Diary #2 : Harga dari Sebuah Lelucon

Ariq Sri Nalendra
5 min readJun 1, 2024

Untuk Maharani, Nadhira, dan Hani. Inspirasi pembelajaran yang berarti. Untuk Samy Abiyyu yang tak perlu belajar untuk menjadi humoris.

Saya mempunyai kepercayaan penuh bahwa saya memiliki selera humor yang baik, setidaknya ibuku mengatakannya seperti itu oke? Saya mungkin tidak terlahir memiliki hal itu, namun percayalah saya terus mencoba belajar untuk mahir tentang hal itu. Kenapa hal itu saya anggap penting? biar saya jawab secara jujur, Saya membenci situasi yang sungguh serius.

Berbeda dengan saya, Sammy Abiyyu atau biasa disapa dengan Biyul rasanya tak perlu pengakuan dari ibunya, ia benar-benar telah memiliki seluruh pengakuan teman-teman SMA nya kala itu. Gaya bahasa dan intonasi khas suku Betawi tulen yang ceplas-ceplos membuat Biyul tak perlu berusaha untuk membuat lelucon yang menghibur dan dapat diterima diseluruh kalangan. Tak heran ia secara otomatis menjadi salah satu Voice Jockey, orang yang memandu rangkaian pada acara pentas seni tahunan selama empat hari berturut-turut.

Biyul menyulap acara itu menjadi lebih cair dan dapat dinikmati pada setiap sesi nya untuk tampil, yang bahkan ketika acara serius seperti sambutan Kepala Sekolah dapat dibungkus dengan rapih dengan melontarkan beberapa lelucon yang membuat pandangan audiens tak lepas padanya. Ketika sesi nya berakhir, penonton menunjukan raut datar, tak bersemangat, dan memperbaiki posisi duduk yang sekiranya nyaman untuk tidur.

Saya belajar darinya bahwa terlalu serius selalu membawa kita kedalam situasi yang hening, kaku, dan sulit mendapat perhatian orang-orang. Percaya atau tidak, Saya adalah orang yang cukup haus akan perhatian, setidaknya perhatian orang-orang disekitar saya. Humor selalu berhasil membuat saya diperhatikan, seperti pada saat berbincang, saat rapat, bahkan saat presentasi projek yang disaksikan dosen dengan lencana ‘killer’. Lelucon yang baik selalu dapat diandalkan untuk mendapatkan tertawaan dan perhatian.

“Terlalu serius selalu membawa kita kedalam situasi yang hening, kaku, dan sulit mendapat perhatian orang-orang”.

Saya tak pernah malu mengakui bahwa saya haus akan perhatian, setidaknya terhadap orang disekitar saya. Bukankah diperhatikan oleh seseorang adalah tanda seseorang menghormati apa yang kita bicarakan? Bukankah itu yang dicari oleh guru-guru ketika secara tak sadar melantunkan dongeng saat seharusnya ia mengajar? Bukankah itu yang dicari oleh setiap murid yang mempresentasikan karya nya di depan guru dan teman-temannya? Lalu mengapa sungkan untuk mengakui bahwa kita semua ingin diperhatikan dan haus akan hal itu, setidaknya pada waktu-waktu tertentu.

“Bukankah diperhatikan oleh seseorang adalah tanda seseorang menghormati apa yang kita bicarakan?”

Saya memandang lelucon sebagai karya seni layaknya sebuah lukisan atau pahatan, keindahan sihir kata-kata yang ditunjukan oleh senimannya membuat banyak orang rela untuk membayar dengan harga tak murah hanya untuk menikmatinya tak sampai satu jam. Saya tak bercanda, Saya pernah mengundang seorang komika yang dibayar seperempat anggaran acara hanya untuk menyampaikan leluconnya yang tak sampai satu jam. Oke mari kembali ke satu kata “Seni”. Bagi Duke Ellington “Seni itu berbahaya”, katanya, “Itu salah satu daya tariknya. Jika seni berhenti berbahaya, orang-orang tak lagi menginginkannya”. Jika seni itu berbahaya, saya merasa sudah cukup cakap dengan konsekuensi nya.

“Seni itu berbahaya”, katanya, “Itu salah satu daya tariknya. Jika seni berhenti berbahaya, orang-orang tak lagi menginginkannya”.

“Stop ngeluh dhir…bayangkan orang tua antum susah payah bekerja demi kuliah antum”, pesan yang saya kirim dengan maksud candaan menanggapi keluhannya perihal informasi kuliah offline dadakan di grup WhatsApp kelas dengan alasan jarak rumah nya ke kampus yang cukup jauh. “Bayarin ongkos pp 80 ribu riq”, balas salah satu temannya menanggapi pesan saya. “Beban banget buat orang tua lu (dengan emoji dua tangan sopan)”, balas saya tak lama kemudian dengan maksud serupa, bercanda.

Saya berani bertaruh hari itu mungkin saya menjadi musuh publik nomor satu dikelas saya. Mereka membalas pesan saya dengan penuh amarah dan rasa tidak terima. Mereka bukanlah orang yang mengenal diri saya satu atau dua minggu, kami cukup dekat dan cukup mengenal satu sama lain selama dua tahun, bahkan kami sering terlibat dalam kelompok projek yang sama. Pesan-pesan balasan mereka hanya membuat diri saya kebingungan, bukankah ini candaan biasa yang saya sering gunakan?kenapa menimbulkan reaksi yang berbeda? Muncul berbagai pertanyaan tanpa jawaban dalam benak saya kala itu.

Cerita beralih pada Biyul, sudah tiga tahun lebih saya tak kunjung bertemu Biyul, jarang pula sekadar betegur sapa di sosial media. Suatu hari, dirinya memberikan komentar terhadap IG Story saya yang berisi kegiatan magang di suatu perusahaan dengan kata-kata “Orang dalem”. Sontak seluruh darah saya terpompa ke kepala untuk memikirkan kata-kata jahat untuk membalas perbuatannya, bahkan terpikir untuk menelponnya hanya untuk memberinya pelajaran dengan kata-kata kasar. Namun niat itu saya urungkan selama dua jam, selama dua jam saya hanya berpikir, bagaimana jika Bibiw menyampaikan kata-kata itu kepada saya secara langsung? Tentu kata-kata itu keluar dengan intonasi dan mimik wajah betawi tulen yang ia miliki.

Setelah tepat dua jam saya tersenyum atas lelucon yang ia buat dan membalas pesannya dengan “Hooh Hahaha”. Saya mengenal Biyul lebih dari 8 tahun, itulah yang membuat diri saya dan dirinya selamat dari konflik berkepanjangan yang disebabkan oleh lelucon kecil yang salah diartikan. Saya mencoba dengan sabar membayangkan, andaikan dirinya mengatakan hal itu kepada saya secara langsung dan bukan hanya kata-kata diatas layar smartphone. Untungnya karena sikap itu, saya masih memiliki hubungan yang baik dengan Biyul sampai saat ini.

Cerita kembali ke tengah kebingungan saya terhadap keributan yang terjadi di grup kelas. Saya mulai membayangkan diri saya jika hidup diposisi seperti mereka yang setiap hari harus menghabiskan sedikitnya satu jam dari waktunya untuk menempuh perjalanan hanya untuk hadir di kelas. Ditambah informasi dadakan pasti memberikan dilema bagi mereka, apakah datang dengan kondisi terlambat satu jam dan berharap dosen mau mengampuni mereka atau dirumah dan tidak mendapat materi pembelajaran sepeserpun. Lalu tiba-tiba entah dari mana seorang biang kerok yang jarak kost nya dengan kampus dapat ditempuh dengan lima menit berjalan kaki membuat lelucon tentang nasib mereka di saat genting. Dasar orang yang haus perhatian!

Maharani, Nadhira, dan Hani yang membenci saya kala itu. Saya memang pantas dibenci karena lelucon yang saya lontarkan, bahkan Saya membenci diri sendiri akan hal itu. Saya sungguh percaya bahwa mereka pasti dibesarkan oleh orang-orang yang memiliki hati seluas lautan, karena tak lama dari kejadian itu Maharani, Nadhira, dan Hani tanpa sungkan mau memaafkan saya. Tepat pada saat itu, mereka memberikan pelajaran berharga yang sampai saat ini saya syukuri. Ingin tahu? Simpel saja “Dirimu bukanlah sesuatu yang hanya bisa diwakilkan oleh kata-kata”.

“Dirimu bukanlah sesuatu yang hanya bisa diwakilkan oleh kata-kata”.

Lelucon memang seni dalam berkata-kata, tetapi dalam pembuatannya justru hal lain seperti intonasi, gerak tubuh, dan mimik wajah lah yang memberikan gambaran yang lebih besar atas lelucon anda. Lelucon memanglah seni yang indah disertai dengan kutukan konsekuensi yang terus membututinya, cobalah membuat nya pada tempat yang tepat. Berhati-hatilah membuatnya hanya dengan kata-kata terkhusus di media sosial, karena itu seringkali hanya sebuah potongan dari gambaran besar maksud dan tujuan anda.

Da Vinci bisa dicap lelaki tak benar ketika Mona Lisa hanya berisi potongan gambar, terkhusus di bagian yang mengenai tubuh wanita. Alih-alih membuat potongan-potongan gambar Mona Lisa, Ia membuat lukisan nya secara utuh dalam satu canvas berisi seorang wanita cantik yang sedang duduk dengan anggun membelakangi latar pemandangan alam yang indah. Sebuah karya seni luar biasa yang bahkan masih diakui dunia lima abad setelahnya. Sungguh dari semua hal ini saya hanya ingin mengatakan, berhati-hatilah membuat lelucon terutama ketika hal itu dilayangkan hanya dengan tulisan atau kata-kata.

“Berhati-hatilah membuat lelucon terutama ketika hal itu dilayangkan hanya dengan tulisan atau kata-kata”.

--

--