Warga Mangunharjo Tidak Diam saat PT KLI Menenggelamkan Pantai dan Tambak

BERGIBAH PODCAST
4 min readSep 14, 2021

--

Oleh Bagas Yusuf Kausan (Anggota Koalisi Maleh dadi Segoro)

Saya memulai tulisan ini dengan dua informasi. Pertama, tulisan ini merupakan versi pendek dari satu tulisan utuh yang masih dalam proses pengerjaan untuk buku bertajuk “Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang”. Buku tersebut dikerjakan oleh Koalisi Maleh dadi Segoro (MDS) dengan biaya dari hasil mobilisasi sumberdaya melalui laman Kitabisa.com. Kedua, tulisan ini membahas satu nama perusahaan yang beberapa bulan terakhir cukup menarik perhatian saya: PT Kayu Lapis Indonesia (PT KLI). Lokasi pabrik PT KLI terletak di pesisir Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, berbatasan dengan pesisir Kota Semarang.

Saya menganggap PT KLI menarik karena dua hal. Pertama, perusahaan ini termasuk pemain besar dalam skena industri perkayuan. Kedua, keberadaan perusahaan ini bermasalah — baik itu di hulu ataupun di hilir. Tulisan ini hanya akan mendalami satu plot rantai produksi kayu PT KLI di hilir yakni terkait keberadaan pabrik pengolahannya di Kendal. Sementara untuk di hulu hanya akan dibahas sedikit saja.

Di hulu, melalui berbagai macam nama anak perusahaannya, PT KLI terlibat dalam aktivitas penghancuran hutan-hutan alam di Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Kayu hasil menghancurkan hutan alam di ketiga pulau itulah yang kemudian dibawa ke rantai produksi berikutnya: pabrik pengolahan PT KLI di Pulau Jawa. Pabrik pengolahan tersebut juga menerima pasokan kayu dari berbagai perusahaan lain. Setelah diolah, kayu-kayu tersebut pun dijual ke banyak tempat, termasuk ke mancanegara seperti Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Tiongkok, dan Korea.[i]

Pabrik pengolahan kayu milik PT KLI di Kendal dibangun pada 1976, selesai pada 1987. Bangunan pabrik tersebut berdiri di atas tanah seluas sekitar 100 hektar, yang sebagiannya merupakan hasil reklamasi. Bangunan pabrik PT KLI menjorok 500 meter ke laut, bahkan terus bertambah sampai sekitar 700–1000 meter.[ii] Sejak PT KLI membangun pabrik di Kendal, Jawa Tengah, beberapa warga desa di pesisir Kendal dan Semarang mulai menderita. Salah satu desa di Semarang tersebut ialah Mangunharjo.

Lokasi Mangunharjo.

Mengapa menderita?

Bagaimanapun masing-masing ruang memiliki hubungan yang relasional, dalam arti perubahan ruang di pesisir Kendal berhubungan dengan perubahan di Desa Mangunharjo, Kota Semarang. Misalnya, pembangunan pabrik PT KLI yang menjorok ke laut turut memicu perubahan arus laut. Akhirnya gelombang pun membesar ke kiri dan kanan dari titik reklamasi. Dampaknya, pelan-pelan dataran pantai yang terkena buangan gelombang yang membesar pun makin terkikis habis (abrasi). Fase selanjutnya dari kerusakan pantai akibat abrasi yang dipicu reklamasi PT KLI ialah makin banyaknya tambak yang berubah jadi laut, tenggelam. Makin lama, yang tenggelam bukan hanya dataran pantai, tapi juga tambak-tambak warga Mangunharjo.

Di bawah kendali pembangunan kapitalistik, hubungan relasional antara perubahan ruang di Kendal dan Semarang tersebut sebenarnya timpang. Dalam arti, di satu sisi ada PT KLI yang untung dan di sisi lain ada warga Mangunharjo yang buntung. PT KLI untung karena dengan adanya pabrik dari hasil reklamasi, mereka pun bisa melakukan aktivitas pengolahan, menjualnya ke luar negeri, dan kemudian mendulang keuntungan ekonomi. Sementara bagi sebagian warga Mangunharjo, tenggelamnya tambak berarti hilangnya sumber pemasukan ekonomi warga. Hilangnya sumber ekonomi menjadi salah satu derita warga akibat akivitas PT KLI di pesisir Kendal-Semarang.

Tenggelamnya tambak-tambak warga memang tidak sepenuhnya imbas dari reklamasi yang dilakukan PT KLI. Warga juga tidak menutup diri pada faktor lain tersebut. Seperti yang terekam dalam sebuah wawancara di media,

“Kami tidak memungkiri faktor alam seperti arus dan gelombang air laut. Tetapi itu tidak seberapa. PT KLI mempunyai andil 70% terhadap kerusakan tambak”[iii]

Lalu pertanyaannya, apakah warga Mangunharjo diam saja ketika tambak-tambak mereka ditenggelamkan PT KLI? Tentu saja tidak. Warga bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang membentuk organisasi perjuangan, namanya Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (KMPL) Mangunharjo. Wadah ini sudah menempuh aneka macam bentuk protes. Misalnya, pada 1999 wadah ini pernah mendesak DPRD untuk mengadakan rapat dengar pendapat bersama pihak PT KLI dan instansi pemerintahan terkait.[iv] Pada tahun yang sama, KMPL juga sempat mengadakan audiensi dengan Wakil Gubernur Bidang III.[v]

Tentu saja tidak semua upaya protes, termasuk audiensi, membuahkan hasil sesuai yang diinginkan KMPL. Namun dalam kacamata saya, apa yang dilakukan KMPL sudah menunjukkan bahwa mereka tidak diam ketika tambak mereka ditenggelamkan. Mereka bergerak, menghimpun diri, dan berjuang.

*

Dengan demikian, sebenarnya ada cerita bahwa warga pesisir yang lahannya tenggelam, berubah menjadi laut, lalu kemudian melawan alih-alih hanya diam. Cerita tersebut berbeda dengan, misalnya, narasi film Tenggelam dalam Diam (TDD) yang tayang di kanal Youtube Watchdoc (2021). Komentar menarik soal film tersebut sudah dilakukan Bosman Batubara. Tulisan ini hanya akan membahas satu hal tentang film dokumenter TDD yang diproduksi Watchdoc dan Greenpeace. Pada 2006, Greenpeace pernah merilis dokumen Lembar Kerja Kehutanan bertajuk “Kayu Lapis Indonesia: Dewa Perusak Hutan Alam Indonesia yang Pandai Menghindar dari Hukum”. Di sana, PT KLI disebut sebagai “Dewa yang tak tersentuh”.

Rilisan tersebut memang lebih fokus membahas aktivitas PT KLI di hulu, dalam bentuk pembalakan liar di berbagai hutan alam yang tersebar di Kalimantan, Papua, atau Sumatera. Walau begitu, rilisan tersebut juga membahas keberadaan pabrik pengolahan kayu PT KLI di Pulau Jawa (Kabupaten Kendal). Bahkan, dengan mengutip tesis doktoral David Nicholson (2005) bertajuk Environmental Dispute Resolution in Indonesia, rilisan tersebut menyebut jika pabrik PT KLI di Kendal beroperasi tanpa perencanaan lingkungan dan telah merugikan masyarakat pesisir Kendal dan Semarang.

Pada titik ini, Greenpeace sebenarnya sudah mengetahui soal aktivitas pabrik PT KLI dan dampak lingkungannya. Karena mengutip (yang karena itu berarti membaca) tesis David, maka sebenarnya dampak lingkungan yang dimaksud pun dapat diperjelas lagi. Karena ketika saya mengecek cepat tesis David yang kemudian dibukukan, penjelasan soal tenggelamnya tambak warga akibat akivitas PT KLI memang ada. Namun sayangnya, pengetahuan (dalam bentuk rilisan) tersebut seolah tidak dibuka kembali dan diperdalam lagi pada saat riset film TDD. Yang muncul kemudian justru bahwa tenggelamnya pesisir Semarang memang karena kenaikan muka air laut, bukan karena, misalnya, reklamasi yang dilakukan PT KLI.

Catatan Akhir

[i] Arsip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

[ii] Arsip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

[iii] Kompas, 20 Maret 2003, “Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura”, hlm. 08.

[iv] Kompas, 20 November 1999, “Perusakan Pantai Mangunharjo: PT KLI Saling Tuding dengan Dinas Pengairan”, hlm. 19.

[v] Arsip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

--

--