Artemis
3 min readMay 20, 2020

UKT; Untuk Kalangan Tinggi

UKT. Istilah yang sering kita dengar ketika penghujung semester akan tiba. Setiap mendengarnya kita pasti akan terpikirkan mengenai banyak hal yang selalu berhubungan dengan uang. Uang. Lagi-lagi benda warna-warni berbentuk persegi panjang itu selalu bisa membuat siapa saja tunduk dibuatnya. Munafik jika ada yang bilang bahwa hidup tidak membutuhkan uang. Namun nyatanya meskipun uang memang tidak akan dibawa mati, tapi uang lah yang akan menjadi penyebab kita mati.

Mati bukan hanya perkara nadi yang sudah tidak lagi berdenyut, atau jantung yang sudah berhenti berdetak. Namun mimpi yang gagal pun bisa jadi “mati”-nya kehidupan seseorang. Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari hidup?. Saat mimpimu harus mati sebab tak cukup uang untuk mewujudkannya. Dan kamu tau? Mimpi buruk itu kini sedang menimpa sebagian mahasiswa UPI.

Pada hari ini, tepat tanggal 20 Mei 2020 Surat Edaran No. 030 Tahun 2020 tersebar luas di media massa. Saat itulah banyak sekali orang yang mimpinya mulai mati secara perlahan. UPI seolah tak mau kalah dengan para teman sejawatnya yang sudah mengeluarkan surat edaran bahwa UKT tetap harus dibayarkan oleh mahasiswa. Saya benci ketika pendidikan dijadikan ladang dari penerapan ideologi kapitalisme. Ini hanya semakin memperlihatkan secara tajam bahwa pendidikan rentan terhadap diskriminasi sosial. Dengan adanya kapitalisasi pendidikan semakin jelas bahwa terdapat relasi borjuis-proletar dalam pendidikan. Ketika sang borjuis bisa leluasa mendapatkan pendidikan karena “mampu”, dan si proletar harus mati karena mimpinya sudah dibunuh oleh rupiah yang tak mampu mereka bayarkan.

Jika sudah seperti ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa UU SISDIKNAS pasal 11 ayat 1 yang menyatakan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, masih berlaku hingga sekarang. Oh saya lupa, bahwa pemerintah sudah sepenuhnya menyerahkan keputusannya kepada pihak rektor terkait permasalahan UKT, maka jika seperti ini bukan pemerintah lagi yang harus disalahkan melainkan….

Satu hal lagi yang paling saya benci, kenapa semua orang sering sekali menuntut haknya tapi melupakan apa yang menjadi kewajibannya. Pihak kampus seolah tidak mau melihat keadaan bahwa semua sektor hampir mati akibat pandemi. Yang mereka tahu hanyalah kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk membayar UKT, sedangkan hak kita sebagai mahasiswa mereka lupakan begitu saja. Mana fasilitas yang selama ini kalian janjikan? Mana uang subsidi kouta yang selama ini kalian gembar-gembor kan? (baru cair saat artikel ini ditulis). Mengapa kalian boleh abai terhadap kewajiban sendiri, sedangkan kita harus selalu taat pada kewajiban yang kalian tetapkan?.

Sebenarnya apa yang menjadi dasar dari keluarnya surat edaran ini?. Faktor ikut-ikutan kah, atau faktor takut ditegur oleh pihak atas yang sebenarnya sudah melemparkan semua keputusan kepada pimpinan kampus. Mengapa tidak mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah mahasiswa selama masa pandemi ini?. Mengapa buru-buru sekali mengeluarkan keputusan? Sedangkan baru kemarin kita punya perayaan besar. Padahal menjadi beda sendiri itu baik dan keren, apalagi ini berbeda demi kepentingan orang banyak. Jika saya menjadi rektor, sebenarnya ini merupakan momen aji mumpung. Sudah berapa tahun lamanya mahasiswa UPI hilang kepercayaan terhadap rektornya sendiri, apalagi mahasiswa Kamda, harusnya ini bisa dijadikan momen untuk “cari muka” di depan mahasiswa. Dengarkan mereka, serta kabulkan tuntutannya, dan niscaya kepercayaan mahasiswa yang sudah hilang pada rektornya bisa kembali dengan begitu mudahnya. Namun sayang saya bukan rektor. Saya hanya seorang mahasiswa yang mencoba menyampaikan pendapatnya, tapi semoga pak rektor mau mendengar saran saya yang satu ini agar UPI semakin Edun.



Zia