Penderitaan
Agaknya saya beruntung karena ibu meninggal lebih dulu. Ralat, aneh sekali kalimatnya. Saya bersyukur karena bisa mengambil hikmah dari peristiwa meninggalnya ibu. Bahwa sejatinya, saya (kita semua) tidak punya apa-apa, bahkan diri ini bukanlah milik sendiri.
Dan melepaskan keterikatan terhadap segala sesuatu, adalah kunci untuk terlepas dari penderitaan.
Ada seorang yang mewakili pembahasan mengenai ini : Buddha
Katanya, karakteristik kehidupan ini adalah dukkha. Ia pernah mengalami 2 cara hidup yang ekstrem, sebagai putra mahkota hidup bergelimang seluruh kebutuhan, penuh kenikmatan dan kesenangan di istana kerajaan; dan hidup dengan menyiksa diri tanpa makan dan minum sampai hampir mati di hutan.
Bertahun-tahun di hutan, yang ia temukan hanya ketenangan. Saya tebalkan kata ‘hanya’, karena entah mengapa, ketenangan yang kebanyakan dicari oleh orang.
Setelah menyiksa dirinya sampai kurus kering hampir mati, dan mendapatkan ketenangan, ia menyadari bahwa bukan untuk itu ia hidup, bahwa ketenangan tidak memberikan sesuatu padanya, ketenangan tidak menjawab penderitaan.
Ia berjalan, lalu duduk di bawah sebuah pohon Aswata, yang nantinya disebut sebagai pohon Bodhi (pencerahan sempurna). Ia mendapatkan pencerahan bahwa yang menyebabkan penderitaan adalah attachment atau kemelekatan. Sampai dirinya disebut Buddha (yang tercerahkan/yang bangun dari mimpi-mimpi sementara).
Sembari duduk, ia menerima segala sensasi yang ada, juga segala perasaan dan pemikiran yang hadir, menerima saja, tanpa perlu diproses lebih lanjut, yang pada intinya, pencerahan adalah yg akhirnya kita sebut sebagai kesadaran.
Kesadaran ini, bila dilatih terus menerus, bisa mencapai sesuatu yg disebut kesadaran murni atau nirwana, yang bahkan hadir begitu singkat.
Cerita Buddhanya sampai sini dulu.
Agaknya, semua makhluk sentien mengalami penderitaan, hanya mungkin ada yang tidak secara sadar. Karna bahkan dengan tidak melakukan apa-apa (berdiam diri) dalam posisi yang sama terus menerus, pada suatu titik kita merasakan ketidaknyamanan, rasa sakit, penderitaan. Maka manusia melakukan gerakan, terus bergerak, ribuan kali dalam gerakan kecil maupun besar, yang paradoksnya tetap saja akan menderita.
Uniknya, penderitaan ini mendorong macam-macam perilaku yang berbeda pada tiap orang. Misalnya :
Tapi saya mau mengajak untuk zoom lebih dekat sebelum perilaku itu muncul. Tentang jeda waktu sebelum mengambil tindakan, tentang spasi sebelum karakter selanjutnya diketik : Kesadaran
Ada kalimat yang paling diingat dari film Inception, sebelum mereka "membangunkan diri" dari Limbo (alam bawah sadar tak terhingga) di rel kereta api :
And I planted an idea. A simple little idea that would change everything : that her world wasn’t real
Bahwa untuk bangun, untuk tercerahkan, untuk hidup kembali, perlu adanya kesadaran, yang menariknya dimulai dengan ide yang begitu sederhana.
Dalam kenyataan, satu ide simpel yang sepertinya semua manusia tau (karena mencari tau atau diberi tau), yang agaknya hanya sedikit yang benar-benar menyadarinya dengan kesadaran penuh, bahwa :
We’re created
"Membangunkan diri" kembali dengan hentakan baru, yang mengubah cara pandang akan seluruh kehidupan, change everything.
Bahwa kita diciptakan, bukan hanya dari ketiadaan menjadi ada, setelah ada pun kita dimiliki, diatur, diurus, dididik, dijamin rezeki, dipelihara, dihidupkan, dimatikan.
Dengan sebuah kesadaran "kita dicipta" (makhluk) maka pasrahkan segala sesuatu yang melekat pada diri kepada Sang Pencipta (Khaliq), maka akan terlepaslah penderitaan.
Maka saya ambil kesimpulan umum, bahwa semua orang setidaknya punya satu tujuan yang sama : selamat
Setidaknya ada satu proyek hidup yang sama : proyek penyelamatan diri
Contoh ekstrem saja : Bunuh diri sekalipun sebenarnya bertujuan selamat, bukan? Penyelamatan diri dari hal yang lebih menyakitkan ketimbang kehilangan nyawa.
Lanjutan dari cuplikan film tadi :
The death was the only escape
Kesimpulan akhir ini, adalah awal dari kehidupan baru. Langkah awalnya adalah kesadaran diri.