U-20 World Cup dan "Current Circumstances"-nya Indonesia

Ayu Haristy
3 min readApr 1, 2023

--

Sepakbola dan politik bagai amplop dan perangko; nempel.

created by ayyuhaa

Waktu itu sore hari. Saya menonton konten Musyawarah di kanal Youtube Najwa Shihab. Dari sana, saya baru tahu kalau yang mem-bid agar Indonesia menjadi penyelenggara U-20 World Cup (WCU20) itu negara secara langsung, bukan PSSI. Kalau sudah negara, menurut saya, artinya di dalamnya, ada kepentingan yang lebih dari mengembangkan sepakbola Indonesia berikut SDM-nya.

Apa kepentingannya? Seperti kata kak Jo di video tersebut, Indonesia butuh exposure. Iya. Sederhananya, WCU20 bisa jadi salah satu strategi marketing-nya negara. Seperti, kalau ada pertandingan WCU20 pejabat dari berbagai negara pasti datang. Keuntungannya apa? Banyak. Terutama lobbying halus soal investasi. Ini politik.

Belakangan terjadi penolakan oleh Kepala Daerah atas bermainnya tim sepakbola Israel. Sebab, Israel tidak diakui oleh Indonesia sebagai negara. Penolakan tersebut datang, utamanya dari Kepala Daerah yang tempatnya dipakai untuk penyelenggaraan WCU20.

Sebenarnya, penolakan tersebut sudah disampaikan oleh beberapa pihak sejak awal, tapi baru dilakukan secara eksplisit oleh Kepala Daerah akhir-akhir ini — yang padahal awalnya mendukung.

Hingga akhirnya, dengan berbagai pertimbangan — yang sebenarnya tidak dijabarkan secara jelas oleh FIFA, tapi kita ramai-ramai berasumsi pembatalannya karena 'mempertahankan stance (pendirian) kita terhadap Palestina' padahal masih banyak faktor kemungkinannya: Tragedi Kanjuruhan, fasilitas yang belum memadai, dsb., Indonesia batal untuk menjadi tuan rumah WCU20 (dibatalkan oleh FIFA).

Ya. Mari, untuk sementara, kita benarkan asumsi bahwa pertimbangan WCU20 dibatalkan di Indonesia adalah karena munculnya penolakan terhadap tim sepakbola Israel.

Kalau pakai kacamata pragmatis, memang, akan memberi kesan "Israel main bola di sini bukan berarti kita dukung mereka lah. Lagian FIFA juga punya aturannya sendiri. Olahraga ya olahraga, politik ya politik." Namun, tidak sesederhana itu. Lagipula, sejak awal, politik dan sepakbola sudah melekat, seperti yang saya contohkan di awal.

Kalau memang benar kata "current circumstances" yang dimaksud dalam pernyataan resminya FIFA adalah merujuk pada penolakan Indonesia terhadap tim sepakbola Israel, maka persoalannya jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Ini berkaitan dengan pendirian Indonesia atas negara yang menyokongnya bahkan sejak sebelum Indonesia benar-benar diakui kemerdekaannya oleh negara lain — Palestina. Maka, ini lebih jauh dari persoalan politik praktis belaka, melainkan soal prinsip sejak awal kemerdekaan yang di dalamnya terdapat prinsip kemanusiaan. Prinsip tersebut tertuang pada Pembukaan UUD 1945, yaitu tujuan bangsa Indonesia dan Pancasila, yaitu Sila ke-2. Artinya, ini masalah idealisme bangsa.

Lagipula, persoalan utamanya adalah bukan menolak WCU20, tapi menolak negara bintang daud itu bermain di Indonesia. Sebab, bila negara tersebut bermain, maka artinya sama saja Indonesia secara implisit memberikan pengakuan/legitimasi kepada negara tersebut beserta tindak-tanduknya. Yang artinya, Indonesia melepaskan prinsip awal kemerdekaannya dan berpihak pada ketidakberpihakan atas masalah kemanusiaan (since from Indonesia’s perspective, Israel is occupying Palestine).

Soal pengakuan negara tersebut, saya tidak bicara dari perspektif hukum. Karena untuk diakuinya suatu wilayah menjadi suatu negara secara de jure menurut hukum internasional, butuh terpenuhinya beberapa persyaratan yang bahasannya akan dijelaskan secara terpisah.

Menurut saya, sebelum adanya keputusan batal, solusinya hanya satu; Strengthen bargaining power to achieve win-win solution. Indonesia bisa tetap menjadi tuan rumah, Israel bisa main dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Keputusan FIFA sudah bulat untuk batal menggelar WCU20 di Indonesia. Yang menurut saya, dengan kata lain, bargaining power kita di dunia internasional, masih sangat butuh ditingkatkan.

Oh ya, ada satu pertanyaan yang menggelitik:
Kenapa beberapa pejabat baru menolak sekarang, padahal awalnya mendukung dan padahal Israel lolos kualifikasi sudah sejak Juni 2022?

Sebab, pikir saya yang bukan praktisi diplomatik, kalau dari jauh hari, logisnya, negosiasi masih bisa berjalan tidak terburu-buru.

Semoga dari kejadian pembatalan ini, negara bisa lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan dalam dan luar negeri. Kebijakan yang tidak mengorbankan rakyat, tidak mengorbankan idealisme negara.

__________
Ayu Haristy | 2023
Suka nonton bola.
Kalau ada temannya.

--

--

Ayu Haristy

I see, I hear, I feel, I learn, then I write my personal perspective | Legal Research and International Law Enthusiast.