Filosofi Genteng

Better Tomorrow
5 min readJun 14, 2022

--

Tiga tahun lalu ada sebuah buku berjudul "Filosofi Teras", yang sekalipun sejak kemunculannya banyak orang merekomendasikan, sama sekali belum berminat saya baca. Jadi tulisan ini tidak terinspirasi dari sana.
Saya jadi teringat tulisan seorang kawan, "Filosofi Seblak" judulnya, ada varian baru seblak rasa Milo katanya, haha. Mungkin ia habis membaca buku Filosofi Kopi-nya Dee Lestari, lalu terinspirasi dan menulis sesuatu tentangnya.

Judul ini berawal dari sharing pengalaman saya bersama teman-teman sekelas yang mengambil mata kuliah proposal skripsi di semester 6. Katanya pikiran mereka sedang amburadul, sudah lupa seminggu terakhir melakukan apa saja, karena begitu banyaknya tugas yang harus dikerjakan dalam waktu bersamaan. Jadi saya cerita, kalau sedang kacau, saya suka naik ke atas genteng. Di atap rumah ada semacam dak kecil kira-kira ukuran 3x1 meter untuk menyimpan tandon air, yang untuk menuju ke sana harus menaiki genteng terlebih dulu. Lalu salah satu teman kelas membagikan video YouTube saya yang isinya kebanyakan diambil dari genteng rumah, kemudian muncullah kata-kata “inspirasi genteng", “atap inspirasi” dan “filosofi genteng” dari teman-teman. Yang disebut terakhir itu menarik, jadi saya buat judul tulisan lalu diposting saja tanpa isi. Setelah sekian lama, lupa, jadi baru ingat lagi sekarang, 2 tahun kemudian.

Ya, dari atas sini saya merasa, bagi manusia, terkadang perlu pergi ke tempat-tempat tinggi hanya agar sadar bahwa dirinya kecil, lemah, tanpa daya. Memosisikan diri sebagai bagian kecil dari alam semesta.

Namun pada saat-saat tertentu pernah hadir suara yang entah datangnya dari mana, mungkin semacam jouska, merasakan sedang berada dalam obrolan dengan seseorang dalam kepala, atau bisa jadi asalnya dari bisikan angin yang membawa pesan dari orang yang entah siapa, atau barangkali suara dalam hati? Ngomong-ngomong, suara dalam hati itu ada di mana ya? (Lalu berakhir dengan mencari di internet, berkata 'ooh..’, kemudian lupa kalau tadi sedang menulis). Pada saat-saat tertentu itu, muncul peristiwa yang sulit untuk diungkapkan kata-kata, sebab diri seolah menyatu dengan alam semesta, bukan lagi sebagai bagian, bukan pula satu kesatuan, sebab satu masih terdiri dari bagian-bagian. Melepaskan keterikatan diri terhadap apapun, ternyata bukan menjadikan diri hampa, justru semua sisi jadi terisi, penuh, utuh. Di sanalah letak keajaibannya, yang tidak akan kita pahami bila tidak mengalami secara langsung. Namun momen itu juga hanya terjadi begitu singkat. Setelahnya hanya diam. Lalu kembali melanjutkan aktivitas. Pada kesempatan lain teringat dan mulai muncul keinginan untuk bisa merasakan kembali hal yang sama. Sebuah kegagalan yang sudah diketahui sedari awal, bahwa keinginan itu justru yang membuat diri terikat.

Hari berikutnya diisi dengan hal-hal lain lagi, menatap matahari pagi yang muncul dibalik gunung, melamun, sesekali ketiduran. Mendengar kicau burung, kokok ayam, tangis bayi, anak yang sedang dimarahi karena tak lekas berangkat sekolah. Mencium asap pembakaran sampah rumah tangga, bau knalpot motor yang sedang dipanaskan, atau wangi embun pagi. Merasakan dinginnya kabut, lembutnya sinar yang menerpa kulit, atau rintik hujan yang jatuh langsung dari langit tanpa perantara.

Tak cukup siang hari, saya naik lagi ke atas genteng untuk tidur di malam hari. Naik jam 10, turun saat adzan pertama berkumandang. Alasannya cuma satu, ingin lihat langit, bukan langit-langit. Walau terdengar agak aneh, sebab tidur kan memejamkan mata. Dengan perbekalan sebuah selimut, cukup untuk menghangatkan tubuh dari angin malam, atau menjadi kamuflase supaya tidak disadari orang.

Hari lainnya hanya mendengar musik instrumen dengan earphone atau sesekali bermain gitar, sisanya membawa buku bacaan yang belum dituntaskan.

Berbicara soal buku, pekan ini saya sedang gemar membaca buku sastra semacam Anak Bajang Menggiring Angin (Sindhunata), Aroma Karsa (Dee Lestari), dan Hotel Pro Deo (Remy Silado). Nama-nama unik (kalau tidak disebut kuno), penokohan dengan kemampuan ajaib, kisah bagai legenda yang jauh dari realitas, namun bisa terasa begitu dekat, mengingatkan kembali tentang buku lama (yang saya baca sewaktu SD), seperti Abu Nawas Kena Tipu dan Kisah 1001 Malam. Menarik sekali rasanya dapat menemukan sesuatu yang berbeda pada hal yang sama. Begitu indah karya yang dibuat dengan makna mendalam, namun tetap bisa dinikmati dengan tawa bagi anak yang belum remaja. Bila saya membuat salah satu cerita yang serupa, saya yakin salah satunya akan berjudul “Kecoak pun jadi guru".

Agaknya dalam suasana di atap rumah ini, tidak sulit untuk membayangkan latar layaknya Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang sudah diambang kesempurnaan, namun kalah karena diselubungi hawa nafsu. Atau Anjani yang penderitaannya harus ditanggung anaknya, Anoman, karena pernah bernafsu memiliki dunia. Atau Sinta, yang mempertanyakan arti cinta bila tanpa kepercayaan. Atau orang Indonesia, seperti pada sosok Dharsana, yang gampang sekali melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh pak RT. Segalanya jadi mungkin karena semua hal menjadi tidak asing bila kita mengizinkan kemungkinan-kemungkinan itu terjadi. Padahal sebelum ini, segalanya memang asing dan akan kembali menjadi asing.

Bahkan, ada masa ketika manusia awalnya tidak ada sama sekali (belum berwujud) [1], belum merupakan sesuatu yang dapat disebut [2] (hewan menjijikan macam belatung saja masih bisa disebut!), lalu dicipta dari saripati tanah [3], yang ruhnya pernah memberi kesaksian bahwa Rabb nya adalah yang telah menciptakannya [4], lalu terlahirlah ke bumi tanpa mengetahui apa-apa namun diberikan potensi [5], supaya di alam yang baru (dunia) dapat mengingat kembali kesaksian yang pernah diucap sebelumnya dan bersyukur. Tapi seringkali kita (saya) berjalan tanpa merasa pernah mengatakan tanda setuju atas tujuan hidup di dunia, menjalani aktivitas hidup sekemauan diri. Padahal begitu yakin bahwa suatu saat akan mati, yang kematian itu juga bagian dari perjalanan untuk dibangkitkan kembali di alam yang baru (lagi). Maka, itu filosofi genteng bagi saya, untuk kembali menyadari bahwa saya manusia, yang kecil, begitu payahnya, bahkan untuk sekadar sadar sekalipun harus pergi dulu ke tempat tinggi.

Satu lagi, di atap genteng, saya sering dibuat heran saat melihat gunung, pohon-pohon, bintang, bulan, matahari, burung terbang. Bagaimana bisa pohon dan gunung itu tetap taat untuk diam ditempatnya sepanjang waktu? Bagaimana bisa burung terbang tanpa ada penyangga? Bagaimana bulan dan matahari bekerjasama tanpa pernah saling bertemu? Sesuatu berbisik lagi entah dari mana, mari sebut saja dia 'Burhan’, katanya jawaban dari semua pertanyaan itu adalah mereka bertasbih kepada sang Pencipta dengan caranya masing-masing yang tidak saya ketahui. Saya berpikir, barangkali itulah kenapa kita berbuat sesuka hati, karena belum ada kesadaran diri sebagai manusia, sebab mana mungkin memisahkan tujuan hidup manusia dari hidupnya sendiri? Burhan menyahut "Memang kamu sudah berpikir?"

Selasa, 14 Juni 2022

Sumber :

[1] Al-Qur’an, 19:67

[2] Al-Qur’an, 76:1

[3] Al-Qur’an, 23:12–16

[4] Al-Qur’an, 7:172

[5] Al-Qur’an, 16:78

--

--