Bahaya Cerita Tunggal Watchdoc dan Greenpeace dalam “Tenggelam Dalam Diam”

BERGIBAH PODCAST
11 min readSep 5, 2021

--

Oleh Bosman Batubara (anggota Koalisi Maleh Dadi Segoro)

Poster diambil dari twitter Greenpeace Indonesia

Film-film Watchdoc dan aktivisme

Pertama, selamat kepada Watchdoc yang dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay 2021 untuk kategori Emergent Leadership. Berita di laman KOMPAS menyebutkan bahwa Watchdoc mendapatkan penghargaan tersebut untuk “upayanya yang teguh berprinsip sebagai media independen, investigasi jusnalistik penuh energi, pembuat film dokumenter, pegiat digital yang mengupayakan transformasi media di Indonesia, serta komitmen bervisi mereka sebagai pelaku media sekaligus pembentuk generasi.” Sebanyak dan sepanjang itu peran Watchdoc, menurut laman KOMPAS.

Tulisan ini saya buat karena melihat banyak informasi tentang Watchdoc dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay beredar di media sosial dan arus utama dengan sudut pandang yang cenderung puja-puji. Rasanya, saya tidak ada masalah dengan itu. Tapi, saya pikir kritik juga penting. Orang pertama yang belajar dari tulisan/kritik ini adalah saya sendiri. Kalau ada orang lain yang mendapatkan pelajaran dari tulisan ini, sebagai penulis saya senang. Kalau terlalu frontal, saya mohon maaf.

Watchdoc, kalau saya melihat mereka, adalah sekelompok orang pembuat film yang mengangkat tema-tema di sekitar gerakan sosial ke dalam film dokumenter. Tema-tema itu misalnya berkisar tentang permasalahan lingkungan dan konflik-konflik agraria. Tema-tema seperti ini sudah lama menjadi tema tulisan dan perbincangan di kalangan para aktivis lingkungan dan agraria, sebelum Watchdoc muncul. Relasi Watchdoc dengan para aktivis dalam hal ini dapat dilihat, bagi saya, setidaknya dalam dua babak. Babak pertama, orang-orang Watchdoc menghubungi/dihubungi para aktivis yang tinggal di suatu tempat dan fokus mantengin suatu masalah, mengambil/meminta pengetahuan aktivis atau berkolaborasi dengan aktivis, dan memindahkannya ke dalam bentuk film dokumenter. Kedua, mereka memakai, atau berkolaborasi dengan, jaringan aktivis itu untuk mendistribusikan film-film melalui medium “nonton bareng” atau nobar, maupun melalui kampanye di media sosial. Dari situ, film-film Watchdoc mendapatkan sambutan yang meriah.

Dari kalangan penonton film seperti saya, hal ini dapat saya pahami. Sedikit banyak, saya terlibat menulis mengenai permasalahan lingkungan dan memahami betapa susah mengkomunikasikan permasalahan yang sedang saya pikirkan dengan orang yang lebih banyak, baik itu melalui tulisan maupun obrolan langsung. Di sini, harus saya akui, kecanggihan film-film dokumenter Watchdoc adalah membuat permasalahan-permasalahan itu menjadi konsumsi orang yang lebih banyak. Tema-tema dalam film dokumenter itu menyebar, dan film-film Watchdoc seolah-olah menjadi menu wajib dalam perbincangan anak muda.

Ada hal lain yang sedang berlangsung di sini; di satu sisi ada propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok aktivis lingkungan dan agraria di Indonesia secara sangat intens, terutama mungkin sekitar satu setengah dekade terakhir, dan diamplifikasi oleh kehadiran media sosial. Di sisi lain, intensitas dan magnitude kerusakan lingkungan dan perampasan tanah membuat orang semakin terpapar dengan kasus-kasus. Keduanya, sampai pada tingkat tertentu, telah berhasil membawa dokumen-dokumen ringan PDF tentang isu lingkungan dan agraria menjadi berkas-berkas yang mengisi laptop banyak orang, terutama anak-anak muda, sebagian besar mahasiswa, zaman ini.

Watchdoc hadir persis di era itu, ketika massa anak-anak muda itu sudah begitu familiar dengan tema-tema lingkungan dan agraria. Film-film Watchdoc hadir mengisi segmen film dokumenter. Jadinya, seperti api ketemu bensin: meledak.

Tulisan ini tidak akan memperpanjang ‘konteks’ di atas, tapi akan masuk membahas salah satu film Watchdoc yang diproduksi secara bersama dengan organisasi lingkungan raksasa, Greenpeace. Film tersebut bertajuk “Tenggelam Dalam Diam (TDD),” ditayangkan di channel Youtube Watchdoc pada 27 Maret 2021. Sampai pada saat tulisan ini dibuat (awal September 2021), film TDD di channel Youtube Watchdoc sudah memiliki views sebanyak lebih dari 600 ribu.

Cerita tunggal dalam TDD

Bagi saya, teman terbaik dalam menonton TDD adalah orasi Chimamanda Ngozi Adichie, penulis Nigeria, bertajuk “The Danger of a Single Story” yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dimuat di media on-line Jaganyala, terbitan mahasiswa yang sebagian besar kuliah di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, dengan tajuk “Bahaya Cerita Tunggal”. Terjemahan tersebut dimuat di laman Jaganyala pada 11 Juli 2017.

Dalam orasi tersebut, Chimamanda menyebutkan bahwa, “tidak pernah ada sebuah cerita tunggal tentang tempat.” Apa yang dilakukan oleh Watchdoc dan Greenpeace melalui film dokumenter TDD, dalam hemat saya, adalah sebuah kerja membangun cerita tunggal tentang suatu tempat.

Film TDD membidik kasus-kasus rob di bagian pantai utara Jawa, seperti kota Gresik, Semarang, Pekalongan, dan Jakarta. Kasus-kasus rob ini dilihat sebagai dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim di sini salah satu manifestasinya adalah kenaikan muka air laut. Solusi-solusi yang banyak disorong dalam film TDD adalah penanaman mangrove/bakau. Inilah narasi utama yang mau didorong oleh Watchdoc dan Greenpeace melalui film TDD.

Narasi ini tidak jauh berbeda dari kerangka yang dipakai oleh Presiden AS, Joe Biden, ketika ia menjelaskan bahwa kota seperti Jakarta terancam tenggelam karena perubahan iklim. Narasi yang sama tentang perubahan iklim, belakangan ini semakin sering muncul di media melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Inilah narasi tunggal yang mau didorong itu: karena perubahan iklim yang termanifestasikan dalam kenaikan muka air laut, kota-kota di pantai utara Pulau Jawa seperti Jakarta, Pekalongan, dan Semarang, sedang dalam bahaya tenggelam.

Ini adalah sebuah kekerasan/pemaksaan. Ketika menjelaskan dominasi Sejarah 1 terhadap Sejarah 2, Dipesh Chakrabarty dalam “Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference” menggunakan istilah “totalizing”, alias pemaksaan. Sejarah 1, bagi Chakrabarty, adalah Sejarah kapitalisme Eropa. Sejarah 2 di luar itu. Sejarah 1 selalu berusaha untuk menundukkan Sejarah 2. Pemaksaan/totalizing seperti ini paralel dengan maskulinitas dalam patriarki yang beroperasi untuk menundukkan/meminggirkan subyektivitas sehari-hari feminin atau lokalitas yang berbeda.

Kontekstualisasinya dalam kasus yang sedang dibahas; Sejarah 1 adalah narasi tunggal perubahan iklim dan kenaikan muka air laut. Sejarah 2, peristiwa lain di luar itu, setidaknya yang dapat saya/kami identifikasi seperti yang akan dijelaskan melalui ketegangan antara kenaikan muka air laut vs. penurunan tanah. Sejarah 1, baik dalam konteks kapitalisme Eropa, patriarki, dan tenggelamnya Pantura Jawa, cenderung ‘meminggirkan’ atau setidaknya tidak bertaut secara mendalam dengan Sejarah 2.

Ketegangan kenaikan muka air laut vs. penurunan tanah dapat disimak dalam film TDD [pada sekitar menit 12:34–13:33]: “Masalah banjir di kawasan Pesisir utara Jakarta bukan perkara baru. Beberapa wilayah yang tadinya daratan, kini sudah berubah, menjadi bagian dari laut. Penyebabnya, karena permukaan air laut yang semakin tinggi, disertai dengan penurunan permukaan tanah. Bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat, setiap tahunnya permukaan tanah di pesisir Jakarta, turun sekitar 2 cm.”

Dia memang menyebutkan bahwa “setiap tahunnya permukaan tanah di pesisir Jakarta, turun sekitar 2 cm.” Tapi sependek yang dapat saya baca di berbagai publikasi, itu angka yang jauh terlalu kecil. Beberapa publikasi menyebutkan bahwa ada tempat-tempat tertentu di daerah macam Jakarta yang ambles dengan kecepatan sampai 28 cm/tahun (lihat misalnya: ini, ini, ini, dan ini). Sementara untuk kota seperti Semarang, ada tempat-tempat tertentu yang ambles dengan kecepatan lebih dari 10 cm/tahun (soal amblesan tanah di Semarang, lihat misalnya: ini dan ini). Di sisi lain, kenaikan muka air laut rata-rata global, berdasarkan satu publikasi yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada 2020, menyebutkan angka sekitar 2,6 mm/tahun. Artinya, kecepatan amblesan tanah di kota macam Jakarta atau Semarang dapat melebihi kecepatan kenaikan muka air laut sampai kepada faktor sekitar 100 atau 40 kali lipat. Tapi, betapapun relatif besar kecepatannya, karena cerita (tunggal) yang mau dibangun adalah soal perubahan iklim dan kenaikan muka air laut, maka persoalan amblesan tanah tidak menjadi tema yang substantif dalam film TDD. Padahal, frase terakhir yang muncul dari sejarawan Semarang [pada sekitar menit 24:02–24:40] yang diajak ngobrol dalam TTD adalah “penurunan tanah.”

Kalau diperdalam, ada banyak penyebab amblesan tanah yang sudah diidentifikasi oleh orang-orang yang memang meluangkan waktu dan energi untuk mempelajarinya (lihat misalnya: ini, ini, ini, ini, ini, ini dan ini). Misalnya: ekstraksi air tanah, pembebanan gedung-gedung atau infrastruktur, kompaksi sedimen yang masih berumur relatif muda, dan aktivitas tektonik. Yang paling sering didiskusikan adalah dua hal pertama, yaitu, ekstraksi air tanah dan pembebanan. Sebab lain seperti kompaksi sedimen, dapat diperparah oleh ekstraksi air tanah dan pembebanan. Dapat saya uraikan secara cepat-cepat sebagai berikut: ekstraksi air tanah yang berlebihan dapat menyebabkan gerowongnya batuan sarang (aquifer) air tanah di bawah kota seperti Jakarta dan Semarang, terutama di bagian-bagian utara kota-kota itu. Ketika di atasnya ditanam beban-beban berat seperti bangunan dan infrastruktur, maka kompaksi sedimen semakin cepat. Hasil akhirnya adalah amblesan tanah.

Watchdoc dalam TDD: Kacang lupa pada kulitnya

Mengapa persoalan tentang amblesan tanah ini tidak dibuka dalam film TDD? Dugaan saya, pertama, karena ada kepentingan mendesakkan cerita tunggal tadi itu. Kedua, karena Watchdoc dan Greenpeace, ‘melupakan’ bagaimana Watchdoc tumbuh: melalui dua babak relasi dengan aktivis-aktivis yang fokus mantengin suatu masalah di suatu tempat seperti yang saya sebutkan di atas. Kalau saya umpamakan kacang, maka lingkaran aktivis-aktivis lingkungan yang memiliki dua bentuk relasi dengan meledaknya film-film Watchdoc adalah kulit, dan Watchdoc (dengan film-filmnya) adalah biji. Dalam kasus film TDD, saya pikir, tidak terlalu kejam menyebutkan bahwa ‘biji kacang’ (Watchdoc) telah lupa pada ‘kulitnya’ (lingkaran aktivis-aktivis Semarang dan sekitarnya). Dengan menyebutkan begini, bukan berarti saya menganggap orang-orang Watchdoc dan Greenpeace bukan aktivis. Mereka aktivis, bahkan barangkali tidak terlalu lebay menyebut mereka sebagai aktivis dengan jangkauan yang lebih luas. Yang kelihatannya cenderung mereka lupakan adalah aktivis yang mantengin suatu masalah pada waktu-tempat yang spesifik.

Material empiris saya untuk menyebutkan bahwa ‘kacang telah lupa pada kulitnya’ adalah aktivitas saya dalam Koalisi Pesisir Semarang Demak, yang pernah berubah menjadi Koalisi Pesisir Kendal-Semarang-Demak, dan belakangan berubah lagi menjadi Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS).

Saya bisa sebutkan bahwa saya berada dalam Koalisi MDS sejak Koalisi itu dibentuk (mungkin sekitar awal 2019) sampai sekarang ketika tulisan ini dibuat (awal September 2021). Ada banyak aktivitas yang sudah dilakukan oleh Koalisi MDS, salah satunya yang relevan disebutkan dalam tulisan ini adalah mempublikasikan buku bertajuk “Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak,” selanjutnya dalam tulisan ini disebut “buku MDS.”

Menurut buku MDS ada banyak komponen dalam Koalisi MDS, baik itu organisasi maupun perorangan. Komponen organisasi misalnya: Amrta Institute for Water Literacy, DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Komunitas Pekakota, Legal Resource Centre untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), dan Rujak Center for Urban Studies (Rujak). Belakangan bergabung WALHI Jawa Tengah. Selain organisasi-organisasi yang disebutkan di atas, ada komponen individu dalam Koalisi MDS. Saya adalah salah satu contoh anggota individu Koalisi MDS, mewakili diri saya sendiri. Dalam tulisan ini, saya juga mewakili diri sendiri, sebagai anggota Koalisi MDS.

Buku MDS sudah diterbitkan pada awal 2020, alias tahun sebelum film TDD dipublikasikan oleh channel Youtube Watchdoc. PDF buku MDS sudah beredar secara terbuka di internet. Buku ini juga sudah berkali-kali didiskusikan dalam webinar ataupun menjadi materi klub-klub baca bagi kelompok-kelompok mahasiswa di Semarang dan sekitarnya. Intinya, buku ini tidak beredar secara eksklusif di kalangan terbatas. Andai para periset di balik film TDD melakukan PR (pekerjaan rumah) mereka dengan lebih baik, maka tidak muluk-muluk untuk mengatakan bahwa tidaklah terlalu sulit menemukan buku MDS.

Dari beberapa perbincangan yang sudah saya lakukan dengan beberapa orang yang ada di Koalisi MDS sehubungan dengan film TDD, satu poin dapat saya tarik: bahwa baik Watchdoc maupun Greenpeace cenderung tidak mengadakan diskusi dengan orang-orang yang terlibat dalam Koalisi MDS ketika mereka mau membuat film TDD.

Sebagai bagian dari orang yang terlibat menulis buku MDS, saya tidaklah sekemaruk itu: merajuk-rajuk agar karyanya dikutip. Seperti yang saya sebutkan di atas, semakin ke sini, saya semakin menyadari arti menulis sebagai proses belajar. Menjadi bagian dari penulis buku MDS, bagi saya adalah upaya saya untuk belajar. Kerugian, kalau saya diperbolehkan menyebutnya demikian, berada pada film TTD dan pembuatnya: poin soal amblesan tanah dan penyebabnya tidak dibahas dalam film TDD.

Buku MDS sudah melakukan ulasan terhadap publikasi-publikasi tentang ekstraksi air tanah, rob, amblesan tanah, dan erosi pantai di kawasan Semarang dan sekitarnya. Salah satu poin yang menurut saya penting dalam ulasan itu adalah bahwa pembebanan bangunan menjadi faktor yang sangat penting diperhitungkan dalam amblesan tanah di kawasan Semarang dan sekitarnya itu.

Dengan kata lain, karena telah lupa pada kulitnya, karena tidak adanya atau kurangnya komunikasi dengan aktivis-aktivis di kawasan Semarang dan sekitarnya, film TTD melewatkan satu poin yang sangat substantif yang sudah beredar di lingkaran aktivis-aktivis di kawasan Semarang dan sekitarnya. Di titik ini, perlu dipertanyakan metodologi Watchdoc dalam membuat film, atau lebih politis: bagaimana pengetahuan diproduksi — poin yang sama sekali tidak muncul dalam laman KOMPAS yang dikutip di atas (?).

Apakah Watchdoc dan Greenpeace punya diktat tentang kehati-hatian, menyimak (seperti halnya seorang ibu ke anak, alias metodologi feminisme[?]), mendengarkan (langkah pertama demokrasi, metode klasik dalam pengorganisasian), dan refleksivitas-diri (terus-menerus mempertanyakan metodologinya)? Kalau memang tidak punya, mungkin sebaiknya mulai dari sekarang ke depan, perlu memperdalam di bagian itu.

Menurut saya, Watchdoc tidak bisa seenaknya saja tidak membangun komunikasi dengan aktivis-aktivis di suatu tempat dimana ia mau membuat film dokumenter. Karena itu tadi, relasi dua babak Watchdoc dengan aktivisme. Mungkin banyak dari kami ini memang (sebut saja) ‘orang-orang daerah,’ koalisi kami juga, sebut saja, agak ‘daerah’; berbeda dengan Watchdoc yang memiliki jangkauan yang lebih luas (dan sekarang dengan mendapat anugerah peghargaan Ramon Magsaysay mungkin jangkauan Watchdoc akan semakin luas), atau Greenpeace yang lebih luas lagi jangkauannya. Tapi kami, baik secara permanen dan temporer, tinggal di Semarang dan sekitarnya. Kami bergulat dengan persoalan ini. Bagi sebagian dari kami dalam Koalisi MDS, ini soal hidup (dan mati?), soal kampung yang tenggelam, bukan (hanya) soal film.

Implikasi ekonomi politik pemaksaan cerita tunggal dalam TDD

Apa implikasi ekonomi politik dari cerita tunggal — kalau penjelasan di atas diterima — yang dipaksakan dalam TDD? Pertama, seperti yang diobrolin dalam Bergibah Podcast, tema amblesan tanah tidak menjadi pembicaraan dengan porsi yang berarti dalam film TDD. Dengan absennya pembicaraan itu, maka absen pula kemungkinan kritik terhadap dua penyebabnya utamanya, yaitu ekstraksi air tanah dan beban bangunan. Dalam kasus Jakarta, dalam hal ekstraksi air tanah sebagai penyebab amblesan, model hidrogeologi yang ada sudah cukup untuk menyampaikan bahwa penyebab amblesan tanah adalah ekstraksi air tanah dalam. Dengan lain kata, dilakukan oleh orang-orang yang punya uang ratusan juta untuk membangun sumur air tanah dalam, misalnya, hotel, pabrik bir, kantor-kantor, dan para orang kaya. Bukan oleh orang miskin. Artinya, perspektif TDD menjadi lemah dalam mengenali kelompok/strata dalam masyarakat.

Kedua, dengan tidak munculnya diskusi dengan porsi berarti tentang persoalan amblesan tanah dan penyebab-penyebabnya, maka dalam TDD tidak pula muncul kritik terhadap pembangunan infrastruktur rakasasa yang sedang berjalan di kawasan Semarang-Demak: tol dan tanggul laut Semarang-Demak (TTLSD). Salah satu argumen dalam buku MDS adalah: bahwa TTLSD akan menambah beban di kawasan utara Semarang-Demak, memperparah amblesan tanah, dan meningkatkan risiko kawasan terhadap rob. Mengatakan TDD ‘kompatibel’ dengan solusi kapitalis TTLSD mungkin terlalu jauh, tapi kelihatannya tidak salah. Kalau mau diperpanjang, alih-alih melakukan kritik terhadap proyek raksasa seperti TTLSD, film TDD berisiko membuka jalan bagi proyek semacam itu; atas nama kemendesakan menjaga agar kota-kota Pantura Jawa tidak tenggelam.

Betapa berbahayanya cerita tunggal seperti yang dicoba, atau barangkali sudah, dipraktikkan Watchdoc dan Greenpeace dalam TDD. Implikasi ekonomi politik pertama dan kedua di atas hanyalah sebagian saja, dan barangkali bagian kecil, dari sebuah percobaan cerita tunggal. Yang lebih dalam, cerita tunggal, mengutip Chimamanda Ngozi Adichie, membuat kita kehilangan semacam “surga,” karena cerita tunggal “menghalangi pengakuan kita atas kemanusiaan kita yang setara.”

— -
Catatan:
1) Ada bagian-bagian dari tulisan ini yang dicopy dari naskah Bergibah Podcast yang di-link di atas.
2) Ada komentar dari seorang kolega. Poin komentarnya adalah, perubahan iklim adalah isu lokal sekaligus global. Saya/penulis sepakat dengan dan mengucapkan terima kasih untuk komentar itu. Sebagai reaksi atas komentar itu, pemakaian kata lokal/global dalam versi ini (6/09/2021) sudah dikurangi/dihapus, dan keseluruhan tulisan diedit pada 6/09/2021. Mungkin itu tidak benar-benar menjawab substansi poin kritik.
3) Atas saran seorang kawan, link-link ke publikasi amblesan tanah ditambahkan pada 7/9/2021. Terima kasih untuk saran itu.

--

--