Kekalahan Melawan Tenggelamnya Pulau Tirang Tapak

BERGIBAH PODCAST
7 min readSep 15, 2021

--

Oleh: Umi Ma’rufah (MDS)

Sebagai pendatang di Kota Semarang, penulis cukup menyesal karena tidak sempat mengunjungi lokasi wisata yang pernah menjadi salah satu ikon wisata Kota Atlas, yaitu Pulau Tirang. Pulau yang terletak kurang lebih 1,5 km dari pesisir utara Kelurahan Tugurejo Kota Semarang ini telah hilang karena terjangan abrasi selama bertahun-tahun. Abrasi yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim yang berimbas pada naiknya permukaan air laut, melainkan merupakan dampak yang dihasilkan dari aktivitas reklamasi yang datang dari berbagai penjuru. Demikianlah pendapat warga Tapak yang menempati, memelihara, dan menyaksikan hilangnya pulau tersebut.

Lokasi Kelurahan Tugurejo.

Dengan menjelaskan dinamika abrasi di kawasan ini dengan penekanan pada proses-proses yang melibatkan intervensi pengembang seperti proyek reklamasi, ataupun intervensi warga dan berbagai kelompok melalui konservasi mangrove, bukan berarti penulis meniadakan proses di luar itu, terutama yang bersifat lebih “alamiah” yang berperan dalam membentuk maju-mundurnya garis pantai. Di kawasan Semarang dan sekitarnya, sejarah telah mencatat bahwa garis pantai maju dan mundur dengan skala yang tak kecil dalam kerangka waktu. Yang ingin disampaikan secara eksplisit adalah bahwa dalam dinamika maju dan mundurnya garis pantai di kawasan ini dalam skala waktu yang lebih panjang, di dalamnya ada intervensi-intervensi yang melingkupi skala waktu yang lebih pendek.

Tidak banyak yang tahu bahwa berdasarkan suatu versi, asal usul nama Kota Semarang berasal dari gabungan dua buah kata, yaitu asem (yang berarti asam/pohon asem) dan arang (yang berarti jarang). Dikutip dari website mapnall.com, penamaan “Semarang” bermula dari cerita Ki Ageng Pandanaran I yang mendatangi sebuah pulau bernama Pulau Tirang (dekat Pelabuhan Bergota) dan melihat pohon asam yang jarang-jarang tumbuh berdekatan.[1] Namun, informasi agak berbeda didapatkan beberapa blogger yang mengunjungi wilayah ecoedu wisata Mangrove Tapak. Para blogger ini bercerita, bahwa menurut warga yang menjadi guide pengunjung, keberadaan Pulau Tirang tidak lepas dari sejarah kota Semarang karena kata “Rang” berasal dari Pulau ini.[2] Dua informasi yang berbeda ini memiliki setidaknya satu kesamaan, yaitu bahwa sejarah Kota Semarang tidak lepas dari adanya Pulau Tirang.

Tidak begitu jelas kapan tepatnya pulau ini tenggelam. Catatan Dimas Suyatno pada 2017 menjumpai Pulau Tirang dalam kondisi daratan yang masih tersisa sedikit.[3] Abdul Mughis, pewarta Jatengtoday.com, pada 28 Januari 2018 telah menyatakan bahwa Pulau Tirang hilang akibat abrasi.[4] Sementara dalam cerita seorang blogger bernama Lenny Lim yang berkunjung ke Tapak pada Maret 2019, ia menyaksikan Pulau Tirang masih ada dengan kondisi makin menciut dan agak terbengkalai. Luasnya tidak lebih dari luas lapangan bola. Lenny juga diberitahu bahwa dulunya terdapat sumber mata air tawar di Pulau Tirang tapi sudah menghilang.[5] Lalu pemilik blogger lain bernama Parlindungan dalam postingannya pada 19 November 2019 menyatakan Pulau Tirang telah hilang lantaran abrasi yang sangat hebat.

Berdasarkan cerita Dimas dan Lenny, yang mereka peroleh dari warga, penyebab dari menciut dan hilangnya pulau ini adalah karena reklamasi yang dilakukan di dekat Marina oleh PT Indo Perkasa Utama (IPU) dan di Kendal oleh PT Kayu Lapis Indonesia (KLI). Akibatnya segala jenis flora dan fauna yang tinggal di dalamnya lenyap tak bersisa.[6]

Profesor Sudharto P Hadi, pengamat lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) pun membenarkan jika proyek reklamasi menyebabkan abrasi dan rob. Menurut dia, pengikisan tanah atau abrasi yang terjadi di sepanjang pantai Marina, Kartika Jaya Kendal, Mangunharjo, dan lain-lain menimbulkan rob, karena air mencari dataran rendah. Akibatnya banjir pun tak terelakkan sebab sungai menjadi lebih panjang.[7]

Prof Sudharto juga menyatakan bahwa 65% garis pantai Kota Semarang dikuasai oleh swasta. Adapun total panjang garis pantai Kota Semarang mulai dari perbatasan Demak hingga Kendal ialah sepanjang 23,5 kilometer. “Sehingga hal itu menjadi salah satu sebab proyek reklamasi yang tidak berwawasan lingkungan sulit dikendalikan,” kata Prof Sudharto kepada Jawa Pos Radar Semarang.[8]

Pengusaha swasta tidak hanya mengincar bibir pantai untuk diuruk tetapi juga ratusan hektar lahan tambak tempat warga memelihara dan memanen ikan.[9] Tambak-tambak yang kurang produktif menjadi sasaran para pengembang properti dan industri, termasuk yang ada di pesisir Kampung Tapak. Memang diakui rata-rata petambak bahwa mereka merugi lantaran budidaya bandeng dan udang makin susah. Kesusahan itu tidak serta-merta hanya datang karena naiknya permukaan air laut, namun juga disebabkan oleh para industriawan yang membuang limbah pabriknya ke Sungai Tapak.

Persoalan limbah yang mencemari sungai dan tambak warga Kampung Tapak sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. Sejak 1976 wilayah ini telah dilanda pencemaran berat dari pabrik yang beroperasi di sekitar wilayah tersebut. Akibatnya usaha tambak warga pun mengalami kerugian besar. Kondisi ekonomi yang makin lemah memaksa para petambak ini menerima tawaran untuk menjual lahan mereka pada para pengusaha dengan harga murah. Per 2000, hampir seluruh lahan tambak di wilayah Tapak telah dijual ke perusahaan. Hal ini dibenarkan oleh Yono (nama samaran), warga Tapak yang giat menggerakkan penanaman mangrove di pesisir Tapak. ia menyebutkan saat ini 95% lahan tambak telah dikuasai oleh perusahaan, termasuk tambak ayahnya yang telah berubah jadi laut.

Yono bercerita, dulu Pulau Tirang bukanlah pulau tersendiri melainkan masih menyatu dengan wilayah tambak dan daratan Kampung Tapak sehingga orang masih bisa menjangkau wilayah itu hanya dengan jalan kaki. Tambak milik ayah Yono berada di area yang sebelumnya merupakan area tanah Pulau Tirang. Pada 1992, tambaknya dibeli oleh PT IPU. Tiga tahun kemudian, abrasi besar-besaran menerjang kawasan pesisir Semarang Barat. Ternyata peristiwa abrasi yang terjadi pada 1995 itu disebabkan oleh aktivitas PT KLI yang mengeruk pasir pantai sebagai lokasi penumpukan logging. Tidak butuh waktu lama untuk tambak ayah Yono yang telah dimiliki PT IPU itu hilang terbenam air laut. Akibat dari abrasi itulah kemudian terbentuk Pulau Tirang.

Penjualan lahan tambak memang telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, namun pihak pengusaha tidak lantas menggunakan lahan-lahan itu sebagaimana yang mereka inginkan. Karena tidak ada aktivitas apapun dari pemilik lahan, warga pun masih melanjutkan usaha pertambakan walaupun hasilnya tidak sebagus sebelum terjadi pencemaran dan rob. Hal itu tetap mereka lakukan mengingat susahnya memiliki pilihan lain selain mengerjakan tambak. Sebagian warga Tapak bahkan menyewa tambak di kelurahan lain karena memang itulah keahlian mereka. Seperti Yadi (nama samaran), warga Tapak RT 1, di Karanganyar dia memiliki sebidang lahan tambak yang ia sewa dari seseorang. Namun, sudah sejak 7 tahunan yang lalu tambak tersebut dijual oleh si pemilik dan sekarang telah rata oleh reklamasi. Meski begitu Yadi saat ini masih mengerjakan tambak dengan cara menyewa lagi di pesisir paling utara yang sekarang mulai sering terkena abrasi.

Sejak 2016 silam bayang-bayang bahwa lahan tambak yang saat ini masih digarap warga akan direklamasi makin kentara. Hal itu lantaran reklamasi di atas lahan-lahan tambak di pesisir Kelurahan Karanganyar telah mulai dikerjakan. Warga tahu posisi mereka yang lemah secara kepemilikan, dan mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin dapat mengintervensi untuk apa lahan itu akan digunakan. Namun, posisi mereka sebagai penjaga konservasi mangrove memiliki suara untuk tetap mempertahankan kelestarian lingkungannya.

Pengalaman pencemaran limbah yang dialami warga Tapak selama bertahun-tahun serta penebangan pohon mangrove yang masif pada dekade 1990 hingga 2000-an melahirkan kesadaran warga Tapak untu mencari solusi atas permasalahan lingkungan tersebut. Wadah komunitas bernama Perkumpulan Pemuda Cinta Lingkungan Tapak (Prenjak) pun lahir, tepatnya pada 3 Maret 2001.[10] Aktivitas Prenjak berkisar pada aksi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lewat penanaman mangrove dan pemasangan Alat Pemecah Ombah (APO). Akhirnya wilayah tambak Tapak seluas 280 hektar pun berangsur pulih menjadi hutan mangrove.

Secara kimiawi, mangrove yang tumbuh di ujung sungai berperan penting sebagai penampung terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan perkampungan hulu yang terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air sungai terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas. Risikonya adalah, area hutan mangrove akan menjadi daerah penumpukkan limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan estuari melampaui kemampuan pemurnian alami oleh air. Secara fisik, mangrove secara alami berperan efektif dalam melindungi pantai dari tekanan alam dan erosi.[11]

Sayangnya, upaya penanaman mangrove dan pemasangan APO tak cukup untuk menekan laju abrasi yang menghantam Pulau Tirang. Prenjak kalah dalam melawan tenggelamnya Pulau Tirang. Dampak abrasi yang diproduksi oleh aktivitas reklamasi di kiri oleh PT KLI dan kanan oleh PT IPU terlalu besar untuk dibendung. Kini ancaman juga datang dari PT Bumi Raya Perkasa Nusantara (BRPN) yang hendak mereklamasi seluruh wilayah tambak yang tersisa di Tapak untuk dijadikan kawasan industri dan pemukiman. Jika sudah demikian, apakah warga Tapak akan kembali kalah dalam melawan tenggelamnya kampung mereka?

Catatan:

Tulisan ini adalah versi pendek, bagian dari buku yang sedang digarap oleh Koalisi Maleh Dadi Segoro, dengan tajuk “Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi politis urbanisasi das-das di Semarang.

[1] “Kota Semarang”. Diakses dari Peta — Kota Semarang (Semarang) — MAP[N]ALL.COM (mapnall.com) pada 10 September 2021.

[2] Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. Diakses dari Menjelajah Mangrove Tapak Semarang — Dimas Suyatno pada 11 September 2021 dan Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. Diakses dari https://www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ pada 11 September 2021.

[3] Dimas Suyatno (18 Mei 2017). “Menjelajah Mangrove Tapak Semarang”. Diakses dari Menjelajah Mangrove Tapak Semarang — Dimas Suyatno pada 11 September 2021.

[4] Abdul Mughis (28 Januari 2018). “Pulau Tirang yang HIlang Tenggelam”.

[5] Lenny Lim (30 Maret 2019). “Menyusuri Mangrove Tapak Semarang”. Diakses dari https://www.len-diary.com/menyusuri-mangrove-tapak-semarang/ pada 11 September 2021.

[6] Parlindungan (19 November 2019). “Pantai Tirang Semarang”. Diakses dari Menjelajah Mangrove Tapak Semarang — Dimas Suyatno pada 11 September 2021.

[7] Jawa Pos Radar Semarang (8 Agustus 2016). “Reklamasi yang Tidak Berwawasan Lingkungan”.

[8] Jawa Pos Radar Semarang (8 Agustus 2016). “Reklamasi yang Tidak Berwawasan Lingkungan”.

[9] Jawa Pos Radar Semarang (8 Agustus 2016). “Diduga Penyebab Rob Semakin Parah”.

[10] Tiara KCS (2016). “Adaptasi Petani Tambak Terhadap Eksistensi Tambak Akibat Rob”. Tugas Akhir Unissula.

[11] Nana KTM. & Andin I (Juli 2014). “Peranan Mangrove Sebagai Biofilter Pencemaran Air Wilayah Tambak Bandeng Tapak Semarang”. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. 21 (2).

--

--