Mengenal Pemikiran Karl Marx

Radian Arfi
5 min readMay 5, 2019

--

Kerap disebut sebagai bapak sosiologi modern, figur ini identik dengan terminologi ‘sensitif’ seperti komunisme dan revolusi. Oh, oh siapa dia?

Karl Marx, painted potrait by abodeofchaos.org — sumber: https://www.flickr.com/photos/home_of_chaos/4016285125

Marx lahir pada tahun 1818 di Trier, Jerman Barat[1]. Marx mengawali pendidikan tingginya di jurusan hukum Universitas Bonn pada tahun 1835. Sifat Marx yang terkesan tidak serius, serta beberapa insiden yang melibatkan dirinya membuat ayah Marx memilih untuk memindahkan Marx ke universitas lain dengan iklim akademis yang lebih serius — Universitas Berlin. Di Berlin, Marx tumbuh menjadi mahasiswa yang tekun.

Pada tahun 1841, Marx berhasil mendapatkan gelar doktornya dari Universitas Jena[2]. Meskipun sering dianggap sebagai salah satu bapak sosiologi modern, Marx bukanlah seorang sosiolog. Pada masanya, Marx lebih cocok disebut sebagai filsuf, ekonom, jurnalis, sekaligus kritikus sosial[3].

Pemikiran Karl Marx (1818–1883)
Sepanjang hidupnya, Marx menerbitkan berbagai tulisan yang kerap dianggap sebagai sumbangan besar bagi perkembangan sosiologi sebagai disiplin ilmu; di antaranya Economic and Philosophic Manusripts of 1884, The German Ideology, Manifesto of the Communist Party[4], dan Das Kapital[5]. Salah satu karya Marx yang paling kontroversial, Manifesto of the Communist Party, membahas tentang konflik kelas yang terjadi antara para pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar).

Menurut Marx, eksploitasi yang dilakukan oleh borjuis terhadap proletar akan mendorong proletar untuk bersatu. Proletar yang telah bersatu akan bertarung, dan merebut kepemilikan alat-alat produksi dari para borjuis. Hasil akhir dari konflik kelas ini adalah masyarakat komunis — masyarakat tanpa kelas yang sejahtera, dan fokus pada pengembangan diri para anggotanya[6].

Tiga karya Marx lainnya membahas topik yang cukup beragam, mulai dari materialisme, proses keterasingan yang dialami oleh kelas pekerja, hingga kapitalisme.

The German Ideology (1845)
Dalam The German Ideology, Marx menolak penggunaan gagasan, ide, serta hal-hal lain yang sifatnya abstrak dalam melihat fenomena sosial. Marx menyatakan bahwa dunia ini disusun dari hal-hal yang sifatnya material. Artinya, fenomena sosial harus dilihat secara empiris, sesuai dengan fakta material yang ada di lapangan[7].

Pandangan Marx ini tidak lantas meniadakan hal-hal yang bersifat non-material dari kehidupan manusia. Marx menyatakan bahwa hal-hal non-material seperti kesadaran manusia, hukum, politik, aturan moral, hingga agama merupakan produk dari aktivitas material seperti interaksi antar individu, dan proses produksi barang[8].

Melalui The German Ideology, Marx dengan tegas mengatakan bahwa hal-hal material hadir mendahului hal-hal non-material.

Economic and Philosophic Manuscripts of 1844
Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx membahas tentang dampak dari sistem ekonomi yang memperkaya pemilik modal, namun memiskinkan kelas pekerja di waktu yang sama. Sistem ekonomi semacam ini (yang dikenal dengan nama kapitalisme) membuat para pekerja merasa terasing dengan barang yang mereka produksi sendiri. Marx menyebut fenomena tersebut dengan nama alienasi.

Lebih lanjut, Marx membagi alienasi ke dalam empat tipe, yaitu alienasi dari hasil produksi, alienasi dari proses produksi, alienasi dari sifat dasar manusia, dan alienasi dari pekerja lain[9].

Alienasi dari hasil produksi mengacu pada keterasingan yang dirasakan oleh pekerja terhadap barang hasil produksinya sendiri[10]. Seorang buruh sepatu misalnya, memproduksi sepatu berdasarkan desain, dan cara pembuatan yang telah ditentukan oleh pemilik modal. Hal ini menyebabkan buruh tersebut memandang sepatu hasil buatannya sebagai benda yang asing. Lebih lanjut, upah yang dihasilkan oleh buruh tersebut belum tentu dapat digunakan untuk membeli sepatu yang diproduksi oleh dirinya sendiri.

Alienasi dari proses produksi mengacu pada keterasingan yang dirasakan oleh pekerja terhadap proses produksi sebuah barang. Sebagai contoh, dalam sebuah pabrik sepatu, proses pembuatan sepatu dibagi ke dalam beberapa fase; mulai dari pemotongan bahan mentah, penjahitan, hingga fase finishing. Seorang buruh yang ditugaskan di fase pemotongan misalnya, akan terjebak dalam aktivitas yang sama dan berulang-ulang sepanjang jam kerjanya. Aktivitas yang repetitif ini mematikan kebebasan fisik dan pikiran buruh, sekaligus membuat buruh merasa tidak bahagia; atau dengan kata lain, membuat buruh merasa terasing dari proses produksi yang ia lakukan setiap harinya.

Alienasi dari sifat dasar manusia mengacu pada keterasingan yang dirasakan oleh pekerja terhadap sifat dasar manusia yang ada dalam dirinya[11]. Marx membedakan manusia dan binatang melalui tujuan masing-masing spesies dalam memproduksi barang[12]. Sebagai contoh, seekor burung membuat sarang agar ia dan keturunannya dapat bertahan hidup. Proses produksi yang dilakukan oleh manusia, di sisi lain, tidak hanya bertujuan untuk bertahan hidup semata. Manusia mampu memproduksi barang di luar kebutuhannya untuk bertahan hidup. Manusia mampu memproduksi barang untuk orang lain, dan bahkan untuk spesies lain. Manusia juga mampu memproduksi barang dengan mengikuti standar keindahan[13].

Sistem ekonomi kapitalis menyamakan aktivitas produksi yang dilakukan oleh manusia dengan aktivitas produksi yang dilakukan oleh binatang. Proses produksi yang dilakukan oleh buruh bertujuan untuk mendapatkan upah — atau dengan kata lain, bertahan hidup. Buruh tidak dapat merealisasikan kebebasannya melalui proses produksi. Hal inilah yang disebut sebagai alienasi dari sifat dasar manusia; yaitu kebebasannya dalam memproduksi. Alienasi dari sifat dasar manusia akan menyebabkan alienasi dari pekerja lain[14]. Buruh yang telah kehilangan sifat dasarnya hanya akan memandang buruh lain sebagai orang asing, alih-alih sebagai sesama makhluk sosial.

Das Kapital (1867)
Dalam Das Kapital, Marx membahas tentang hubungan antara komoditas, buruh, dan pemilik modal. Komoditas didefinisikan sebagai “objek yang memiliki nilai guna dan nilai tukar”[15]. Jika nilai guna ditentukan oleh individu yang akan membeli sebuah komoditas, nilai tukar ditentukan berdasarkan “waktu kerja” (labor time) yang dibutuhkan untuk memproduksi barang tersebut[16].

Marx menyatakan bahwa buruh selalu menerima upah yang nilainya lebih sedikit, jika dibandingkan dengan waktu kerja yang telah mereka curahkan[17]. Selisih antara waktu kerja dan upah disebut sebagai “nilai lebih,” inilah yang menjadi sumber pendapatan para pemilik modal[18]. Dalam sistem ekonomi yang seperti ini, akumulasi dari nilai lebih akan terus memperkaya pemilik modal, dan memiskinkan kelas pekerja.

Terlepas dari ramalan Marx tentang kemenangan proletar atas borjuis yang belum terbukti, pemikiran-pemikiran Marx terkait konflik kelas, alienasi, dan eksploitasi buruh terbukti masih relevan, dan dapat digunakan untuk mengkaji (sampai batas tertentu) fenomena sosial di era modern. Lebih lanjut, kelompok minoritas kerap menggunakan pemikiran Marx sebagai senjata untuk melawan opresi dan eksploitasi yang mereka alami.

Namun di saat yang sama, pemikiran Marx juga pernah digunakan untuk menjustifikasi teror dan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Secara akademis, pemikiran Marx berperan penting dalam lahirnya teori kritis, serta memengaruhi karya-karya sosiolog kontemporer seperti Michel Foucault, Pierre Bourdeau, Fredric Jameson, dan masih banyak lagi.

Catatan kaki
[1] Calhound, Craig., Gerteis, Joseph., Moody, James., dkk (Ed.), Classical Sociological Theory, (Great Britain: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 75
[2] Ritzer, George, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003), hlm. 94.
[3] Calhound, Craig., Gerteis, Joseph., Moody, James., dkk (Ed.), op.cit., hlm.75.
[4] Ibid., hlm. 82–111.
[5] Ritzer, George, Op.cit., hlm. 109–113.
[6] Calhound, Craig., Gerteis, Joseph., Moody, James., dkk (Ed.), op.cit., hlm. 97–111.
[7] Ibid., hlm. 83.
[8] Ibid., hlm. 86–92.
[9] Ibid., hlm. 87–88.
[10] Ibid., hlm. 88–89.
[11] Ibid., hlm. 90.
[12] Ibid., hlm. 91.
[13] Loc. cit
[14] Ibid., hlm. 91–92.
[15] Ritzer, George, Op.cit., hlm. 111.
[16] Loc. cit
[17] Ritzer, George, Op.cit., hlm. 112.
[18] Loc. cit

Artikel ini dapat ditulis dan diterbitkan berkat bantuan dari kinibisa.com! Platform digital dengan misi mewujudkan generasi kompeten untuk Indonesia, di era digital. Akses portal kinibisa.com untuk mengetahui berbagai informasi menarik terkait insitusi pendidikan, beasiswa, profesi, dan masih banyak lagi!

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.