Bersatu untuk Apa? Dengan Siapa?

Barra.
2 min readDec 26, 2016

Persatuan itu baik, bersatu juga baik. Tapi, persatuan apa? Bersatu dengan siapa? Jangan bersatu dengan musuh-musuh Rakyat, dengan musuh-musuh demokrasi. Nanti akan membingungkan Rakyat. Karena itulah kita harus memiliki platform politik. Platform politik itu berlevel secara kesadaran karena, kesadaran massa bermacam-macam. Bagi kaum kiri, level minimum adalah yang demokratik, tentu konsekuensinya adalah persatuan demokratik. Meskipun dalam level demokratik itu, seperti saya pernah katakan, ada juga di dalamnya korban-korban tindakan anti demokrasi pun masih belum bisa menerima keberadaan gagasan korban tindakan anti demokrasi lain. Sebagai contoh: yang Syiah dan Ahmadiyah juga masih belum menerima LGBT, yang LGBT masih anti komunis, yang disabilitas (muslim) masih belum menerima Syiah. Yang nasionalis plural, tak mau mengadvokasi isu kemerdekaan bangsa Papua (bahkan dlm level referendum sekalipun). Menyilang berkontradiksi. Karakter korban-korban anti demokrasi masih menyilang-berkontradiksi. Di situlah platform demokrasi sedang diuji mati-matian.



Menyilang-berkontradiksi



Ada beberapa pandangan yang mempraktikkan bahwa bersatu dengan musuh demokrasi (nasionalis kanan) bisa menguntungkan untuk menyerang musuh demokrasi lain yang anti pluralisme. Karena kepentingan musuh demokrasi yang nasionalis bertemu pada isu merusak kebhinekaan. Itu sebuah penyakit. Kaum kiri pun berpandangan plural-demokratik. Mengapa ada embel-embel demokratik? Karena pluralisme berlaku dalam ras, agama, suku. Di level yang lebih tinggi lagi dari isu perjuangan pluralisme, demokrasi masih mendapatkan tantangan, yaitu karakter menyilang-berkontraksi tadi. Maka, persatuan berplatform demokratik dibangun untuk memenangkan komitmen demokrasi dari massa.



Front persatuan



Taktik front persatuan sudah dianjurkan sejak komunis internasional oleh Lenin-Trotsky pada 1920an. Situasinya ketika itu, di Eropa, dikatakan Doug Lorimer "...bahwa gerakan buruh didominasi oleh kepemimpinan reformis borjuis kecil, secara umum kaum sosial demokrat, yang dipenuhi dengan satu pandangan kolaborasi kelas dan anti revolusioner yang utuh." Bersatu memang tidak boleh sekedar bersatu. Mengutip Gandhi yang menjelaskan bahwa ada 7 dosa sosial yang menghancurkan yaitu: Kekayaaan tanpa kerja! Kenikmatan tanpa Hati! Pengetahuan tanpa Karakter! Bisnis tanpa Etika! Agama tanpa Pengorbanan! Politik tanpa Prinsip!

Jika saja bersatu dengan kelompok nasionalis kanan—kelompok yang suatu saat bisa saja digunakan rezim sebagai alat represi bagi gerakan demokratik—bisa memenangkan isu demokrasi yang parsial semacam kebhinekaan (isu demokrasi tebang-pilih), kebhinekaan memang bisa dimenangkan, akan tetapi, demokrasi akan dirugikan jauh lebih besar. Kenapa? Akan membingungkan Rakyat dalam makna perjuangan demokrasi. Bagaimana bisa berjuang untuk demokrasi jika menggandeng kelompok yang anti-demokrasi atau hanya bersetuju pada isu sub-demokrasi (kebhinekaan) saja? Sementara, kelompok nasionalis-kanan tersebut di lain waktu bisa menjegal kita memperjuangkan demokrasi dalam level maksimal: kebebasan berasas/berideologi (non-Pancasila) atau, mendorong perjuangan referendum bagi Rakyat Papua.

Nasionalisme itu sendiri pun bermasalah secara sejarah (epistemologi). Pada hikayat lampau, diceritakanlah dalam sebuah rapat para gilda, mereka berencana menjatuhkan monarki para raja. Lalu, secara serempak para gilda (cikal bakal kaum borjuis) kentut, lahirlah nasionalisme.

--

--