Mendefinisikan Ulang User Experience (UX)

Belajar UX
belajarux
Published in
7 min readAug 27, 2019
New Morning Light of UX Definition

Ringkasan

Kronologis singkat terkait penggunaan istilah User Experience (UX) atau Pengalaman Pengguna, yang terkait dengan sejarah perkembangan UX di Indonesia, akan dibahas dari sudut pandang pengalaman pribadi penulis dalam menggunakan strategi outside-in dan inside-out, termasuk Service Design, sebagai argumen mengenai pentingnya mendefinisikan ulang istilah UX.

Sebagai praktisi UX, rasanya pantas apabila kita mengenal sejarah UX dengan lebih baik, terutama terkait dengan perkembangannya di Indonesia. Mari kita mulai bahas dengan cikal-bakal istilah UX.

Ide UX pertama kalinya dipopulerkan oleh Don Norman di kalangan komunitas Human-Computer Interaction (HCI) atau Interaksi Manusia dengan Sistem Komputasi.

Di tahun 1988, Don Norman memperkenalkan prinsip Affordance atau Perceived Affordance sebagai salah satu faktor penting dalam sebuah perancangan produk.

Affordances provide strong clues to the operations of things. Plates are for pushing. Knobs are for turning. Slots are for inserting things into. Balls are for throwing or bouncing. When affordances are taken advantage of, the user knows what to do just by looking: no picture, label, or instruction needed. (Norman, 1988)

Lima tahun kemudian, Don Norman memberikan jabatan kepada dirinya sendiri sebagai User Experience Architect terkait dengan pekerjaannya di Apple Inc. Sejak saat itulah, istilah User Experience atau UX mulai dipakai untuk menjelaskan pengalaman pengguna ketika berinteraksi dengan sebuah produk atau layanan.

Photo by Clem Onojeghuo on Unsplash

Pada tahun 2002, Dr Eunice Sari dan saya mendirikan TRANSLATE-EASY.COM yang mempunyai tagline “Translate ideas into solutions” di Indonesia. Melalui usaha ini, kami mulai memperkenalkan konsep UX di Indonesia dan aplikasinya dalam berbagai macam perancangan produk dan layanan digital dan non-digital masa depan.

Dari tahun 2002 sampai tahun 2004, kami belajar bahwa proses UX menjadi kurang efektif apabila hanya diaplikasikan dalam konteks pengguna akhir (end-user). Banyaknya pemangku kepentingan yang terkait dalam sebuah proses bisnis dan teknis, seringkali dengan kepentingannya masing-masing, mempunyai andil yang cukup besar dalam penentuan keberhasilan sebuah produk atau layanan.

Salah satu pembelajaran secara langsung adalah ketika saya berperan sebagai seorang Embedded Software Engineer untuk sebuah perusahaan start-up di Eropa yang membuat perangkat lunak dan perangkat keras untuk berbagai aplikasi printer thermal di seluruh dunia.

Anda semua mungkin bisa melihat hasil karya saya ketika Anda sedang berbelanja di manapun dan menerima struk sebagai bukti pembayaran. Ada kemungkinan sebesar 99% bahwa mesin printer thermal yang dipakai untuk mencetak struk Anda masih menggunakan kode-kode dari firmware yang saya ciptakan puluhan tahun yang lalu.

Sebagai seorang Engineer, saya mulai berinteraksi dan mengamati bagaimana interaksi saya dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti Hardware Engineer, CIO, CEO, Vendor, Supplier dan Business Partner, sangat penting untuk memastikan keberhasilan UX dari produk yang kami buat.

TRANSLATE-EASY.COM — Translate ideas into solutions

Salah satu contohnya adalah ketika kami menerima masukan bahwa driver Linux yang kami buat tidak bisa terinstalasi dengan baik di beberapa jenis printer thermal. Setelah saya melakukan penyelidikan, ternyata ada ketidak-konsistenan dari sisi perangkat lunak dan perangkat keras yang terkait dengan proses bisnis dan teknis.

Dengan membuat sistem pengujian otomatis, dalam waktu beberapa minggu saya bisa membantu perusahaan untuk menghemat milyaran Danish Kroner yang sebelumnya dihabiskan untuk Customer Support, Refund, Return, Failed Business Transaction, dan banyak hal lainnya.

Dalam proses ini, saya belajar bahwa siklus umpan balik (feedback loop) dalam proses UX yang mengkombinasikan strategi outside-in dengan strategi inside-out merupakan jawaban universal supaya proses UX bisa diaplikasikan di semua industri vertikal.

Strategi outside-in adalah strategi dimana insight yang didapatkan dari luar organisasi melalui berbagai metoda dan teknik UX, seperti misalnya UX Research bersama pengguna produk dan layanan, akan mendefinisikan bagaimana sebuah produk atau layanan akan dirancang dan dikembangkan.

Strategi inside-out adalah strategi dimana pembenahan dan peningkatan kapabilitas organisasi internal yang menggunakan prinsip-prinsip UX dilakukan secara konsisten sehingga semua pemangku kepentingan dapat bekerjasama dengan baik dan “aligned” untuk mencapai tujuan organisasi yang menghasilkan produk dan layanan yang mempunyai UX yang luar biasa.

Salah satu contoh penggunaan strategi inside-out diilustrasikan dalam Service Design, dimana dalam kasus perancangan dan pengembangan perangkat lunak dan perangkat keras di atas, saya menggunakan prinsip-prinsip UX untuk melakukan transformasi digital di bidang pengujian perangkat lunak dan perangkat keras yang mengubah proses bisnis dari organisasi dan partisipasi dari semua pemangku kepentingan dari tingkatan CxO sampai Vendor dan Supplier.

Sejak saat ini, kami mulai mengaplikasikan proses UX di berbagai industri vertikal dengan kombinasi strategi outside-in dan inside-out yang seimbang, termasuk Service Design.

Strategi inside-out adalah strategi dimana pembenahan dan peningkatan kapabilitas organisasi internal yang menggunakan prinsip-prinsip UX dilakukan secara konsisten sehingga semua pemangku kepentingan dapat bekerjasama dengan baik dan “aligned” untuk mencapai tujuan organisasi yang menghasilkan produk dan layanan yang mempunyai UX yang luar biasa.

Pada tahun 2004, Eunice mempublikasikan pembuktian konsep ini di skripsi Pasca Sarjananya di Denmark untuk studi kasus di industri retail, transportasi dan logistik terkait re-positioning UX. Lewat UX research yang dilakukan di Denmark dan Jerman, Eunice menjelaskan bahwa keberhasilan proses perancangan dan pengembangan sebuah produk dan layanan ditentukan dengan kolaborasi yang terus menerus dengan berbagai pemangku kepentingan, dan setiap interaksi baik secara internal maupun secara eksternal harus diperhatikan dan dirancang dengan baik.

Dua belas tahun kemudian, Don Norman mendefinisikan istilah UX. Dia mendefinisikan UX sebagai semua aspek dimana pengguna akhir (end-user) berinteraksi dengan perusahaan, layanan, dan produknya.

User Experience encompasses all aspects of the end-user’s interaction with the company, its services, and its products. (Norman and Nielsen 2016)

Definisi UX ini mempunyai banyak kelemahan, karena

1. Hanya terbatas pada interaksi pengguna akhir (end-user)

2. Tidak dapat diaplikasikan di kasus dimana end-user tidak berinteraksi langsung dengan perusahaan, layanan atau produk.

3. Tidak memperhitungkan bagaimana interaksi antara pemangku kepentingan, selain end-user, mempengaruhi kualitas pengalaman pengguna.

Photo by Alistair MacRobert on Unsplash

Mari kita ambil contoh sebuah perancangan aplikasi transaksi pengiriman dana elektronik dari Indonesia ke luar negeri, dimana transaksi bisa dilakukan melalui sebuah aplikasi digital yang memenuhi semua regulasi Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Apabila kita menggunakan definisi UX dari Norman-Nielsen, maka end-user di kasus ini adalah pengirim dan penerima dana. Dengan hanya berfokus pada interaksi pengirim dan penerima dana dengan aplikasi keuangan tersebut, seperti definisi Nielsen Norman, kita bisa terjebak untuk tidak memperhatikan faktor-faktor lain yang tidak terkait langsung dengan end-user, seperti kepentingan lembaga regulasi, keuangan ataupun bisnis.

Mari kita bahas sekilas hubungan antara regulasi dengan Pengalaman Pengguna. Pada saat ini, regulasi BI dan aturan OJK merupakan batasan yang diterima oleh semua pemangku kepentingan dengan berbagai pertimbangan, seperti misalnya keamanan, kepentingan pajak, dan pencegahan pencucian uang.

Sayangnya, kemudahan penggunaan aplikasi, kepentingan transaksi bisnis pengguna ataupun kenyamanan pengguna belum menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan regulasi dan aturan, misalnya: Pengirim dana masih diharuskan melakukan kebutuhan administratif yang relatif banyak dan repetitif untuk tiap transaksi. Dalam hal ini, pemenuhan kepentingan pengguna masih merupakan tanggung jawab dari penyedia layanan melalui aplikasi digitalnya, dan bukan menjadi sesuatu yang dipertimbangkan di dalam pembuatan regulasi dan aturan.

Walaupun beberapa penyedia layanan sudah menerapkan strategi outside-in dengan menerapkan berbagai prinsip UX untuk mengurangi “Pain” yang diderita oleh pengirim dana, tetapi pengaruhnya terhadap Pengalaman Pengguna masih terbatas pada interaksi antara end-user dengan aplikasi digital.

Hal ini bisa diperbaiki dengan mulai menerapkan strategi inside-out di organisasi penyedia layanan, dengan harapan di masa depan regulator seperti BI dan OJK bisa “catch-up”. Catch-up dengan apa?

Dengan pemenuhan kebutuhan pengguna dan organisasi melalui regulasi-regulasinya yang lebih akomodatif untuk mendukung perancangan dan pengembangan produk dan layanan disruptif bertaraf internasional. Regulasi-regulasi yang dibuat harus bisa mencerminkan integritas dan legitimasi, dan pada saat yang sama memudahkan penyedia layanan untuk membuat produk dan layanan dengan Pengalaman Pengguna optimal.

Pemenuhan kepentingan pengguna masih merupakan tanggung jawab dari penyedia layanan melalui aplikasi digitalnya, dan bukan menjadi sesuatu yang dipertimbangkan di dalam pembuatan regulasi dan batasan.

Kembali ke definisi UX dari Norman-Nielsen, kita melihat bahwa definisi tersebut hanya terbatas pada strategi outside-in, atau dengan kata lain perancangan produk hanya berfokus pada interaksi end-user. Dikarenakan berbagai kelemahan di atas, definisi UX tersebut sudah tidak cukup lagi untuk mencakup perancangan organisasi, transformasi digital, ataupun perancangan ekosistem.

Celah inilah yang seringkali dijembatani oleh Service Design dengan strategi utama inside-outnya, dimana end-user dan pemangku kepentingan lainnya dipetakan dalam sebuah proses UX menggunakan berbagai prinsip, metoda dan perangkat UX.

Lalu bagaimana definisi UX yang lebih baik, dimana kita mengkombinasikan strategi outside-in dengan inside-out yang seimbang, seperti yang sudah dilakukan oleh UX Indonesia sejak 2002?

Baca jawaban lengkap di artikel selanjutnya dimana kita akan membahas definisi UX yang lebih baik.

Josh (Adi Tedjasaputra)

Josh (Adi) Tedjasaputra is the Director of Customer Experience Insight Pty Ltd. He builds and nurtures business and innovation for companies around the world through human-centered product design and strategy.

He has a passion for the design, development, and use of Information and Communication Technology for solving business problems and leveraging the User Experience of products and services. For more than 20 years, he has been helping international companies in creating business strategy, disruptive technology, marketing, and branding of successful products and services.

With his engineering and computer science background, combined with his native and deep insights on Indonesian business ecosystem, he has introduced strategic and sustainable solutions that optimize the bottom line of businesses in different vertical industries, while at the same enhancing the life quality of millions of users and customers in Indonesia and around the world.

His expertise includes Intranet and Internet Portal technology, Financial Technology, Usability Engineering, Agile UX, Design Thinking, Computational Thinking, Design Sprint, the Internet of Things, Machine Learning, Big Data, and Artificial Intelligence.

--

--

Belajar UX
belajarux

Media pembelajaran UX bertaraf internasional yang singkat, padat, dan praktis dalam Bahasa Indonesia.