Kiat-kiat Singkat Menjadi Sosiolog

Radian Arfi
6 min readMay 10, 2019

Menjadi sosiolog dalam enam menit sahaja!

I Nyoman Masriadi, Juling (2005). Sumber: https://www.museummacan.org/collections/collection-1542617916

Sosiologi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu berkawan (dari bahasa Yunani socius — “kawan” dan logos — “ilmu”). Namun sebagai sebuah cabang ilmu, sosiologi didefinisikan sebagai studi sistematis tentang masyarakat[1]. Jiwa dari sosiologi (dan para sosiolog, tentunya) adalah cara pandang unik yang membedakan sosiologi dengan cabang ilmu lainnya. Cara pandang inilah yang disebut sebagai “perspektif sosiologi”.

Perspektif Sosiologi
Jika masyarakat awam melihat fenomena sehari-hari seperti jatuh cinta, masuk sekolah, mencari kerja — atau bahkan, tidakan kriminal — sebagai manifestasi dari kehendak bebas individu, maka lain halnya dengan sosiolog. Bagi sosiolog, tindakan manusia dalam kesehariannya turut dipengaruhi oleh lingkungan sosial[2].

Sosiolog, melalui perspektif sosiologi, mencoba melihat kaitan antara lingkungan sosial dan tindakan individu melalui tiga prinsip utama yaitu: melihat hal-hal umum dari hal-hal yang khusus, melihat hal-hal yang aneh dari sesuatu yang dianggap biasa, dan melihat pilihan individu dalam konteks sosial[3].

Prinsip pertama, melihat hal-hal yang umum dari hal-hal yang khusus, menunjukkan bahwa sosiolog harus mampu menemukan pola dari tindakan-tindakan individu yang terlihat acak[4].

Sebagai contoh, pemilihan pasangan mungkin nampak sebagai fenomena sosial yang acak, karena masing-masing individu memiliki kriteria pasangannya masing-masing yang unik, dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, penelitian Rubin[5] mengungkapkan bahwa fenomena pemilihan pasangan relatif memiliki pola.

Perempuan dengan penghasilan tinggi cenderung mencari calon suami yang sensitif dan perasa, sedangkan perempuan dengan penghasilan rendah cenderung mencari calon suami yang memiliki pekerjaan tetap, dantidak memiliki riwayat kekerasan.

Prinsip kedua, melihat hal-hal yang aneh dari sesuatu yang dianggap biasa, menunjukkan bahwa sosiolog harus selalu mempertanyakan hal-hal yang terlihat normal[6].

Ketika ditanya tentang motif berolahraga, kebanyakan orang mungkin akan menjawab mereka berolahraga untuk mendapatkan postur tubuh yang ideal, dan menjaga kesehatan. Bagi masyarakat awam, jawaban tersebut mungkin terdengar memuaskan. Namun bagi sosiolog, jawaban tersebut harus dipertanyakan lebih lanjut. Apa yang dimaksud dengan bentuk tubuh yang ideal? Siapa yang menciptakan standar ideal tersebut? kenapa melakukan olahraga ini, dan bukan itu? Terdengar menyebalkan ya.

Prinsip ketiga, melihat pilihan individu dalam konteks sosial, menunjukkan bahwa sosiolog harus menyadari pentingnya peran lingkungan sosial dalam proses pengambilan keputusan seorang individu[7].

Perempuan yang tinggal di Indonesia rata-rata hanya memiliki dua sampai tiga orang anak. Angka tersebut tentu saja berbeda dengan perempuan yang tinggal di Nigeria, yang rata-rata memiliki lebih dari enam orang anak[8]. Perbedaan yang signifikan ini tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Perempuan yang lahir dan tinggal di least developed country akan mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan dan sumber daya ekonomi.

Sebagai dampaknya, selain tidak memiliki pengetahuan tentang alat kontrasepsi, aktivitas perempuan di negara-negara tersebut akan terpusat di rumah. Hal ini berujung pada rata-rata jumlah anak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang dan maju. Contoh ini menunjukkan bahwa konteks sosial — dalam bentuk struktur ekonomi dan budaya — turut memengaruhi pilihan yang dimiliki, dan diambil oleh individu atau unit sosial tertentu.

Perlu diingat bahwa ketiga prinsip sosiologi di atas merupakan satu kesatuan yang saling tumpang tindih. Melihat sebuah fenomena lewat perspektif sosiologi dapat diawali dengan mencari pola umum, mempertanyakan hal-hal yang terkesan normal, atau bahkan langsung menarik kesimpulan terkait konteks sosial yang mempengaruhi fenomena tersebut.

Teori Sosiologi
Pada masa-masa awal perkembangan sosiologi, sosiolog klasik Emile Durkheim tertarik untuk melihat fenomena bunuh diri secara sosiologis. Durkheim, dengan menggunakan perspektif sosiologi, berhasil menemukan pola umum dari fenomena bunuh diri yang terjadi di Eropa Barat.

Setelah menganalisa data statistik yang ia kumpulkan dari penjuru Eropa Barat, Durkheim menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat bunuh diri antara dua kelompok dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda: tingkat bunuh diri pada orang-orang yang beragama Protestan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut ajaran Katolik[9].

Untuk menjelaskan temuan tersebut, Durkheim mengembangkan sebuah konsep bernama “solidaritas sosial”. Solidaritas sosial mengacu pada hal-hal yang mengikat sekelompok orang dalam sebuah kesatuan, seperti agama, suku bangsa, atau kesamaan tempat tinggal. Durkheim mengkombinasikan konsep solidaritas sosial dengan data yang berhasil ia kumpulkan untuk merumuskan sebuah teori:

Tingkat bunuh diri dalam sebuah kelompok dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya solidaritas sosial di dalam kelompok tersebut[10].

Kelompok Katolik, melalui ritual-ritual keagamaan yang melibatkan seluruh anggota kelompok, memiliki tingkat solidaritas sosial yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Protestan yang cenderung individualis. Hal inilah yang menyebabkan angka bunuh diri di kelompok Katolik relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Protestan[11].

Contoh di atas menjelaskan perbedaan mendasar antara perspektif sosiologi, dan teori sosiologi. Teori adalah pernyataan yang menjelaskan hubungan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Perspektif sosiologi digunakan untuk melihat, atau menemukan sebuah fenomena, sedangkan teori sosiologi digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut.

Namun, sebuah teori tidak lahir dari ruang hampa. Dalam membangun sebuah teori, seorang sosiolog harus memiliki gambaran umum tentang masyarakat yang akan diteliti terlebih dahulu. Gambaran umum inilah yang disebut sebagai pendekatan sosiologi.

Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi adalah gambaran umum tentang masyarakat, yang memandu sosiolog dalam proses berpikir dan melakukan penelitian. Dalam membangun sebuah teori, sosiolog harus mengumpulkan berbagai jenis data melalui metode penelitian yang beragam.

Pendekatan sosiologi menjadi panduan bagi sosiolog terkait data apa saja yang harus ia kumpulkan, serta metode penelitian apa yang akan ia gunakan dalam proses pembangunan teori tersebut. Sosiologi memiliki tiga pendekatan utama yaitu pendekatan struktural fungsional, konflik, dan interaksionisme simbolik[12].

Pendekatan Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian. Bagian-bagian tersebut (yang disebut sebagai sub-sistem) memiliki fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sub-sistem dengan fungsi yang berbeda-beda inilah yang kemudian berkerja sama untuk mempertahankan kestabilan masyarakat[13].

Sebagai contoh, masyarakat (sistem) terdiri dari berbagai institusi (sub-sistem) seperti politik, ekonomi, pendidikan, serta keluarga. Setiap institusi memiliki fungsinya masing-masing: politik mengatur proses pengambilan keputusan, ekonomi mengatur pembagian sumber daya, pendidikan mempersiapkan individu untuk hidup di dalam masyarakat, dan lainnya. Insitusi-institusi tersebut saling berkerja sama untuk menjaga keberlangsungan dan keharmonisan masyarakat.

Pendekatan Konflik
Pendekatan kedua, konflik, melihat masyarakat sebagai arena konfik yang penuh dengan ketimpangan. Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional yang fokus pada kestabilan masyarakat, pendekatan konflik justru berfokus pada perubahan sosial. Ketimpangan akan menghasilkan konflik, dan konflik akan membawa perubahan.

Sosiolog yang menggunakan pendekatan ini akan melihat masyarakat sebagai ladang konflik antara kelompok yang dominan dengan kelompok yang dirugikan. Kelompok dominan akan berusaha mempertahankan posisi mereka, sedangkan kelompok yang dirugikan akan berusaha merebut kekuasaan dari kelompok dominan[14].

Sebagai contoh, pemilik modal akan berusaha mengeksploitasi pekerja demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Sebaliknya, kelompok pekerja juga akan terus melawan pemilik modal — lewat demo dan aksi-aksi lainnya — demi memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Pendekatan Interaksionisme Simbolik
Pendekatan ketiga, interaksionalisme simbolik, memiliki fokus yang berbeda dengan pendekatan struktural fungsional dan konflik. Jika kedua pendekatan tersebut melihat masyarakat dari level makro, interaksionisme simbolik melihat masyarakat dari level mikro. Artinya, alih-alih berusaha menjelaskan masyarakat secara keseluruhan, pendekatan interaksionisme simbolik justru berfokus pada interaksi-interaksi sosial spesifik yang terjadi antar individu.

Sosiolog yang menggunakan pendekatan ini akan melihat masyarakat sebagai produk dari interaksi sosial antar individu. Bagi pendekatan interaksionisme simbolik, realitas merupakan hasil konstruksi masyarakat yang disepakati bersama[15].

Mengapa warna hitam identik dengan duka? Karena masyarakat sepakat bahwa hitam adalah simbol berduka. Sama halnya dengan mengapa kendaraan bermotor berhenti di lampu merah, dan mengapa siulan laki-laki yang ditujukan kepada perempuan dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan.

Memilih pendekatan mana yang akan digunakan dalam mengkaji sebuah fenomena merupakan hal yang penting. Pilihan pendekatan sosiologi menentukan metode penelitian apa yang akan digunakan oleh seorang sosiolog, dalam membangun sebuah teori.

Pendekatan struktural fungsional dan konflik umumnya menggunakan metode kuantitatif, sedangkan pendekatan interaksionisme simbolik umumnya menggunakan metode kualitatif[16]. Namun, tentu saja terdapat pertimbangan-pertimbangan lain sebelum seorang sosiolog menentukan metode penelitian yang akan digunakan.

Pemahaman mengenai perspektif, teori, dan pendekatan sosiologi merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang sosiolog. Melalui perspektif sosiologi, seorang sosiolog dapat melihat fenomena yang luput dari perhatian masyarakat awam. Fenomena inilah yang kemudian dikaji lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan sosiologi, dan menghasilkan produk akhir berupa teori sosiologi.

Catatan kaki
[1] Nathan Keirns, Eric Strayer, Heather Griffiths, et.al., Introduction to Sociology, (Houston: Openstax College, 2012), hlm. 10.
[2] John Macionis, Sociology, (New York: Pearson, 2012), hlm. 2.
[3] Ibid., hlm. 2–5
[4] Ibid., hlm. 2.
[5] Loc.cit.
[6] Ibid, hlm. 3.
[7] Ibid, hlm. 5.
[8] United Nations Development Programme, 2010
[9] Nathan Keirns, Eric Strayer, Heather Griffiths, et.al., op.cit., hlm. 15.
[10] John Macionis, op.cit., hlm. 5.
[11] George Ritzer, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003), hlm. 201.
[12] John Macionis, op.cit., hlm. 12.
[13] Loc.cit.
[14] Ibid, hlm. 13.
[15] Ibid, hlm. 16.
[16] Ibid, hlm. 33.

Artikel ini dapat ditulis dan diterbitkan berkat bantuan dari kinibisa.com! Platform digital dengan misi mewujudkan generasi kompeten untuk Indonesia, di era digital. Akses portal kinibisa.com untuk mengetahui berbagai informasi menarik terkait insitusi pendidikan, beasiswa, profesi, dan masih banyak lagi!

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.