah yang kekurangan nutrisi maka pengelola lahan akan lebih bisa menentukan tindakan yang tepat yaitu hanya memupuk bagian itu saja. Contoh lain misalnya tanaman di sisi timur menurut hasil dari precision farming menunjukakan bahwa tanaman dikawasan tersebut terserang jamur, maka penyemprotan fungisida bisa disemprotkan di daerah itu saja. Penggunaan model ini akan menghemat biaya pemeliharaan dan meminimalisir efek pencemaran yang dihasilkan sekaligus bisa meningkatkan hasil panen lebih banyak lagi karena penanganannya yang tepat dan efektif. Selain itu ada solusi berikutnya yaitu model pertanian vertikal. Model ini bisa mengatasi masalah kurangnya luas lahan tapi perlu menyiapkan biaya tambahan agar bisa menerapkan model ini. Selama ini model pertanian vertikal hanya diterapkan pada tanaman holtikultura yaitu sayur-sayuran. Sehingga, penerapan model ini pada tanaman pangan pokok akan menjadi tantangan tersendiri. Penanamannya dilakukan secara vertikal pada media yang berdiri kemudian ditanami pada beberapa sisinya sehingga bisa menanam lebih banyak tanaman dari pada sistem menanam di media tanam mendatar dalam luasan yang sama. Apabila model ini dikombinasikan dengan model precision farming maka akan lebih mungkin untuk dilakukan. Dan menurut perkiraan, model ini akan lebih maksimal dalam memberikan hasil karena kita bisa menambah tanaman dengan meninggikan media tanamannya. Inilah dua solusi yang bisa saya tawarkan untuk pengelola lahan. Dan masih banyak lagi solusi-solusi lain di edisi berikutnya.