Perjalanan (panjang) Menjadi Frontend Developer

Arwani Ali
4 min readFeb 5, 2020

--

Jujur, ini adalah tulisan pertama sejak saya “bermimpi” menjadi seorang blogger beberapa tahun silam. Yah, ketika itu saya mempunyai keinginan untuk membangun blog tentang teknologi dan programming, namun karena kebanyakan riset tanpa disertai action, mimpi itupun kandas hingga tulisan ini dibuat. :)

Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Arwani, saat tulisan ini dipublish, saya adalah seorang frontend developer di salah satu startup yang produknya adalah Aplikasi Monitoring dan Analitik Jaringan, namanya NetMonk, boleh kepoin langsung ke situsnya di sini. Nah, tulisan ini adalah cerita perjalanan panjang saya menjadi seorang frontend developer. Apa sih frontend developer? sekilas saja, frontend developer atau frontend programmer adalah orang yang bertugas menterjemahkan data menjadi antarmuka visual pada suatu aplikasi sehingga pengguna dapat menggunakan dan berinteraksi dengan data itu. (ini saya copy dari wikipedia. hehe..)

Starting Point

Cerita berawal sekitar tahun 2013. Saat itu, saya mencari pekerjaan disebuah situs job vacancy online. Adalah sebuah startup lokal yang akan mengembangkan aplikasi POS (point of sales) yang saya apply dan akhirnya mendapatkan panggilan untuk tes asesmen. Hanya berbekal pengalaman utak-atik dan modifikasi HTML template, saya pun datang ke kantor startup tersebut untuk melakukan tes. Sesampainya di alamat yang dituju, saya dipersilahkan untuk menunggu beberapa menit dan kemudian sang asesor keluar dari ruangan nya. Asesmen pun dimulai, asesor memberikan hanya satu soal berupa mockup simple javascript application dengan beberapa requirement, yaitu aplikasi harus dibuat from scratch, harus memakai angularjs, dan paling horor, dikasih waktu satu jam. :(

Selama satu jam berlangsung, karena kepolosan saya datang tes tanpa persiapan apapun, dan sebelumnya belum pernah juga membuat aplikasi dari nol, Saya pun hanya berhasil membuat layout web sederhana dari mockup yang diberikan tadi tanpa ada fungsi javascript didalamnya, atau dengan kata lain saya gagal total. Waktu habis, dan asesor meminta untuk menunjukkan hasilnya. Mencoba untuk tetap tenang, saya pun berterus terang bahwa saya tidak berhasil menyelesaikannya. Saya katakan saat itu, “sejam ini saya tidak berhasil, bahkan belum mengerti cara membuat nya, namun apabila masih dikasih kesempatan, saya akan datang dua hari lagi dengan membawa hasilnya”. Beruntung, tawaran saya disetujui dan saya pamit pulang.

Dua hari benar-benar saya maksimalkan untuk belajar. Nyaris hanya tiga jam saya tidur dalam 2x24 jam. Selebihnya belajar menggunakan javascript, belajar angularjs (waktu itu masih versi 1), mengolah data dalam bentuk json, dan Alhamdulillah, saya berhasil implementasi mockup menjadi sebuah aplikasi sederhana. Sederhana dalam hal ini adalah dalam artian sebenarnya (baca: sangat mudah, tapi sangat sulit bagi saya kala itu karena kemampuan saya hanya sebatas modifikasi template).

Saya pun datang kembali menghubungi asesor dan kemudian datang ke kantor untuk demo aplikasi tersebut. Setelah di cek fungsi aplikasi dan beberapa line code nya, asesor akhirnya meloloskan saya dan saat itu juga saya langsung dipersilahkan untuk interview tahap akhir dengan CEO nya. Singkat cerita, saya di terima untuk bergabung sebagai frontend developer. By the way, startup ini adalah cikal bakal Pawoon POS yang sekarang sudah melenggang menjadi aplikasi yang diminati dan digunakan ribuan konsumen. Good luck for Pawoon!

Find Challenge

Saat di Pawoon, saya belajar lebih jauh dengan javascript framework, khusunya angularjs (kini namanya menjadi angular). Seperti kebanyakan startup, dan inilah yang saya suka hingga saat ini, bekerja di startup lebih banyak diberikan kebebasan untuk bereksplorasi, disini lah saya mulai menggunakan Restful API, SPA (single page application), dan mengolah data secara client-side. Satu tahun lebih saya “menimba ilmu” di Pawoon, akhirnya saya harus resign karena kantor pawoon pindah ke luar kota, sementara saya masih harus tetap di kota ini karena pertimbangan keluarga.

Sempat memutuskan untuk menjadi freelance web developer selama hampir satu tahun, saya akhirnya bergabung dengan Matakota sebagai mobile developer, disini saya juga mendapatkan banyak kesempatan pegang backend dan frontend web, kalau saat ini istilahnya adalah fullstack developer, Kalau sebelumnya hanya bisa consume API, di Matakota akhirnya saya belajar juga develop API, database manajemen, dan mobile application.

Hampir satu tahun develop Matakota dan berhasil launching aplikasi ini ke publik, saya ditawari oleh teman lama saya untuk join di team nya mengembangkan aplikasi Business Email Service, Helio, saat itu beliau masih menjadi CEO nya. Tak berselang lama, beliau memutuskan exit dan join menjadi CTO nya NetMonk, saya pun diboyong sekalian bersama beberapa developer lainnya.

Always Learn

Konsep micro-services, CI/CD, docker environment, testing unit, dan beberapa teknologi pengembangan modern web banyak saya pelajari dan dapatkan selama di NetMonk. Di sisi frontend sendiri, saat ini saya banyak menggunakan reactjs.

Mengingat NetMonk adalah aplikasi analitik dimana antarmuka nya berupa dashboard yang banyak menampilkan beberapa macam grafik dan data, otomatis sebagai frontend developer juga harus banyak belajar tentang UI/UX, memproses data dari backend, serta beberapa kasus harus kalkulasi data mentah dan menampilkan nya pada table dan chart. Secara tidak langsung, saat menggunakan grafik di sisi client, kita akan berkenalan dengan yang namanya canvas.

Akhir cerita, dari pengalaman yang penulis ceritakan tadi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa menjadi seorang software developer (tidak hanya frontend developer) itu butuh terus belajar dan belajar, karena teknologi akan tetap berkembang dan terus berkembang. Kita harus tetap mengikutinya.

Salam…

--

--

Arwani Ali

UI/UX design enthusiast, minimalist design lover, and frontend developer @netmonk_id