Ditinggalkan dan Meninggalkan

Ananda Azryadhuha
2 min read5 days ago

--

Photo by CDC on Unsplash

Bulan Juni berjalan lebih lambat dari biasanya. Jarum jam berdetak lebih lambat dari semestinya. Mengira sudah hari Jumat, padahal kalender masih menunjukkan hari Selasa. Tiada beda antara hari libur dan hari kerja. Begitu kiranya Sang Puan merasa.

Memasuki umur kepala dua, Puan sudah jengah menaruh harap. Impiannya untuk berkuliah patah, sebab gagal setelah mendaftar dari berbagai arah. Penolakan demi penolakan perlahan menggerogoti kepercayaan diri. Matanya kosong, sedang pikiran dipenuhi pikiran negatif yang enggan pamit dari kepala. Tak jarang ia berandai-andai. Andai saja tidak memilih jurusan dan PTN ini, andai saja punya relasi, andai saja punya orangtua akademisi, andai saja ayah ada bersamaku di sini.

Puan teringat, sejak kecil hingga kini ayah jarang sekali membersamai. Ia seringkali mangkir pada momen-momen berarti. Puan sempat khawatir kalau sampai-sampai salah satu diantara kami tidak lagi mengenali. Saat mendaftar ke sekolah, ayah lupa nama lengkap anaknya. Saat sudah masuk sekolah, ayah tidak tau anaknya ada di kelas berapa. “Ayah macam apa itu?” Mungkin begitulah orang-orang mengomentari.

Ayah mengaku bahwa ini bukanlah kehendak hati. Ayah mana yang rela jauh dari anaknya, melewatkan setiap masa dari tumbuh kembang buah hati. Ini semua untukmu Puan, agar bisa sekolah tinggi, bekerja dengan keahlian yang kau miliki, hingga nanti menikah dengan pria baik hati. Tidak seperti ayah yang harus meninggalkanmu hanya untuk sejumlah gaji.

Puan terdiam, air matanya jatuh. Ia tidak tau harus berkata apa. Kalau sekarang ia ditinggalkan ayah untuk bekerja, mungkin saja ia juga akan meninggalkan ayah untuk alasan belajar, bekerja, dan menikah. Apakah hubungan ayah dan anak perempuan hanya sebatas ditinggalkan dan meninggalkan?

Puan tidak bisa menyalahkan ayah sepenuhnya. Mungkin ini sudah bagian dari takdir Sang Maha Cipta. Apa mau dikata kalau memang begini jalannya? Puan sering meminta ayah untuk mengerti dirinya. Namun Puan lupa untuk mengerti ayahnya.

Seperti kita yang baru menjadi anak, orangtua kita juga baru menjadi orangtua. Lalu mengapa menuntut mereka harus sempurna?

Tulisan ini dibuat untuk Nyari Tantangan dengan tema harian “Nostalgia : Menyusuri Masa”.

--

--