Diary Entry: Kael, Inget Nggak?

☽
6 min readAug 11, 2021

--

“Nanti pas malem festival..” Kael menggaruk tengkuknya, matanya melihat ke kiri kanan, bukan ke arah gue. “Mau sama gua, nggak?”

Hah?

Kemarin, reaksi gue saat Kael bilang itu adalah: Hah? Dalam hati, tentunya. Di luar, gue cuma mengangguk — dengan Kael senyum lebar sambil “Yes! Oke deh.” sebagai reaksi dari anggukan gue. Bingung? Banget. Soalnya bukannya kita ke festival bareng-bareng sama yang lain? Tapi gimana pun juga.. gue seneng? Seneng banget. Soalnya..

Soalnya.. Kael ‘kan.. Gue menghela napas. Orang yang gue taksir..

Omong-omong, yang dimaksud festival adalah festival penutupan class meeting yang diadain sama sekolah. Biasanya bakal diisi oleh bazaar, pensi, dan ditutup dengan pertunjukan kembang api yang ditonton bareng-bareng. Serius deh, kalau pertunjukan kembang api udah mulai tuh, fokus seluruh peserta festival terkumpul di kembang api. Bener-bener event yang ditunggu sama semuanya.

Jadi, sore ini, sambil mempersiapkan berbagai hal untuk festival — berhubung gue panitia, tapi nggak ada kerjaan di hari h, jadi ditugasin buat bantuin divisi konsumsi — pikiran gue nggak bisa lepas dari Kael. Tolong salahin dia yang nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba ngajak barengan nanti!

“Yi, boleh tolong anter konsum ke anak acara nggak? Mereka lagi pada di sekre lantai dua, taro aja di sana. Makasih ya!”

Gue mengangguk dan tanpa berpikir panjang menerima plastik berisi kemasan makanan untuk diantar. Hingga sesaat kemudian, saat sudah sampai di lantai dua, gue baru sadar dan segera menepuk dahi.

Divisi acara kan, divisinya Kael!

Tapi nasi sudah menjadi bubur, kini gue udah berdiri di depan pintu sekre, bersiap mengetuk dan pasrah aja kalau yang muncul adalah Kael. Baru tangan gue mengepal hendak mengetuk, pintu udah dibuka.

Kenapa ya. Perasaan anak divisi acara ada lebih dari banyak. Kenapa yang muncul di hadapan gue sekarang harus Kael!? Kael dengan kaus hitam polosnya, Kael dengan wajah letih, Kael dengan surainya yang berantakan, Kael —

“Lho, Yi? Kenapa?” Ucapan Kael memotong monolog dalam kepala, kemudian pandangannya jatuh ke plastik di tangan gue, segera ia bantu menopang dari bawah plastiknya. “Oh, konsumsinya acara ya?”

Gue mengangguk. “Iya..” Memberikan plastik tersebut ke Kael. “Eh, Kael.. nanti malem jadi?”

“CIEEE.. MAU NGAPAIN TUH??”

“CIEE….”

Sontak seisi koridor penuh dengan koor cie, berkat kompor dari Jidan yang nggak sengaja dengar pertanyaan gue ke Kael. Menunduk dalam-dalam, gue merutuki diri sendiri. Aduh.. malu banget.. Kael marah nggak ya gue dodol begini..

“Iya, jadi.” Hah? Gue mendongak nggak percaya ke arah Kael yang kini tengah menahan.. ketawa? Senyum lebar? Entah, yang pasti kini lesung pipinya timbul jelas. “Tungguin ya nanti jam delapan, habis shift gua selesai.” Kemudian ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam sekre.

Tentu sorakan cie dari seisi koridor semakin menjadi. Gue harus tahan-tahan ekspresi agar nggak terlihat kesenengan — ya malu lah! Mau ditaruh di mana wajah gue? Kael sih enak, langsung kabur ke dalam sekre.

Semuanya salah Jidan — eh, enggak. Semuanya salah Kael!!

Dan benar aja. Jam delapan, waktu gue lagi duduk di tenda panitia dan ngobrol sama temen-temen, dengan suara band yang tengah tampil sebagai latar belakang, tiba-tiba terdengar nama gue disebut.

“Iyi ada nggak? Dicariin cowoknya nih.”

“Cieeee Kael rela ngapel jauh-jauh ke tenda panitia!!”

Lagi, diiringi dengan sorakan dari seisi tenda panitia dan dorongan dari temen-temen yang turut menyuarakan cie, gue berdiri dan menghampiri sosok Kael. Gelap, gue nggak bisa lihat ekspresi Kael — lebih tepatnya nggak berani. Malu.

“Mau ke mana?” Tanya gue, memecah keheningan saat kita udah menjauh dari sahut-sahutan cie di tenda panitia.

“Mau makan nggak? Eh, lu udah makan belum?”

“Udah kok tadi, kan ada konsum?” Gue ketawa. “Beli cemilan aja gimana? Terus cari tempat duduk. Lo baru selesai shift kan, daritadi belum duduk?”

Gelap, namun gue bisa tahu Kael mengangguk dan berbisik oke.

Kael bilang, dia tahu tempat yang cocok buat nonton pertunjukan kembang api, habis beli makan langsung ke sana aja karena pertunjukan juga bakal mulai jam delapan lewat. Jantung gue serasa jatuh ke tanah. Ini maksud Kael.. dia ngajak nonton bareng? Barengan.. BERDUA?

Geleng-geleng, gue berusaha menurunkan ekspektasi. Pasti tempat yang dia maksud banyak teman-temannya sesama divisi acara, semacam hideout yang hanya diketahui divisi acara.

Tapi ternyata nggak. Tempat yang dimaksud Kael adalah atap. Dengan bangga, dia pamer serenteng kunci yang dia pegang sambil nyengir lebar. “Gua hari ini jadi juru kunci.” Kemudian dia membuka pintu di hadapan kita.

Atap di sekolah nggak begitu tinggi, cuma ada di lantai ketiga dan emang tempat yang sering dikunjungi oleh murid-murid di jam sekolah. Tapi kayaknya — dan emang udah seharusnya — malam ini dikunci.

Jantung gue berdegup keras. Entah karena hawa dingin yang segera menyelimuti waktu kita menginjakkan kaki di atap, atau karena bareng Kael, atau karena.. yang lain? Apa?

Kael segera bersandar pada penyangga di ujung-ujung atap. Gue mendekat, memutuskan buat ambil posisi di samping Kael. “Ini kita nonton kembang api aja di sini?”

“Iya.. emang lu mau ngapain lagi? Nginep?”

“Ya nggak gitu, Kael..” Gue turut ketawa saat dengar suara Kael ketawa. “Kael, inget nggak?”

“Inget apa?” Sesaat setelah Kael berbicara, kembang api pertama diledakkan dan berhamburan di langit malam. “Eh, udah mulai. Eh, inget apaa?”

Gue ketawa, lagi. “Kita pertama kenalan gara-gara lo nganter gue pulang pas habis rapat.”

Random banget ya.” Kael sedikit mengeraskan suaranya, melawan suara ledakan kembang api. “Sebenernya gua udah kenal lu, kok. Makanya mau-mau aja nganter pulang.”

Hah? Hah kesekian yang udah keluar dalam benak gue setiap berhadapan dengan Kael. Gue nengok ke arah Kael, memastikan pendengaran. “Gimana?”

“Sebentar.” Suara Kael beradu dengan ledakan.

“HAH?”

“SEBENTAR.”

“SEBENTAR APA?”

Kael nengok ke arah gue. Mata kita bertubrukan, dengan cahaya oranye dari kembang api menjadi penerangan, yang bikin figur Kael bisa kelihatan jelas di mata gue meski gelap. Dengan berdiri beriringan gini, gue jadi sadar kalau Kael cukup tinggi — biasanya, dia keliatan lebih kecil daripada temen-temennya. Biasanya juga, Kael selalu memancarkan senyum yang bikin lesung pipinya kelihatan. Tapi sekarang pupil Kael melebar dan wajahnya kelihatan memerah, entah karena bias cahaya dari kembang api, atau karena —

Sebentar.

Jantung gue kembali berdegup, kali ini semakin keras. Bersyukur dengan adanya kembang api yang meledak-ledak, ledakan jantung gue jadi tersamarkan. Eh, sebentar. Tapi ini Kael mau ngapain!!

“Yi..”

“Kael please ngomong yang cepet langsung to the point, gue deg-degan..”

Kael yang tadinya kelihatan tegang, kini tawanya meledak. “Eh, sabar dong. Gua juga gemeter ini!!” Serunya, melawan suara kembang api.

“Kalau gemeter ya pegangan!!” Seru gue balik.

“Boleh?”

“Hah?” Baru gue mengerutkan dahi, tiba-tiba tangan Kael udah — asjbfesgfk?!? “Maksud gue pegangan ke penyangga, Kael!! Bukan ke tangan gue juga!!“

“Udah jelas kan gua mau ngapain??”

Lagi dan lagi, benak gue menyerukan satu kata yang sama. Hah?

Aduh, Kael.. please jangan bikin gue berharap lebih lanjut dan bilang aja kalau mau nagih hutang atau minta gue ngerjain LPJ divisi acara — tentu gue ogah kalau ini kasusnya — atau.. nggak tahu!! Mending segera bilang apa visi dan misi ngajak gue ke sini dan apa urgensinya tolong jabarin sejelas-jelasnya!!

“Nggak tau, kalau ngomong yang jelas.” Dor! Kembang api kembali meledak.

“Yi, gua nggak bisa bawa CV buat application..” Dor! “Atau bikin google form yang isinya pertanyaan-pertanyaan..” Dor! “Tapi gua cuma mau bilang — “

“Kael tolong jangan panjang-panjang pendahuluannya gue udah deg-degan!!”

“Gua suka sama lu.”

Dor! Lima.

“Jadi mau nggak — “

Dor! Empat.

“MAU.” Sahut gue di depan wajah Kael.

Dor! Tiga.

“Gua belum nanya!!”

Dor! Dua.

“Iya, pokoknya jawabannya gue mau!!”

Dor! Satu. Kembang api terakhir.

Kael tertawa dan memalingkan wajah, dibarengi dengan genggamannya di tangan gue yang makin erat. Ah, dasar. Pake malu-malu segala. Gue kan jadi ikutan malu!!

Kembang api berakhir, menandakan festival hari ini juga sudah berakhir. Suara helaan napas Kael terdengar, entah lega karena acara akhirnya selesai, atau lega karena.. gue nggak mau sebut!! Pokoknya malam ini gue turut lega dengan semua yang udah kejadian.

Dan seneng.. juga. Batin gue sambil melirik tangan Kael yang masih terpaut.

“Nanti..” Kael akhirnya angkat suara setelah kita dilanda keheningan selama beberapa menit. “Mau balik bareng? Habis eval, maksudnya.”

Gue ketawa, kemudian mengangguk-angguk.

“Iya.”

--

--

☽
0 Followers

turning mundane things into something magical