Catatan Seorang Mahasiswa Seni Rupa

chita
6 min readDec 3, 2017

--

Saya adalah seorang mahasiswa seni rupa kelahiran tahun 1990-an di sebuah sekolah seni di Bandung. Maka, saya baru bergelut di bidang seni rupa selama kurang dari 5 tahun (sangat sebentar), dan baru saja, saya memutuskan untuk mulai membuat suatu jurnal harian, khususnya mengenai pandangan saya terhadap seni rupa.

Tentunya sangat umum bagi orang-orang untuk menjalankan sebuah jurnal online pribadi, namun bagi saya hal ini adalah sesuatu yang butuh sejumlah pertimbangan; 1) Saya tidak pernah merasa memiliki bakat dalam menulis, 2) Saya juga bukan penggelut sastra (sehingga tata bahasa saya berantakan— bisa jadi salah sama sekali), 3) Ruang lingkup saya (kalangan akademi seni dan medan seni rupa Bandung) masih terhitung sempit, dan saya tidak mau terkesan sok tahu dan memberikan impresi yang buruk demi kelangsungan hidup saya di lingkungan ini.

Pertimbangan-pertimbangan ini ada karena saya bermaksud untuk menulis sejujur-jujurnya dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa seni rupa yang mungkin belum menjadi siapa-siapa, sehingga bisa jadi pandangan saya tidak valid, mentah, subjektif, dan naif. Oleh karena itu, saya akan terus menegaskan posisi saya di sini; kalau pelaku-pelaku medan seni seperti perupa, kurator, kolektor, dan lain-lain adalah macan dalam medan, saya memang hanyalah anak bebek. Bukan berarti saya meminta dimaklumi atas kesalahan yang mungkin akan saya lakukan, namun agar pembaca mengerti konteks tulisan-tulisan saya. Maka dari itu saya juga memutuskan untuk tidak mencantumkan secara gamblang identitas asli saya, walaupun akan sangat mudah untuk menebak-nebak dan melacaknya (itu pun jika ada yang membaca tulisan-tulisan ini).

Ada berbagai hal yang mendorong saya untuk mulai menulis, salah satunya adalah menurunnya tradisi kritik seni dalam medan seni rupa Indonesia sekarang yang saya dengar dari para dosen dan perupa. Menurut pengamatan saya, hal itu jelas ada benarnya. Nama-nama penulis kritik yang ada di dalam buku Seni Rupa dalam Kritik dan Esai (2012) yang disusun oleh Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, sekarang lebih fokus dalam menguratori pameran dibanding mengkritik.

Akibatnya, semua karya seni seakan ‘boleh’ dan bagus-bagus saja, karena etikanya, seorang kurator bertugas untuk membimbing seniman yang ia kuratori, bahkan menutup-nutupi kekurangan senimannya, bukan mengkritiknya di hadapan publik. Ulasan-ulasan pameran di berbagai media pun, lebih bersifat sebagai penyampai berita akan pameran apa yang sedang terjadi, atau bahkan hanya menyampaikan hal-hal yang bagusnya saja sebagai ajang promosi. Kalaupun masih ada tulisan-tulisan kritik dalam majalah-majalah seni ataupun surat kabar, seringkali hanya menjadi angin lalu, dengan menurunnya konsumsi media massa fisik disebabkan oleh naiknya popularitas internet dan adanya telepon pintar, kita dapat memilih untuk membaca apapun yang kita mau, dan orang tidak mau lagi repot-repot membeli koran apalagi majalah.

Saya rasa berkurangnya tradisi kritik ini sangat berpengaruh pada perilaku seniman-seniman, bahkan seluruh ekosistem seni rupa. Apalagi dengan adanya apa yang seringkali disebut sebagai ‘iklim apa saja boleh’ dalam praktik seni rupa sekarang. Ditambah pertumbuhan dan perkembangan pranata seni yang semakin mapan, sehingga semua orang seakan berlomba-lomba untuk ‘mengamankan’ posisinya di dalam ekosistem itu. Semua seniman bebas untuk ‘membenarkan’dirinya sendiri, didukung oleh rekan-rekan satu lingkungan atau agen-agen yang mewakilinya.

Berbeda sekali dengan tulisan-tulisan kritik era sebelumnya yang begitu berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa, mulai dari Soedjojono yang mengkritik mooi indie , Sanento Yuliman yang mengkritik teman-temannya sendiri (Parodi Pasaraya), sampai Aminudin TH Siregar. Saat pertama kali membaca tulisan-tulisan mereka, saya terkejut, gamblang sekali! Apakah mereka tidak takut dibenci? Saya membayangkan, jika orang lain melakukan hal serupa di masa sekarang, bukankah hal itu malah akan membuat mereka dikucilkan?

Tradisi kritik kadang masing terlihat kuat pada diskusi-diskusi terbuka dalam pameran, tetapi sampai sejauh apa kritik-kritik verbal itu berpengaruh dan terdokumentasi? Itu pun masih ‘kadang’. Contoh kasusnya, pada bulan November lalu, saya mengunjungi artist talk pameran re-emergence di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Para seniman yang terlibat di pameran itu mayoritas adalah seniman angkatan 2000-an yang sudah cukup dikenal dalam medan seni rupa, maka kurang lebih mereka sedang berada di titik puncak karier mereka sebagai seniman yang masih tergolong muda (di bawah 40 tahun).

Artist Talk pameran tersebut dibagi ke dalam dua termin, kebetulan, yang saya hadiri adalah termin kedua pada tanggal 13 Oktober 2017, di mana seniman-seniman yang terlibat adalah; Bagus Pandega, Tromarama, Radi Arwinda, Wiyoga Muhardanto, Patricia Untario, Fajar Abadi, Erik Pauhrizi, Erika Ernawan, Muhammad Akbar, dan Erwin Windu Pranata. Saya berharap akan melihat diskusi yang ‘panas’, melibatkan para pelaku ‘garda depan’ seni rupa Bandung saat ini, namun, pada akhirnya (seingat saya) tidak ada satupun pengunjung yang bertanya ataupun melontarkan pendapat. Salah satu kurator pameran yang menjadi moderator diskusi saat itu, Yacobus Ari Respati, mencoba untuk memancing pengunjung dengan memberikan pernyataan atau pertanyaan kepada salah satu seniman, namun nampaknya kurang berhasil.

Kejadian itu bisa jadi disebabkan oleh dua situasi; 1) Artist Talk yang melibatkan begitu banyak seniman berdurasi terlalu panjang, dimulai dari jam 1 siang dan sesi diskusi baru dapat dimulai sekitar jam 5 sore, setelah semua seniman telah selesai mempresentasikan kekaryaannya masing-masing. Pengunjung tampak sudah lelah, bahkan bosan. 2) Mayoritas pengunjung saat itu (selain rekan-rekan sejawat dan keluarga seniman pameran) adalah mahasiswa-mahasiswa atau seniman yang lebih muda (kelahiran tahun 1990-an), atau ‘junior’. Jika boleh saya mewakili para generasi ini, ada ketegangan dan rasa segan tersendiri untuk mengintervensi para ‘senior’ kami. Saya pernah mendengar Asmudjo Irianto mengatakan bahwa mahasiswa zaman sekarang kurang ‘sontoloyo’. Beliau bercerita bahwa saat ia dan Ucok (Aminudin TH Siregar) berkuliah, mereka begitu berani sampai terhitung kurang ajar terhadap senior-seniornya. Saya setuju dengan pendapat beliau, saya tidak melihat perilaku semacam itu pada rekan-rekan saya (kalau memang apa yang ia ceritakan benar). Entahlah apa yang menyebabkan perilaku kami malu-malu kucing begini.

Di sisi lain, diskusi pameran di lingkungan yang sejawat, tanpa kehadiran senior, ternyata membuat mahasiswa-mahasiswa ini menjadi lebih aktif. Pada bulan Oktober tahun 2016, diadakan rangkaian pameran seni lukis bertajuk Bandung Youth Academic Painter diikuti oleh sejumlah seniman dari 5 institusi seni di Bandung; Universitas Kristen Maranatha, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Telkom University. Dikarenakan oleh jumlah seniman yang begitu banyak, pameran dilaksanakan secara bergilir, dibagi menjadi 5 sesi, begitu pula dengan sesi artist talk dan diskusinya.

poster pameran Bandung Youth Academic Painters. sumber: akun Instagram Platform

Kebetulan salah satu sesi yang saya datangi adalah diskusi sesi terakhir yang melibatkan seniman-mahasiswa; Adi Sendi, Adytria Negara, Februari Ramdhani, Rahayu Retnaningrum, dan Rocky Guntaras. Di luar dugaan, diskusi berjalan intens, bahkan benar-benar ‘panas’, walaupun hanya dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa. Sejumlah mahasiswa ITB memperdebatkan karya Rocky Guntaras, seniman-mahasiswa asal UK Maranatha yang karyanya terdiri dari sejumlah kardus yang disusun di atas lantai, dibatasi oleh lakban berwarna kuning, dan disorot lampu berwarna merah (deskripsi ini hanya berbasis ingatan saya, maaf kalau salah karena saya belum menemukan dokumentasi dari karya ini). Salah satu mahasiswa ITB melontarkan pertanyaan; bagaimana argumen Rocky bahwa objek-objek (kardus) ini dapat disebut sebuah ‘painting’ , jika dicari kesesuaiannya dengan tema pameran, dan apa urgensi serta alasan Rocky menyorotnya dengan lampu berwarna merah. Sejumlah mahasiswa Maranatha berargumen bahwa hal semacam itu (aspek formal) tidak penting karena seniman harusnya diberi kebebasan dalam berekspresi, apalagi di zaman sekarang di mana seni semakin meluas dan tidak lagi dibatasi medium (saya juga kurang setuju dengan pendapat ini, tapi ya mungkin tidak perlu dibahas).

Karya Andhiny Leiden (entah mengapa namanya tidak ada di poster) mahasiswi yang juga berasal dari UK Maranatha, turut memicu perdebatan. Ia mengapropriasi karya charcoal drawing di atas kayu milik Maharani Mancanagara yang berjudul Rekonstruksi (Metafora Pencarian) (2013). Karya Andhiny dianggap terlalu dekat dengan plagiat daripada apropriasi, selain itu, ia juga tidak memenuhi syarat painting, karena karya Maharani Mancanagara adalah karya drawing. Jika melihat sekilas, karya Andhiny memang hampir tidak ada bedanya dengan karya asli, bedanya, ia tidak menghadirkan instalasi laci dan buku-buku, dan objek buku pada gambar charcoal diganti menjadi uang.

Maharani Mancanegara, 2013, Rekonstruksi (Metafora Pencarian), charcoal and assemblage on pine wood, 198x150 cm. sumber: IndoArtNow
Andhiny Leiden dan karyanya saat artist talk (maaf saya tidak bisa menemukan caption karya). Sumber: dokumentasi penulis.

Perdebatan ini menunjukkan kemajemukan pendapat dan diskursus pada kalangan ‘calon-calon’ seniman muda Bandung yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang akademi. Menurut saya, pameran Bandung Youth Academic Painter telah berhasil mempertemukan para eksponen seni rupa akademis kelahiran tahun 90-an dan mengungkap ketegangan antar sekolah seni di Bandung. Fenomena ini seharusnya dapat menjadi titik awal yang menyegarkan, walaupun entahlah siapa yang mengingatnya selain saya.

Kejadian ini memang masih terlalu kecil untuk disebut polemik, tetapi saya merasa bahwa apa yang dibutuhkan mahasiswa-mahasiswa yang kurang sontoloyo ini —teman-teman sejawat saya, adalah ‘pemicu’.

--

--