Banting Setir Jadi UX Writer, Bisa Nggak Sih? — #UXWriter101 Pt. 1

Aulia Rahmani Soendoro
6 min readMay 29, 2020

--

Bisa! Rasanya sekarang nggak ada kata mustahil buat kita alih profesi alias banting setir. Liat aja Deddy Corbuzier, dari pesulap kondang bisa jadi host sukses. Sama-sama berguna buat banyak orang namun dengan tujuan yang berbeda. Atau kalau fokusnya nyari duit, bisa jadi kalau kita banting setir malah kesempatan dan peruntungan akan terbuka. Who knows.

Tulisan ini sebenernya adalah follow up dari thread di twitter tentang role UX Writer yang antusiasmenya cukup tinggi dalam semalam. Jadi biar terus bisa sharing, akan dibuat series #UXWriter101.

ux writer twitter thread
Klik di sini untuk baca thread-nya

Emang sekitar setaunan ini, tepatnya antara 2019–2020, role UX Writer mulai naik daun. Tech company mulai gencar nyari talent untuk mengisi posisi UX Writer. Tapi… talent-nya masih jarang, sementara demand-nya mulai naik.

Percayalah, role sebagai UX Writer ini bisa banget dipelajari. Terlebih buat kamu yang emang udah punya basic nulis. Misalnya sekarang udah jadi content writer. Tentu bakal lebih mudah buat “masuk”.

Di Part 1 ini, kita bahas dikit tentang apa sih UX Writer itu dan musti siapin apa aja kalau pengen jadi UX Writer? Oke, mari dimulai!

Kenalan Dulu sama UX Writing dan Role sebagai UX Writer

Term “UX Writing” ini sebenernya kalau kita googling, banyak penjelasan berbobotnya. Biar gampang dan dimengerti semua orang, jadi gini…

UX = User Experience = Apa yang pengguna rasakan ketika menggunakan suatu produk, baik produk digital maupun non digital.

Writing = Teknik nulis, atau orangnya (penulis) disebut Writer.

Kerjaan UX Writer ini bikin content atau tulisan yang gunanya untuk mempermudah user atau customer sebuah produk. Tujuannya supaya user nyaman dan punya pengalaman yang nyenengin saat menggunakan produk tersebut.

UX Writer Job
“Tugas” seorang UX Writer

Kenapa butuh UX Writer sih?

  1. Pernah nggak pas registrasi di suatu website atau aplikasi, terus kalian nggak jadi nerusin karena error mulu tapi gak jelas kenapa, bingung dan akhirnya dihapus aja deh appnya.
  2. Pernah nggak, cuma masuk-masukin barang ke cart saat belanja di ecommerce, terus yaudah gak pernah ditengok lagi ecommerce-nya.
  3. Pernah nggak, udah sukses melakukan transaksi di sebuah aplikasi tapi nggak ada penanda apa-apa atau cuma tulisan “Sukses”.

Kalau pernah… kayaknya aplikasi atau web yang kamu gunakan butuh UX Writer deh heheh.

UX Writer bertugas untuk membuat sebuah tampilan aplikasi lebih “berbicara” kepada user-nya. Apa yang ditulisnya, bertujuan untuk membantu user menyelesaikan sebuah “task” dan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dialami user. Misalnya pas registrasi, onboarding, beli barang, dll.

Bentuk Content yang Ditulis UX Writer tuh Kayak Apa Sih, Kak?

Content yang dibikin si UX Writer ini adalah data driven content, didapat dari hasil riset kepada user. Nanti lain kali kita bahas user research di artikel terpisah ya.

Content atau tulisan yang dibuat oleh UX Writer kita sebut sebagai Microcopy. Microcopy ini akan “nempel” didalam User Interface, atau gampangnya, microcopy ini yang akan dibaca user saat mereka melihat tampilan produk kamu.

Definisi microcopy sesuai penjelasan dari Kinneret Yifrah di bukunya yang berjudul “Microcopy The Complete Guide”;

Microcopy adalah kata-kata atau frasa dalam sebuah User Interface yang berhubungan dengan keputusan user dalam melakukan sebuah tindakan.

microcopy

Microcopy harus bisa membangun engagement antara produk dan usernya. Tujuannya supaya user ini mau melakukan apa yang diinginkan oleh yang punya produk. Disuruh registrasi, lancar sampe sukses. Disuruh belanja, ya mau-mau aja sampe pembayaran berhasil. Disuruh isi saldo, malah bangga. Setengah ahli hipnotis ya si UX Writer ini hehehe.

Contoh microcopy yang terkenal nih dari Mailchimp
Microcopy di registasi Slack, membantu user menentukan nama dengan informasi yang jelas

Gimana Cara Nulis Microcopy yang Ciamik? Here’s the Guide..

1. Tahu banget Karakteristik, User Persona & User Flow suatu Produk

Kita gak bakal bisa bikin suatu microcopy yang bener-bener membantu user kalau kita nggak tau seluk beluk produknya apa, user yang menggunakan tuh orangnya kayak apa aja, dan spesial buat digital product, flow produknya kayak gimana sih.

Contoh user persona yang diambil dari artikel Nielsen Norman Group
Contoh user flow (wireflows) yang diambil dari artikel Nielsen Norman Group

Gali 3 hal ini sedalam-dalamnya. Kalau belum ada dokumentasinya, kamu coba buat dokumentasi untuk mendefinisikan karakter produknya, siapa saja yang menggunakan dan flow produknya seperti apa. Coba deh googling soal user persona dan user flow.

2. Temukan Masalah-Masalah yang Dialami User

Untuk menyelesaikan suatu masalah, harus tau dong masalahnya apa. Temukan masalah-masalah ini dan list down masalah tersebut. Pikirin deh, message apa yang bisa kamu carfting buat bikin masalah tersebut lebih minimal terjadi atau nggak terjadi sama sekali.

3. Voice & Tone Design

Sebelum mulai membuat microcopy, definisikan dulu voice & tone produk kamu. Kalau produk kamu sudah ada brand guidelinenya atau udah ada karakteristik brandnya, mendefinisikan voice & tone ini bakal lebih mudah.

Pernah tau soal “smile voice” yang harus dimiliki call center atau penyiar radio nggak? Nah voice & tone itu semacam smile voice ini tapi lewat tulisan.

Hack untuk mendesain voice & tone adalah dengan bayangin produkmu adalah seorang manusia, bentukannya kayak gimana sih? Tulis sedetail-detilnya. Misalnya cara ngomongnya gimana, bahasa sehari-hari yang digunakan, pakaian yang dikenakan, hobi, dan aspek lainnya.

Ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam voice & tone design, yaitu;

  • Personality

Setelah tahu siapa user yang bakal kamu hadapi lewat user persona yang sudah ada sebelumnya, kamu bisa muli tentukan karakteristik yang ingin kamu gunakan saat “ngomong” dengan usermu. Seberapa formal, perlu kah ada humor, keramahan yang pengen ditunjukkan kayak gimana, dll.

  • Messaging

Pikirin pesan utama yang ingin disampaikan ke user supaya mereka tertarik menggunakan produk kamu dan mau melakukan apa yang kamu mau. Misalnya pengen user bisa registrasi akun sampai sukses dan mengisi semua data. Apa ya microcopy yang cocok untuk nge-guide user ngisi semua data tersebut.

Definisikan aspek berikut untuk membuat voice & tone produkmu

4. Buat Microcopy yang Bersifat Conversational

Microcopy yang kamu tulis di dalam user interface sebenernya adalah obrolan kamu dengan user mu. Jadi, microcopy harus bersifat conversational writing. Layaknya manusia ngobrol dengan sesama manusia.

Sayangnya nih, masih banyak microcopy yang kayak bahasa robot di produk-produk digital. Kayak error message yang penuh kode-kode misterius, atau warning message yang singkat, padat dan gak tau maksudnya apa haha.

error message
Contoh error message dengan bahasa “robot”

Hack untuk membuat conversational microcopy adalah dengan membaca microcopy tersebut dengan suara lantang kemudian rasakan apakah udah terdengat seperti manusia?

Untuk beberapa bagian kamu juga bisa menanyakan sesuatu ke user. Ya ibarat obrolan di dunia nyata kan kadang kita kasih pertanyaan, kadang ngasih pernyataan. Misalnya bertanya soal alamat pengiriman. Instead of crafting microcopy like, “Alamat Anda”, kamu bisa membuat microcopy dengan tone seperti, “Kemana kami harus mengirimkan pesanan ini?”.

conversational writing
6 Atribut untuk menciptakan Conversational Writing

5. Adobe 4 Microcopy Cornerstones sebagai Prinsip Dasar

Adobe, perusahaan ini udah nggak asing bukaaan. Kalau masih asing, silahkan di googling ya. Jadi Adobe, lewat artikel yang ditulis oleh Sheena Lyonnais, “merumuskan” 4 pilar microcopy, artikel lengkapnya bisa dibaca disini.

  • Brevity : microcopy haruslah simple & to the point. Makanya disebut “micro” karena “kecil” tapi impactnya gede.
  • Context: Membantu user untuk mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Makanya, disetiap button selalu diberi microcopy seperti “Coba Gratis”, “Install Aplikasi xxx”, dll.
  • Action: Setiap microcopy yang dibuat harus memiliki tujuan dan memotivasi user buat melakukan action misalnya download, install, registrasi, dll. Tujuan ini juga bisa bersifat informatif agar user tetap engage dengan produk.
  • Authenticity: Untuk meningkatkan kepercayaan user terhadap produkmu, sebisa mungkin untuk jujur dengan user. Sering banget kan nemu di e-commerce kata-kata untuk menunjukan scarcity seperti “Stok produk hanya tinggal 3”. Tapi ini beneran real data kah?

Kira-kira itu dulu ya fundamental untuk menjadi seorang UX Writer. Di Part 2 mungkin kita bisa bahas gimana caranya mulai membuat portfolio sebagai UX Writer. See you in next #UXWriter101 !

Referensi:

Microcopy The Complete Guide — Book by Kinneret Yifra. Buy here.

The Four Cornetstones of Writing UX Microcopy — Article by Sheena Lyonnais. Read here.

--

--

Aulia Rahmani Soendoro

Explore new things, discover good things. Meet me at www.aulley.com for more articles.