Bad Dream

Coretan_Rubi
6 min readMar 28, 2023

--

©pinterest

TW// Abused, Childhood Trauma, Blood, Mention of Death, Panic Attack

Dingin. Sangat Dingin.

Gea dapat merasakan sekujur tubuhnya menggigil. Bahkan basah?

Gea melirik tubuhnya. Matanya mengerjab beberapa kali sebelum membulat.

Seragam SMA?

Kenapa sekarang Gea memakai seragam SMA-nya?

Rasa panik menyeruak. Gea mulai memindai cepat sekitarnya. Ia berputar seperti orang linglung. Wajahnya menunjukkan semburat ketakutan.

Tidak mungkin. Bagaimana bisa ia kembali ke tempat ini?

Nafas Gea mulai terasa berat. Apalagi ketika netranya menangkap sosok seorang wanita berdiri di bawah pohon besar yang sangat ia kenali. Gea semakin kesulitan bernafas. Dadanya naik turun dengan cepat.

Wanita di sebrang sana hanya menatap Gea datar. Tidak ada gerakan apapun. Hanya diam.

Tapi hanya dengan keberadaan wanita itu, Gea merasa sangat nyeri di bagian dadanya. Jantungnya seperti tengah diremas kuat. Sangat kuat sampai untuk menarik nafas saja sulit.

Bulir air mata mulai terpupuk. Urgensi ingin menangis sangat kuat. Gea bergetar hebat. Kedua tangannya saling meremat satu sama lain gelisah.

“Kau terlihat menyedihkan, Gea.”

Suara yang sudah lama Gea tidak dengar. Sudah Gea coba untuk lupakan juga. Tapi sekarang kenapa rasanya suara yang lama tertelan dalam memorinya itu malah muncul sejelas pantulan dirinya di dalam cermin?

Gea mencoba tidak menggubris suara tersebut. Ia tutup kedua telinganya rapat dengan kedua tangannya. Ia tidak ingin mendengar apapun.

Namun suara sepatu hak tinggi yang rasanya berjalan semakin mendekat ke arahnya berhasil membuat apapun yang ia lakukan gagal.

Saat kedua matanya menangkap sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah berdiri di hadapannya, di detik itu juga debaran jantung Gea mulai berdoa tidak karuan.

Sepasang sepatu hak yang Gea amat sangat kenali. Tidak mungkin ia melupakan sepatu hak ini.

Gea memejamkan matanya erat-erat. Air matanya sudah jatuh. Ia menangis lirih. Hanya suara isak kecil yang keluar.

“Tatap saya, Gea.” Suara itu kembali lagi. Memerintah Gea.

Gea gelengkan kepala. Ia tidak mau mengangkat kepalanya menatap sosok itu. Ia tidak mau. Ia tidak bisa.

“TATAP SAYA GEA!”

Sebuah tangan mencengkram rahangnya kuat. Menarik Gea untuk menatap dirinya.

Wajah itu. Wajah yang dulu sangat ia sukai ketika semua orang memuji Gea dan mengatakan mereka mirip.

Dulu

Sekarang Gea bahkan tidak sudi. Gea membenci parasnya jika harus kembali menerima komen tersebut.

“S-sakit…”

Gea merintih. Cengkraman pada rahangnya begitu kuat. Membuat pipinya terasa sakit.

Wanita itu tidak peduli. Tatapan benci yang terus ia tunjukkan pada Gea membuat yang lebih muda ketakutan.

“Kau masih lemah dan tidak berguna. Harusnya kau tidak usah lahir saja. Menyusahkan!”

Wanita itu mencengkram rahangnya lebih kuat. Kukunya menggores wajah Gea sehingga membuat goresan berdarah yang cukup panjang.

Gea meringis lagi. Ia kembali menangis terisak.

“Menyedihkan. Cuma anak sialan gak tau diri! Kalau saja hari itu kamu tidak pulang, semuanya tidak akan jadi berantakan!”

Wanita itu menghempas Gea keras sampai Gea jatuh terbentu aspal yang kasar. Lututnya berdarah karena goresan yang terjadi.

“Semuanya salahmu Gea. Keluarga ini berantakan karena kamu!”

Keadaan Gea yang sudah lemah dan mengenaskan membuatnya tidak lagi memiliki tenaga untuk menggerakkan tubuhnya.

Gea menangis dan kembali menangis. Tenggorokannya terasa sangat sakit. Ia sudah tidak mampu lagi meraung.

Ketika ia pikir keadaan tidak bisa jadi lebih buruk daripada ini. Wanita itu mengangkat tangannya. Membuat gerakan seolah bersiap untuk memberinya sebuah tamparan kuat.

Gea memejamkan mata erat. Tubuhnya yang gemetaran ia peluk. Maka ketika tangan wanita tersebut melayang ke arahnya, Gea berteriak kencang.

Dan bersamaan dengan teriakannya tersebut, mata Gea terbuka.

“KAKAK!”

Nafas cepat dengan dada naik turun. Peluh keringat menyelimuti seluruh tubuhnya. Gea yang barusan ketakutan setengah mati mendapati plafon asing sebagai pemandangannya.

Ia memindai sejenak. Masih dengan nafas memburu.

Baru setelah ia melihat wajah adiknya Galih itulah ia menghela nafas lega.

Barusan cuma mimpi.

Mimpi buruk.

Barusan kau mimpi buruk, Gea.

“Kakak k-kenapa?”

Suara khawatir itu membuat Gea menoleh pada Galih. Betapa terkejutnya Gea melihat keadaan adiknya tersebut. Matanya bengkak bukan main. Wajahnya pusat sekali. Seperti orang yang baru kembali dari kematian.

“Ali? Kamu kenapa?”

Seperti orang yang lupa dengan segala hal yang baru terjadi. Gea bertanya khawatir. Ia mencoba untuk duduk dari kasur yang ia tiduri sambil meraih wajah adiknya tersebut.

Ia sentuh lembut wajah adiknya. Memberi usapan pelan ketika Galih kembali meluruhkan air mata.

“Sayang kakak kenapa? Kok menangis?”

Gea cukup terkejut ketika Galih dengan tiba-tiba memeluknya. Galih menangis keras. Terisak menyakitkan. Membuat hati Gea ikut tersayat. Gea beri adiknya itu usapan lembut di punggung.

Keadaan ini terlalu acak untuknya. Gea mencoba menarik nafas panjang dan menjernihkan pikirannya.

Perlahan ia pindai kembali sekitarnya. Ia tidak di rumah. Ini benar-benar tempat asing untuknya. Ketika ia melihat selang infus pada sebelah tangannya itulah baru ia menyadari bahwa ia sekarang ada di rumah sakit.

Ia asumsikan dirinya tak sadarkan diri saat tengah mengalami sesak nafas sebelumnya.

Dan Galih yang menangis ini, tentu karena kondisinya.

Gea jadi merasa bersalah dan tidak enak. Adiknya ketakutan setengah mati karena dirinya tak sadarkan diri. Galih pasti banyak menangis.

SSRREEEEGG

Suara pintu geser terbuka membuat Gea menoleh pada sumber suara.

Ia dapati Gilang masuk dengan kedua tangan penuh dengan kantong plastik berisi makanan ringan.

Ketika kedua manik mereka bertemu, tanpa pikir panjang Gilang menjatuhkan segala bawaannya dan berlari menghampiri Gea.

Ia peluk perempuan itu erat. Tangannya menyelimuti sosok Gea dan Galih yang masih berpelukan.

Gilang terisak pelan. Badannya yang bergetar bisa Gea rasakan. Gilang sembunyikan wajahnya diantara pelukan tersebut. Gea jadi ikut tersayat melihatnya. Ia usap rambut Gilang pelan. Kedua tangannya jadi sibuk menenangkan kedua adiknya tersebut.

“Maaf,” Ucap Gea ketika ia rasa kedua adiknya mulai tenang. “Aku bikin kalian kaget, ya? Kakak minta maaf ya.”

Mendengar hal tersebut kedua adiknya melonggarkan pelukan. Sekarang kedua duduk di atas ranjang Gea bersama. Masih menggenggam tangan Gea.

“Kalian kalau nangis jadi lucu deh.” Gea tertawa kecil. Mencoba mencairkan suasana sedih yang meliputi adik-adiknya tersebut.

Namun adiknya sepertinya tidak terlalu suka dengan hal tersebut.

“Aku udah hampir mati di sini bisa-bisanya kakak cengengesan?” Galih menjawab dengan sedikit kesal. “Kakak harus tau keadaan kakak barusan itu bahaya sekali!” Mata Galih kembali memanas.

Astaga

“Dokter bilang, kakak kena serangan panik. Dokter juga nanya sebelumnya kakak pernah ngalamin hal yang sama nggak, atau mungkin gejala yang serupa.” Ucap Gilang.

“Kakak coba jujur, sebelumnya hal kayak gini pernah terjadi, gak?”

Gea menggeleng. Ini pertama kali baginya.

“Terus dokter juga tanya kalau serangan panik kayak gini punya pemicunya masing-masing. Bisa dari kejadian di masa lalu,” Ucap Gilang tak melepas sosok Gea dari penglihatannya. “Kakak sebelum kena serangan panik tadi, ada apa?”

Duh, Gea harus jawab apa?

Gea tidak pernah mau mengungkit masa lalu yang ia lewati kepada kedua adiknya ini. Menceritakan hal itu dapat memperkeruh suasana.

Gea mau cari alasan lain juga apa? Adik-adiknya ini pintar. Berbohong di depan mereka juga hanya akan mengakibatkan trust issue di antara ketiganya.

Gea harus memilih jawaban yang aman.

“Kakak habis ditawari rumah produksi.”

“Rumah produksi? Maksudnya?” Galih bertanya.

“Ada rumah produksi yang nawarin kakak buat angkat Daun Jatuh jadi sebuah film.”

Gea ternyata salah. Mau bermain seaman apapun pasti adik-adiknya akan langsung sadar setelah mendengar kata ‘film’ keluar dari mulutnya.

Seperti bagaimana ekspresi keduanya langsung. Gea menyesal sudah menyebut kata tersebut, karena adik-adiknya sudah berekspresi kesal, bahkan marah sekarang.

“Kakak jangan khawatir hal-hal seperti itu. Aku dan Agil pastikan orang itu gak akan bisa deket-deket kita lagi.” Galih memang berkata dengan nada biasa saja, tapi Gea bisa melihat kedua tangannya mengepal.

Ketika Gea melirik Gilang, wajahnya sudah tidak kalah seram. Gea jadi merasa tidak enak.

“Iya, aku tau. Terima kasih yaa…” Gea tersenyum sangat lembut. Ia harus mengganti topik dan mengubah suasana sekarang sebelum jadi jauh lebih kelam.

“Ini kata dokter aku bisa pulang kapan?” Tanya Gea.

“Besok. Sekali check-up lagi habis itu boleh pulang. Buat mastiin aja apa hal-hal yang harus kakak hindari sama apa apa saja yang bisa micu serangan panik kakak.”

“Oke.”

Ketiganya sekarang duduk di atas ranjang Gea canggung. Topik pembicaraannya habis.

Gea memutar otak. Ia juga tidak suka suasana seperti ini apabila bersama dengan adiknya.

“Itu kamu bawa belanjaan apa, Gil?”

Gea merujuk pada kantong plastik berisi makanan yang Gilang jatuhkan. Gilang dengan cepat memungut plastik tersebut. Membawanya ke ranjang Gea untuk diberikan.

“Semua snack yang kakak suka. Ada rumput lautnya SaSa yang original sama Hello Panda coklat.”

Gea kembali tersenyum lebar. Kali ini sampai eye smile-nya terlihat. “Makasiiih adik kakak, perhatian banget deh.” Gea mencolek lengan Agil. Yang dicolek cuma bergidik melihat tingkah kakaknya.

“OH!” Galih tiba-tiba berseru.

“Kenapa, dek?”

Galih merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan sebuah surat beserta dua buah permen kithss.

“Ini dari Artha.”

Gea terdiam sejenak. Apa nih? Ada nama perempuan yang keluar dari mulut Galih. Gea menatap Galih seolah tengah mengejek anak itu. Yang ditatap memutar matanya ke atas. “Tadi ketemu di lobby.”

“Lho? Artha sakit?”

“Ayahnya katanya.”

Tatapan Gea melembut, kini ia merasa simpati. Get well soon Ayah Artha. Nanti sampaikan ya?”

Galih berdecak, sementara Gea tertawa. “Kalau ketemu.”

Gea melirik Gilang, keduanya sama-sama tertawa geli. Galih yang menjadi objek yang ditertawakan hanya bisa menghela nafas kesal.

Namun Galih tidak menolak bukan? Hehe

©coretan_rubi

--

--