XII-Mipa 3

dha
8 min readJul 31, 2023

--

Yasa benar-benar sudah muak dengan rentetan kegiatan masa pengenalan sekolah yang tidak ada habisnya ini, berbagai atribut yang sedikit menyusahkan hidupnya dan syarat-syarat aneh yang menurutnya sangat tidak masuk akal.

Pemuda yang baru saja beranjak SMA ini pun menghela napas berat, meskipun begitu ia harus tetap mengikuti MPLS ini karena ancaman mengulang kembali MPLS tahun depan, kalau ia nekat untuk membolos.

Lagi-lagi Yasa merasa keki, siapa sih yang punya ide begitu?

Menyusahkan, saja.

Yasa baru saja kembali dari rumahnya untuk mengambil barang-barang yang akan dibawanya untuk menginap di sekolah hari ini. Acara puncak dari kegiatan MPLS nya selama 3 hari berturut-turut itu akan berakhir malam nanti.

Usai memarkirkan sepeda motornya dengan benar, pemuda itu mengusung bawaannya dan melangkah menuju tempat yang sudah disiapkan oleh panitia untuk menaruh barang.

“Nanti, pasti, ada jurit malamnya ya, Ci? Gak mau ah, Echa! Kenapa mesti ada gitu-gituannya sih,”

Sontak Yasa menghentikan langkahnya, tak berniat mendekat ia lebih mempertajam pendengarannya menunggu respon lebih lanjut.

“Enggak, Cha. Cici gak bohong beneran! Suer! Cici aja takut yakali mau ngadain gituan,”

Yasa mendadak menghela napas lega, mendengar respon yang diberikan. Hendak melanjutkan langkahnya lagi, entah siapa itu kembali bersuara.

“Tapi, kata Koh Eky ada. Jadi, yang bener yang mana?”

Jantung Yasa kembali berdetak mendahului ritme nya, dan sedikit menggerutu pelan. Ah elah, kenapa harus ada jurit malem sih??! Tapi Yasa masih disana untuk mendengar respon lebih lanjut.

“Koh Eky gak ikut osis, masa kamu lebih percaya sama dia daripada aku yang ikut osis? Gak deh, beneran! Udah sana kamu ke kelas yang udah disuruh panitnya, daripada kena omel.”

Lagi, Yasa akhirnya menghela napas lega kemudian melanjutkan langkahnya. Setidaknya ia tak perlu merasa takut karena Mars sempat menakutinya bahwa akan ada jurit malam sebelum puncak acara.

Pemuda itu melangkah santai, yang diikuti seorang gadis yang tengah mengerucutkan bibir.

“Kepada seluruh siswa baru, dimohon untuk berdiri.”

Firasat Yasa mendadak tak enak, apalagi setelahnya dibagikan sehelai kain berwarna hitam oleh ketua kelompoknya. Pikirannya mulai menduga yang tidak-tidak, kemudian mengingat apa yang dikatakan Mars sebelum ia berangkat tadi

“Lu kan takut sama setan yak? Tapi ntar pas puncak ada jurit malem, hayoloh gimana lu, cil?” yang belum sempat Yasa balas karena Mars main ngibrit kembali masuk kedalam rumahnya.

Keringat dingin mulai menjalari dahinya, berusaha menetralkan jantungnya dan menepis segala kemungkinan bahwa habis ini mereka akan melakukan kegiatan yang sangat dibenci Yasa ini.

Hingga suara kakak osis yang kembali mengisi tunga rungunya. “Kalian udah dapet kainnya semua kan?”

“Sudah, Kak!”dengan kompak seluruh siswa baru menjawab.

“Bagus. Setelah ini kalian pake kainnya menutupi mata, yang rapet ya! Awas kalo gak rapet.”Perintah salah satu kakak osis.

Kan! Duh.

Dengan memasrahkan seluruh hidupnya, Yasa pun segera menutup matanya hingga gelap disekitarnya. Ia pastikan mengikat erat penutup matanya sampai terdengar suara kakak osis yang mendekatinya.

“Ini berapa, dek?”

“satu, kak.”

Tak ada lagi suara, Yasa menghela napas lega.

“Oke, udah semua?”

“Sudah, Kak.”

Kemudian sekitarnya hening, hanya sedikit terdengar suara langkah sepatu. Yasa meneguk ludahnya kasar, ia rapalkan segala doa dalam hatinya.

”Dek, coba cek depan samping belakang kanan kiri kalian. Masih ada orangnya gak?”suara kakak osis kembali terdengar sontak membuat seluruh siswa disana mendadak meraih kanan kirinya.

Belum sempat Yasa mengeceknya, tangannya diraih oleh seseorang meminta ia untuk mengikutinya.

Aku bersumpah! Selepas acara ini berakhir aku akan mendatangi Ci Ilona yang tadi berkata tidak ada agenda jurit malam di penghujung acara MPLS ini.

Gak bohong, aku takut bukan main! Aku benci dengan segala hal yang berbau mistis, hantu dan yang sejenisnya. Mendengar kembali perintah usai dibagikannya sehelai kain hitam oleh ketua kelompokku, kan! Benar kata Koh Eky! Lain kali aku akan lebih mempercayainya!

Aku kemudian segera menutup mataku agar tak kena semprot kakak osis yang mulai menghampiri kelompokku. Mengenakannya dengan sangat erat hingga gelap yang mengisi penglihatanku.

Sambil terus merapalkan doa, aku sempat mendengar kakak osis itu kembali mengucapkan perintah sebelum diriku ditarik pelan oleh seseorang.

Eh? Siapa ini??!

“Sekarang kalian boleh buka mata kalian,”

Yasa dengan tergesa membuka penutup mata yang sangat mengganggu itu. Dihadapannya ada dua orang yang mengenakan almamater kebanggan Bakti Bangsa. Sebentar. Mengapa mereka terasa kurang familiar dimata Yasa?

Pemuda itu sedikit melirik, ternyata dia tak sendiri. Disampingnya ada seorang cewek yang juga tengah memerhatikan dua kakak osis dihadapan mereka.

Menunggu perintah lebih lanjut, memerhatikan belakang kakak osisnya. Koridor itu tampak redup dari biasanya, ruang kelas kosong yang gelap dengan pintu yang tak tertutup.

Melihatnya sejenak sudah cukup membuat Yasa merinding bukan main! Rasanya Yasa mendadak ingin kabur aja, tapi gengsi dikit karena sepertinya cewek disampingnya ini tak takut sama sekali.

“Jadi, kalian berdua kakak kasih waktu 10 menit buat cari lambang SMA Bakti Bangsa di dalam kelas XII-MIPA 3. Kakak kasih satu lilin buat berdua, jangan sampai jatuh ataupun mati karena gaada gantinya lagi. Sudah paham?”

Keduanya terdiam. Tak ada satupun yang berani menjawab.

“Kenapa gak pada jawab? Takut? Apa mau satu-satu aja kalian masuknya?”

Sontaknya kedua menggeleng kemudian menjawab secara bersamaan, “Siap, Kak! Paham!”

“Oke kalo gitu, ini lilinnya mau dibawa siapa?”

Keduanya pun melirik satu sama lain, bingung. Yasa tak berani, karena ia sebenarnya cukup ceroboh. Pun cewek disampingnya tak kunjung mengambil lilin tersebut.

“Dek? Gim —”

“Saya, kak.”Yasa akhirnya mengajukan diri untuk membawa lilin tersebut. “Oke. Inget ya kalo kalian gak berhasil nemuin dalam waktu 10 menit hukuman menanti.”

“Baik, kak!”

“Baik, waktu dimulai dari sekarang!”

Keduanya pun mulai melangkah secara bersisian, hening. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan.

Tepat setelah keduanya sampai didepan kelas XII-MIPA 3, Yasa menghentikan langkahnya. Sontak membuat cewek disampingnya itu bingung.

“Kenape berhenti?”Faleesha akhirnya mengeluarkan suaranya. Mendadak bingung mengapa pemuda disampingnya ini berhenti.

“Gue takut.. Lo mau masuk duluan gak?”terjawab mengapa Yasa tiba-tiba berhenti.

Faleesha menggeleng, “Kamu kan cowok, ngapain takut?”

Yasa melotot, “Emang kalo cowok gak boleh ngerasa takut??”tanya Yasa balik dengan nada kelewat sewot.

“Kalo kamu takut, ntar yang ngelindungin anak sama istri kamu siapa? Masa istri kamu?” Jadi, kamu aja yang masuk duluan.”ujar Faleesha.

“Dih, apa korelasinya? Masih SMA juga bahas istri. Lo aja duluan yang masuk gih,”Yasa sedikit mendorong pundak cewek itu agar lebih maju.

Faleesha mundur panik, merasakan tubuhnya sedikit terdorong kedepan. “Ih, gak mau kamu aja!”Faleesha mendorong balik dengan tenaganya.

“Eh, eh,”Yasa merasakan dorongan yang kuat sontak mengamankan lilin yang dibawanya agar tak terjatuh maupun mati.

Kalau jatuh atau mati, ntar nyari logonya gimana????

“Jangan gitu, heh! Ini kalo mati gaada gantinya. Lo mau ntar nyari nya gelap-gelapan?!”

Cewek disampingnya itu hanya meringis, “Maaf, hehehe.”sesalnya.

Yasa melirik jam dipergelangan tangannya, Aduh waktunya tinggal 7 menit lagi?! Mau tak mau akhirnya Yasa memberanikan diri. Soalnya kalo gak gini, mereka bisa menghabiskan waktu didepan pintu ini saja.

“Mana tangan kiri lo?”

Lagi-lagi Faleesha mengerenyit bingung, “Buat apa?”tanyanya sambil mengangkat tangan kiri nya.

“Ijin buat pegangan, mastiin lo gak ninggalin gue didalem sendirian.”Entah keberanian darimana Yasa meminta untuk menggenggam cewek disampingnya ini.

“Boleh,”Faleesha menyetujuinya hingga akhirnya jemari keduanya bertaut.

“Nyarinya ntar berdua aja, gak papa ntar misal kalo gak nemu sampai 10 menit. Hukumannya ditanggung berdua mau gak? Soalnya gue mending dihukum daripada nyari sendiri-sendiri soalnya –”

“Iyaaa, aku mau. Aku juga gak mau nyari sendiri serem.”Faleesha lagi-lagi menyetujui apa yang diucapkan Yasa tanpa mendengarnya lebih lanjut.

Akhirnya keduanya memberanikan diri membuka pintu kelas yang dalamnya gelap gulita.

“Sha, beneran jangan lepasin genggaman gue ya? Gue gak bohong gue takut banget, asli.”pinta Yasa sedikit gemetar.

“Iya,”Jawab Faleesha sedikit bingung bagaimana cowok itu bisa tahu namanya? Ah mungkin dari nametag yang dipakainya. pikirnya.

Keduanya pun melangkah pelan sambil menyusuri area kelas yang gelap gulita menggunakan secarik cahaya dari lilin yang dibawa Yasa.

Derit suara kursi bergeser dari belakang, hampir saja membuat jantung keduanya mencelos.

“Itu suara apa tadi…?”tanya Faleesha dengan suara bergetar. Tangan keduanya berkeringat, detak jantung mereka pun berdetak terlalu cepat.

Yasa meminta Faleesha untuk membawa lilin, kemudian pemuda itu sedikit menunduk untuk merogoh loker meja menggunakan tangan satunya.

Merasakan angin yang tiba-tiba berhembus semakin kencang. Faleesha mengambil selembar kipas tangan kecil guna menutupi lilinnya dari hembusan angin.

Beruntung ia sempat membawa kipas itu.

Keduanya semakin fokus sambil masih berusaha mencari dimana keberadaan lambang tersebut.

Hingga terdengar suara musik yang mengalun pelan dari ujung ruangan. Yang sukses membuat keduanya terdiam ditempat.

Di kesunyian malam ini.

Ku datang menghampiri…

Sontak membuat bulu kuduk keduanya merinding. Yasa tahu betul lagu ini. Soundtrack film kesukaan sepupunya itu yang sudah ditonton ulang berkali-kali.

“Gimana ini.. itu musik darimana…”Faleesha kembali bersuara.

Yasa berusaha tetap tenang, meskipun jantungnya serasa semakin ingin lompat dari tempatnya. Namun matanya menyipit memerhatikan sesuatu yang berada di jendela.

Masih berusaha menetralkan jantungnya karena musik yang semakin keras, Yasa menarik tangan Faleesha untuk mengikuti langkahnya. Dengan sisa waktu 1 menit, Yasa mendekati jendela didekat pintu masuk itu.

“Sha, kayaknya itu lambangnya. Gue ntar pas ambil itunya lo ambil ancang-ancang buat buka pintu ya,”bisik Yasa pelan dan ditanggapi anggukan pelan oleh Faleesha.

Tepat saat keduanya sampai di hadapan jendela itu, dan Faleesha sedikit menggeser tubuhnya untuk ancang-ancang meraih gagang pintu dengan lilin diatasnya.

Suara tawa kencang sontak membuat keduanya berlari keluar dari kelas, tak lupa Yasa meraih lambang yang entah benar atau tidak. Peduli amat yang penting Yasa bisa keluar dari kelas itu.

Keduanya terengah-engah dihadapan kelas, hingga keduanya dihampiri oleh beberapa anggota osis yang menatap keduanya khawatir.

“Kamu abis darimana, Cha? Kenapa kalian berdua bisa sampai sini?”tanya Ilona khawatir sambil meraih Faleesha kedalam pelukannya.

“Kalian berdua kenapa bisa sampai sini? Satu sekolah nyariin kalian berdua, soalnya tiba-tiba hilang dari barisan kelompok, padahal jurit malamnya aja belum mulai.”jelas Hito

“Diliat di cctv gak terdeteksi. Beneran gak keliatan kenapa kalian tiba-tiba hilang. Padahal gue yakin tadi sempet nanyain lo soal angka kan?”pertanyaan Faruq tertuju ke Yasa yang masih menetralkan nafasnya.

Yasa mengangguk sebagai jawaban. Masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja dialami keduanya.

Tunggu? Apa maksud ketua osis nya itu?

“Maaf kak, maksudnya gimana?”otak Yasa mendadak tak bisa mengelola apa yang baru saja diucapkan oleh Hito.

Hito menghela napas, “Ke bawah aja dulu, yuk? Jangan disini.”Hito mendahului keenam orang disana.

“Yuk,”Hanum pun mengajak mereka untuk segera menjauh dari tkp. Semakin membuat Yasa dan Faleesha merinding bukan main

“Ini diliat dari cctv, kalo kalian tiba-tiba hilang gitu aja tanpa jejak padahal gue cek di detik sebelumnya masih ada,”Ruby memperlihatkan video berdurasi 10 detik itu kepada Yasa dan Faleesha yang sepertinya masih shock dengan kejadian yang dialami keduanya.

“Bisa ceritain gak apa yang kalian alami?”Tanya Ilona pada akhirnya.

Keduanya yang ditanya menatap satu sama lain, saling menyuruh melalui tatapan. Akhirnya Faleesha menghela napas pelan kemudian mulai bercerita tentang apa yang baru saja dialami keduanya.

Keenam orang yang berada diruangan itu mendengarkan secara seksama.

Yang kemudian cerita itu diakhiri dengan keduanya yang keluar dari kelas tersebut dan berteriak.

Hening seketika menyelimuti ruangan tersebut. Seolah masih mencerna apa yang baru saja diceritakan Faleesha. Sampai Faruq mengangkat suara.

“Maaf sebelumnya, nih yaa, dek. Pertama, kita gak ada agenda buat nyari lambang Baksa dengan 2 orang aja karena akan menguras waktu banget. Kedua, anak osis gak ada yang nganter kalian bahkan kita gak pada pake almamater buat acara malam ini. Dan, yang terakhir kayaknya kalian di usilin sama –”belum sempat Faruq menyelesaikan kalimatnya, Faleesha terjatuh pingsan.

Yasa yang berada disampingnya pun langsung menangkap kepala cewek itu yang jatuh kearahnya. Membuat keadaan malam itu semakin chaos. Lagi-lagi Yasa menghela napas berat, sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang.

Apapun itu, Yasa semakin bertekad menghapus kegiatan jurit malam ini dari segala agenda dihidupnya!

--

--