Menyiapkan Portfolio untuk Menjadi UX Writer — #UXWriter101 pt.2
Ada 2 cara yang bisa ditempuh untuk berhasil banting setir ke field kerjaan lain. Cara di ideal dan cara ala ninja. Kalau ada jalan ninja, kenapa harus susah-susah sih pake cara yang ideal?
Eits, jalan ninja bukan tanpa resiko dan pengorbanan. Jelas ada. Sama kayak jalan yang ideal, jalan ninja gak selalu lurus. Ninja aja pernah ketangkep ya kan. Cuma dengan cara ini, kamu bisa lebih tau steps apa saja yang harus dilewati dan apa saja yang harus disiapin. Ibarat jalan-jalan, lebih enak jika ada tour guide-nya. Belajar juga akan lebih mudah jika ada mentornya.
Nah, ini berlaku juga buat tema kita kali ini. Lewat tulisan ini, semoga bisa jadi panduan buat yang ingin mempersiapkan portfolio sebagai UX Writer. Kali ini akan aku kupas, lengkap dengan jalan ninja ala aku ya.
Ok, aku mau beralih jadi UX Writer. Ok, harus ada portfolio.
Tapi harus mulai dari mana?
Pertama, Pertajam Writing Skill-mu!
Ini syarat wajib. Mutlak. Gak ada jalan ninjanya. Tulisan yang kita buat akan mencerminkan gaya penulisan, tata bahasa, cara kita bertutur atau story telling dan jelas, kemampuan menulis untuk mendapatkan attention dari audience.
Makanya, portfolio tulisan itu sangat wajib. Lebih oke lagi jika tulisanmu dipublikasikan. Misalnya lewat blog pribadi, medium atau media-media dengan user generated content. Berkontribusi di media tersebut, sangat membantu perjalanan karirmu kedepannya. Gak ada yang tahu tulisanmu bagus kalau nggak dipublikasikan, broo…
Tulisan yang dipublikasikan ini akan jadi modal buat apply dan memulai karir sebagai UX Writer. Jadi jelas ya, portfolio yang dibutuhkan untuk menjadi seorang UX Writer bukan cuma berbentuk study case saja, tapi bisa juga artikel atau tulisan lain yang pernah kamu buat.
Buat yang emang udah jadi copywriter, content writer atau posisi lain yang berkaitan dengan dunia menulis, tentu lebih mudah untuk menyiapkan portfolio berupa artikel dan bisa lanjut ke step yang kedua.
⭐️ Tip: Sebagai dasar, aku sering pake Story Arc Framework untuk bercerita. Bener-bener membantu! Coba klik di sini untuk baca tentang Story Arc.
Kedua, Mulai Bangun Portfolio UX Writing dengan Study Case
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar portfolio, terutama bagi yang emang beneran banting setir dari profesi yang jauh berbeda, study case sangat membantu kamu membangun portfolio-mu. Gausah bingung, ini sedikut guide agar kamu bisa bikin study case yang valuable, gak cuma menarik tapi bener-bener ada gunanya. Bukan bikin-bikinan yang penting ada.
Oke mari mulai! Kuncinya, gaboleh berhenti di tengah ya kalau emang niat mau bikin study case. Lanjut terus, walaupun ngerasa jelek atau kurang, harus lanjut.
- Cari Produk Untuk Study Case
Kita mulai dari produk disekitar kita dulu. Mulai aware dengan aplikasi atau web yang sering kita akses. Terus coba digali, apakah produk itu sudah menggunakan prinsip-prinsip dasar microcopy yang udah kita pelajari di #UXWriter101 pt. 1 ?
Pilih 1 flow aja. Misalnya flow pembayaran atau flow top up saldo. Ini biar mudah dan fokus ya.
List down hal-hal yang menurut kamu merupakan masalah. Jadikan list tersebut sebagai hipotesis, yang nantinya harus kamu validasi. Sebaiknya fokus di 1 produk aja dulu. Nggak usah overthinking, yang menurutmu bermasalah banget, itu yang dibuat study case. Lalu move ke step 2.
2. Lakukan Riset Kecil
Setelah tahu produknya, lakukan riset kecil. Bisa dengan melakukan usability testing. Apa itu usability testing? Baca di sini ya.
Nggak perlu melakukan yang ideal, coba lakukan usability testing ke-5 orang yang kamu kenal dan persona-nya sesuai dengan target audience produk yang kamu pilih. Jika hipotesis yang kamu list di step pertama terbukti benar dan kamu menemukan pola masalah yang sama dari ke-5 orang tersebut maka lanjutkan ke-step selanjutnya. Dalam usability testing ini, di akhir sesi kamu juga dapat menanyakan pendapat dari partisipan, apa yang jadi ekspektasi, keinginan dan kebutuhan mereka. Hal ini juga membantu kamu untuk nantinya membuat user persona.
Jika belum terbukti, tapi memang ada masalah yang diungkapkan partisipan, bisa dengan cara menambah jumlah partisipan untuk usability testing. Atau jika emang hipotesis tidak terbukti dan tidak ada pola permasalahan dari testing ini, kamu harus mulai lagi dari step 1. Makanya, step 1 itu penting banget.
Kenapa harus usability testing?
- Dengan usability testing, masalah yang teridentifikasi lebih valid karena apa yang user sadari & tidak sadari saat berinteraksi dengan suatu produk dapat ter-capture.
- Cocok untuk memvalidasi usability problem pada microcopy.
Hasil dari riset sangat penting buat study case ini, foundation dari study case ini ya suara dari partisipan tersebut. Analisa semua data yang kamu dapat dari usability testing, kemudian sajikan hasil usability testing dengan lengkap dan visualisasikan data yang kamu dapat. Kamu bisa cari referensi usability report juga. Salah satu referensi penyajian hasil riset, terutama usability testing yang baik dapat di-cek di sini.
3. Buat User Flow & Persona
Jika hasil usability testing dapat memvalidasi hipotesis, maka kamu bisa lanjut ke step ini. Kelar step 1 dan 2 artinya udah setengah jalan nih study case-nya. Selanjutnya buat dokumentasi mengenai produknya. Buat user flow dari step 1 yang sudah kamu pilih, gausah muluk-muluk, flow sederhana aja yang penting jelas.
Untuk persona, juga nggak usah bikin yang ideal super lengkap gitu. Yang penting kamu udah nge-capture bio user kamu, user needs, user problems, goals & expectations. Walaupun persona sebenernya adalah karakter fiksi yang mewakili target audience-mu, tetep harus dibikin akurat dan masuk akal ya.
4. Last, Buat Microcopy sebagai Solusi
Oke, selamat kamu sudah ada di-step akhir! Dari hasil riset kecil-kecilan dan persona yang sudah kamu crafting, kamu bisa mulai membuat microcopy baru untuk masalah yang telah kamu identifikasi. Jangan lupa berikan alasan untuk setiap perubahan yang kamu buat.
Ketiga, Compile Semuanya dalam Study Case sebagai Portfolio kamu
Urutan penyajian untuk study case-mu adalah sebagai berikut;
- Tentang Produk
Jelaskan latar belakang produk yang kamu pilih dan mengapa kamu memilih produk tersebut.
⭐️ Tip: Bisa dilengkapi dengan fakta menarik seputar produk tersebut dan data seperti jumlah pengguna produk tersebut.
2. Flow yang Kamu Pilih
Jelaskan user flow yang telah kamu pilih dalam study case ini, lengkapi dengan bagan dan penjelasan singkat. Pastikan orang awam pun dapat mengerti user flow ini jika mereka membaca dan melihatnya. Bisa dibaca sama semua kalangan manusia deh ya pokoknya nggak terlalu technical.
3. User Persona
Buat user persona yang mewakili audience produk tersebut. Lebih bagus jika udah sesuai sama partisipan riset yang telah kamu lakukan. Sebenernya 1 persona udah cukup buat study case, tapi kalau mau extra miles dan 1 persona belum mewakili, silahkan buat persona yang lainnya.
4. Hipotesis
List down hipotesis awal mengenai masalah pada produk yang kamu pilih dan jelasin guna hipotesis ini apa.
5. Riset
Jelaskan detil riset, seperti metode yang digunakan, partisipannya siapa saja dan bukti-bukti jika kamu telah melakukan riset (di sini bisa menggunakan foto dan video saat usability testing). Lalu rumuskan hasilnya jangan lupa kasih kesimpulan ya.
6. Solusi
Udah deh, buat microcopy sebagai solusinya. Jangan lupa, kamu juga wajib memberi alasan untuk setiap solusi yang kamu berikan.
Semoga tulisan seputar UX Writer 101 Pt. 2 ini bisa membantu teman-teman semua. Untuk part. 3 sejujurnya belum tahu mau nulis apa. Boleh deh kasih ide di twitter / instagram ku ya. See ya!
Slide dari sesi bersama HRD Bacot seputar UX Writing. Baca di sini.
Video sesi UX Writing 101. Lihat di sini.
Podcast tentang UX Writing. Cek disini.