Daruz Armedian
2 min readFeb 6, 2022

Kebohongan Emak Soal Mie Ayam

Saat aku masih kecil, emakku kerap berbohong soal ini: mie ayam itu gak enak, bikin eneg, lebih enak sarimi.

Kebohongan itu kerap muncul ketika aku melihat gerobak mie ayam, yang kedatangannya selalu ditandai dengan ketukan di kentongan, dan aku berusaha merayu agar Emak membelikan makanan itu. Kebohongan itu datang berulang-ulang hingga akhirnya aku percaya bahwa mie ayam itu tidak enak, bikin eneg, dan lebih enak sarimi. Kepercayaan itu mungkin muncul karena keterpaksaan, karena tiap kali aku minta mie ayam, selalu saja tak dikabulkan.

Pada momen tertentu, ada teman-temanku saling bertanya satu sama lain, lebih enak mana antara bakso dan mie ayam? Beberapa di antara mereka ada yang menjawab lebih enak bakso, beberapa yang lain bilang lebih enak mie ayam. Aku menjawab lebih enak bakso (aku ingat pernah makan bakso bersama bapakku, warungnya di pinggir sungai, baksonya murah dan penuh gajih, dan rasanya enak). Ketololanku saat itu adalah, selain memilih bakso, aku juga bilang, mie ayam gak enak, bikin eneg. Dan naifnya, ada di antara mereka yang bertanya, emangnya kamu pernah makan mie ayam? Aku menjawab belum, dan otomatis mereka menertawaiku.

Sejak saat itu aku menyalahkan emakku perihal rasa mie ayam. Mungkin ia juga belum pernah memakannya. Tapi kenapa ia bisa menilai rasa mie ayam sebelum mencicipinya?

Waktu sekolah MTs, ketika aku punya uang lebih hasil dari jualan layangan buatanku sendiri, aku diam-diam beli mie ayam di dekat pasar. Ternyata rasanya tidak buruk-buruk amat. Bahkan, lebih condong ke enak daripada eneg. Dari situ aku tahu emakku sedang berbohong. Setelahnya, aku menjajali mie ayam dari pedagang yang berbeda. Rasanya tetap enak.

Lulus sekolah, aku kerja di Gresik dan makin sering makan mie ayam karena punya uang sendiri. Lalu, ketika di Jogja, aku tidak sering makan mie ayam, selain karena rasa ayamnya cenderung manis (aku kurang suka makanan manis, terutama yang berasal dari kecap), aku juga eman kalau makan mie ayam. Lebih baik uangnya dibelikan nasi. Lebih irit dan lebih mengenyangkan.

Suatu waktu yang hujan, aku sedang berteduh bersama onthelku di emperan bengkel yang sudah tutup di Jalan Parangtritis. Aku melihat ke seberang jalan, ke arah warung mie ayam. Di warung itu tidak banyak orang memang, tapi entah kenapa tiba-tiba aku teringat waktu kecil yang merengek minta mie ayam ke Emak. Pada saat mengingat itu, aku ingin sekali masuk ke warung mie ayam. Akan tetapi, aku sedang tidak bawa uang. Akhirnya aku cuma bisa pasrah dan menahan keinginan itu. Di situlah aku sadar, emakku dulu tidak berbohong. Ia mungkin hanya ingin bilang, mie ayam memang tidak enak, bikin eneg, terutama untuk orang yang sedang tidak pegang uang.[]