Bangkok: Ritual Makan, Komodifikasi Kondom dan Agama

Sepotong Ingatan di Bulan Desember 2010

Aswan Zanynu
4 min readDec 25, 2019

PENERBANGAN dini hari dari Jakarta memaksa saya tiba pagi di Bangkok. Sekitar jam 9 sudah di hotel. Masih awal bulan Desember sih. Tapi suasana Natal sudah kental. Meski kita tahu kalau agama mayoritas di sana adalah Buddha, tetapi pohon Natal indah dan besar menyambut para tamu di lobby hotel. Check in baru dimungkinkan di atas jam 12. Karena belum sempat makan, jadi saya harus pesan makan di restoran hotel: Nasi putih dan telur omlet saja. Biar aman dan (sudah pasti) hemat. Jika dirupiahkan, untuk menu selucu itu, saya (cukup) membayar Rp135.000,- Emejing bukan?!

Sejujurnya, ini bukan perjalanan buat senang-senang. Saya belum termasuk dalam kasta orang berduit dan bingung mo diapain duitnya. Meski ini kali kedua saya ke Bangkok, tetap saja dua-duanya dibiayai oleh satu lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan pengawasan tata kelola pemerintahan. Asyik sih jalan-jalan gratis, ketemu banyak teman se-Asia Pasifik, dapat ilmu, eh dikasi uang saku pula. Cuma yaa itu tadi, untuk urusan makan, harus ekstra hati-hati. Hanya sarapan dan makan siang yang ditanggung hotel. Selebihnya, kami yang dari Indonesia harus menyisir jalan-jalan di sekitar hotel demi mencari Rumah Makan Muslim. Untung dapet. Tempatnya hanya berjarak dua atau tiga bangunan seukuran ruko dari sebuah klub striptease. (Kalau cewek yang masuk nonton ke klub itu, gratis. Tapi kalo cowok, mbayar. Lalu di mana kesetaraan gendernya?! Ehem.)

Kembali ke cerita soal makanan, syukurnya saya tipe orang yang tidak terlalu mempersoalkan beberapa aspek teknis dari masak-memasak. Selama bahannya halal dan bumbunya pas, hayo saja. Di rumah makan Muslim tadi, kami memesan nasi sup ayam. Jangan bayangkan seperti di Indonesia. Sepiring nasi, semangku sup, lalu ada wadah kecil untuk sambal dan jeruk. Di sana, pelayan hanya menyajikan satu piring: Nasi putih yang sudah diguyur sup. Nasinya berenang-renang ke tepian. Ini pemandangan baru bagi kami. Ketika sudah tersaji di atas meja, kompak kami saling memandang. Tersenyum kecut. Tanpa kata, tapi itu semacam aba-aba yang kalau diterjemahkan lebih kurang artinya: Ya udah, hajar aja Bro!

Yang menariknya, beberapa warung kaki lima yang kami temui di Bangkok, masakannya mirip hotel bintang lima. Eh belum pernah makan di hotal bintang lima ding. Tapi pokoknya enak gitulah. Harganya pun berdamai dengan pelancong seperti saya (yang sebelum makan, hal yang pertama ditanya adalah harga). Di satu lapak warung pinggir jalan, saya memesan Chap Chai: Aneka sayur yang ditumis plus suir ayam. Harganya Rp13.000. Itu sudah termasuk nasi. Gimana-gimana… lumayan kan?! Si Abang yang jualannya kami ‘borong’ juga tampak senang. Usut punya usut, dia ternyata pernah bekerja sebagai chef pada satu restoran di Bangkok. Resign lalu merintis bisnis sendiri. Kebanyakan menunya seperti ditujukan buat yang senang sayuran atau mungkin para vegan. Dia seperti pandai melihat ceruk pasar yang mungkin disukai oleh para turis.

Masih soal makanan, di hari terakhir pelatihan, diagendakanlah sesi makan malam bersama. Sekaligus perpisahan karena esok hari saatnya pulang ke negara masing-masing. Tempat makannya lumayan jauh. Karena harus naik kereta. Yaa semacam CommuterLine Jabodetabek gitu (cuma lebih keren). Saya nurut saja sampai tiba di satu tempat yang (ternyata) bernama Condom Restaurant. Di pintu masuk kami sudah disambut dengan beragam poster kondom. Gambar-gambar di dinding itu seperti ingin bercerita: Sejarah kondom itu gini lho?! Teman-teman cewek pada cekikikan. Kami yang cowok pada geleng-geleng kepala. Kalau dipotret, ekspresi kami saat itu merupakan perpaduan antara menahan malu dan rasa penasaran. Iya penasaran: Kondom model seperti ini bisa dapet di mana?!

Makin ke dalam, makin ‘unik’. Semua pernak-pernik dihiasi oleh kondom. Di meja makan kami, ada kap lampu yang terbuat dari jalinan sejumlah kondom. Ada juga maneken yang mengenakan pakaian berbahan kondom. Di bagian tengah restoran ada pohon Natal dengan dedaunan menjuntai, dan setelah didekati ternyata yang terlihat seperti daun-daun itu, kondom juga dong. Saya jadi penasaran, ingin tahu apa yang ada dalam benak teman-teman dari Filipina (yang mayoritas Katolik). Memang, ide awal restoran ini adalah untuk mengkampanyekan kondom sebagai alat kontrasepsi yang ‘aman’ bagi pencegahan penularan HIV/AIDS. Tapi ya, kok mesti nebeng ke simbol-simbol agama. Mungkin bagi mereka, justru itu merupakan alat propaganda yang kuat untuk melegitimasi pesan kampanye. Atau bagi mereka, agama hanya bagian dari praktik budaya yang tidak perlu disakralkan. Jadi santai saja. Ga usah serius, apalagi baperan. Karena itu semua jualan.

Setelah makan malam, ada sedikit sesi pidato ringkas dari masing-masing peserta pelatihan. Beberapa dari kami tukar-tukaran cendera mata dan foto bersama. Karena telepon genggam tahun 2010 belum secerdas tahun 2019, makanya agak susah kalau ingin dibagikan momen seperti itu ke penjuru dunia. Entah, FaceBook sudah ada atau belum yaa?! Lupa. Tapi ribet juga. Di Bangkok tahun 2010, internet tidak semudah di Jakarta, bahkan jika dibandingkan dengan kota sekecil Kendari. Semua jalur komunikasi penting ada di bawah kendali pemerintah. Tapi uniknya, media cetak yang memuat konten dewasa dijajakan bebas di pasar tumpah (dekat masjid). Majalah Playboy dipajang berdampingan dengan surat kabar lokal. Eh cerita yang ini sepertinya jarang yang tahu. Karena teman-teman saya waktu itu pada malas baca koran. Jadi tidak tertarik mencari lapak penjaja majalah atau koran. Bisa jadi ini juga semacam bonus (sekaligus jebakan) buat saya yang kebetulan saat itu (sok saleh) ke masjid.

Masih di Condom Restaurant. Salam-salaman telah usai. Janji untuk tetap saling kontak sudah kami umbar ke semua teman-teman. Sekarang waktunya pulang. Di depan pintu keluar, sejumlah pelayan yang mengenakan topi Sinterklas memberi hormat dengan cara mengapit dua telapak tangan sambil menekukkan lutut. Mereka lalu menunjuk sebuah baki. Kami dipersilahkan mengambilnya dengan bebas. Itu gratis katanya. Oleh-oleh yang diperuntukkan pihak restoran buat para tamu. Dari jauh terlihat menarik. Warna warni dengan kemasan serupa sachet Vitamin C. Ayo tebak: Kalo makan di sini, pulang dapat apa?!***

--

--