Malam Dalam Pengaruh

bibigohoonie
3 min readSep 17, 2022

--

9,3,9 AU

Hal yang pertama Jaya ambil hikmahnya begitu angkat panggilan Arka adalah, jauhkan telinga dari ponsel sebisanya, Karena siapa tahu penelepon di seberang sejenis Arka yang menjerit histeris saat ponsel masih menempel di telinga.

“LO DIMANAAA?”

Anjirr.

Jaya bengang temporer sebelum akhirnya bisa mendengar kelanjutan suara Arka yang masih saja jerit-jerit di seberang. Entah apa motifnya.

JAYAAAA! JAY JAYA JAYAAAAA!!!!! LO DIMANAAAAAAA????”

Jaya langsung ngelirik ke kiri, pada tiga dewasa muda lain yang beruntungnya terlalu fokus dengan Nintendo dan kumpulan jamur melompat untuk bisa peduli padanya. Mereka memang lagi mabar di ruang tengah. Jaya berdiri, menjauh.

“Nggak usah teriak, Ar. Gue nggak budek, ya.”

JAYAAAAAAAA.”

Jaya menghela, capek sakit telinga. “Apasih?”

“Kok gitu jawabnya? Lo marah lagi sama gue? Marah mulu perasaan ada dendam apasihhh?”

Langkah Jaya capai balkon rumah, tatap langit sambil menyesap udara yang dingin dan basah. “Gue tanya doang, kenapa nelpon. Tante Yuna nyariin?”

Ada keributan asing yang terdengar di seberang, Jaya benar-benar berpikir Arka lagi ada di pasar malam atau apalah —

Jempuuuuuutt.”

— sampai akhirnya terdengar rengekan panjang yang tidak lazim mendayunya. Masih syok, Jaya menjawab singkat. “Gue bukan gojek.”

“Iyaaaa. Lo bukan gojek, tapi kan calon suami gueee.”

Alis Jaya langsung tertaut ngeri, ponselnya ia jauhkan lagi untuk alasan yang berbeda. Bertanya penuh curiga, “Lo mabuk?”

Hening sebentar, sebelum ada suara rengekan lain.

“Mana ada gue mabuuuuuuk.”

Mabuk. Fix mabuk.

Helanya keluar, entah kenapa kepalanya langsung pening. Gue sibuk, naik gojek sana.”

“Saldo gopay gue abiisssss.”

“Pake duit di dompet.”

“Gapunya uaaangggg.”

“Lo dateng bareng siapa?”

“Riki Juna.”

“Yaudah pulang bareng mereka.”

“Mereka ngilang jayaaaaa, gak tahu ke manaaaaa.”

Sumpah deh ya, cobaan hidup Jaya memangnya kurang topping atau variasi? Sungguhan, ia bakal dengan senang hati mematikan panggilan dan berlagak tak peduli seperti biasa. Tapi ini Arka.

Bukannya tak mungkin dia nelpon ibunya sendiri saking mabuknya.

“Lo di Arren?”

“Iyaaaaaa.”

“Ngapain ke sana?”

“Maiiiiiinnn, masa gue di rumah malem-maleeeemmmm?”

Jaya sandarkan siku pada dinding pembatas balkon, bersuara lirih. “Kan biasanya juga sama gue?”

“Mana adaaaa. Lu dateng kaya boker doang Jayyyyy. Dateng terus ngilaaang wussshhh!”

“Ya gue pergi karena lo gasuka gue ada di sana kan?”

Hening sebentar, sepertinya Arka berhenti melakukan apapun yang dia lakukan sebelumnya.

“Kata siapaaaa? Kan yang milih elu gua?”

Entah sejak kapan Jaya menahan napas, karena saat dingin kembali penuhi paru, ia hampir tersedak udara. Di seberang juga sama heningnya.

Jejak memori soal argumentasi tempo hari muncul kembali, namun ketimbang emosi, Jaya justru teringatkan selintas janji. Entah kenapa, ia akhirnya hembuskan napas.

“Yaudah, tunggu. Gue jemput.”

**

“Gue skip,”

Tiga manusia yang duduk di sofa ruang tengah mendongak kaget, menatap sosok Jaya yang sudah berputar-putar. Ambil jaket, ambil kunci mobil, ambil ini-itu.

“Laaaaahhhh?” Satya yang pertama protes. “Nape broo?”

“Arka minta dijemput, kobam anaknya.”

Tiga pemuda itu saling lempar pandang, tak sempat beri penghakiman karena Jaya sudah melesat keluar tanpa menunggu persetujuan.

Lah?

**

--

--