biya
5 min readJul 11, 2023

Ferdi duduk dengan tegap di meja makan milik keluarga ganim, matanya sesekali melirik kanan kiri mencuri pandangan pada rumah megah ini. Tidak pernah menyangka kalau ganim ternyata lahir dari keluarga berkecukupan.

Meja makan panjang dengan motif marmer pada mejanya juga dibalut dengan balutan cat berwarna keemasan, di atasnya ada lampu gantung besar yang mengeluarkan cahaya redup. Ya, ini agak sedikit berbanding terbalik dengan kediamannya di bandung yang minimalis, kediaman ganim jauh lebih megah.

Di meja makan sudah tersaji banyak sekali makanan, ada olahan ikan, ayam, daging, sayur, serta banyak buah-buahan. Ferdi jadi semakin gugup sekarang, berbanding terbalik dengan ganim yang terlihat anteng di sampingnya sambil memainkan ponsel.

Orangtua ganim belum hadir, katanya masih di kamar bersiap-siap. Ferdi jelas tidak masalah, bahkan jika harus menunggu sampai besok pun ia tidak keberatan.

"Sebentar ya fer, mama masih di atas. Tapi papa gak ada, maaf ya. Papa ada jadwal OP dadakan."
Ferdi mengangguk lagi-lagi tidak masalah akan hal itu.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, seoarang wanita cantik dengan dress putih tulang selutut berjalan menghampiri ganim dan ferdi. Cantik sekali, rambutnya berwarna kecokelatan dijepit dengan rapih, kulit putih walaupun sedikit berkeriput, tubuhnya kurus dan tinggi mungkin orang yang tidak tahu profesi akan menganggap orang ini sebagai model.

Ferdi jelas tidak heran mengapa ganim lahir dengan wajah sempurna jika melihat wanita yang kini mulai memposisikan diri duduk di kursi meja makan.

"How's life nak? gimana study kamu?" Ucap wanita itu pada anak semata wayangnya.

"So far okay, beberapa minggu lalu ujian blok ya lumayan lah."

Wanita cantik itu hanya mengangguk, mulai menyendok nasi ke piring lalu menyerahkan piring itu kepada anak semata wayangnya.

Ferdi hanya diam, tidak ingin lancang dalam bersikap.

"Mam, kenalin ini pacar aku, ferdi namanya."

Mama ganim menatap ferdi, tersenyum sedikit.

"Hai, nak. Kenal anak tante darimana?"

Ferdi tersenyum, "Halo tante, kenalin saya ferdi. Kenal ganim dari kos karena kebetulan kita satu kos."

"Oh ya? satu jurusan juga?"

Ferdi menggelenkan kepala, "Enggak tante, beda."

"Oh gitu, jurusan apa nak? kedokteran hewan? keperawatan?"

"Kebetulan saya jurusan hukum, Tante."

Ruang makan kediaman ganim bagai disambar petir tepat setelah ferdi mengucap kalimat itu dari mulutnya, sendok serta garpu yang ada di genggaman tangan mama ganim jatuh sehingga menghasilkan suara dentingan yang bunyi nya cukup membuat ruang makan ramai.

"Hukum?"

Ferdi dengan percaya diri mengangguk, "Iya, tante."
Mama ganim melirik ganim dengan tatapan tajam, memberi isyarat pada anaknya atas apa yang terjadi sekarang.

"Orangtua kamu kerja apa nak?"

"Ayah kerja di pemerintahan, Tan. Kalau bunda notaris."

"Kamu orang batak?"

"Bukan tante, sunda, asli bandung."

Mama ganim memijat pelipisnya, terlihat sedikit frustrasi menghadapi situasi sekarang.

Di bawah meja, kaki ferdi menyenggol kaki ganim. Meminta pertolongan atas apa yang terjadi sekarang.

Tapi ganim hanya mengisyaratkan untuk tetap diam.
Kini mama ganim menegapkan posisi duduknya, bibirnya tersenyum tapi Ferdi tau itu bukanlah senyum yang membawa kebaikan.

"Tante kira kamu anak kedokteran lho atau minimal dari rumpun kesehatan juga ya, mengingat tante dan om juga dokter, kakek neneknya ganim juga dokter, paman bibi nya dokter, keluarga besar kita pendidikannya dokter semua, bahkan sepupunya ganim yang seumuran dia pun sekarang sedang pendidikan dokter di amerika, dengan latar belakang keluarga ganim, tentu tante sebagai ibunya sangat berharap dapat calon menantu yang dokter juga."

"Mam.."

"Kamu pasti tau ya, sekolah kedokteran itu sulit, butuh biaya banyak, tante mau ganim berhasil jadi dokter, tante juga mau pasangannya ganim itu dokter agar setara. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga pun kayaknya keluarga kami berbeda ya, tante harap kamu mengerti ya. Maaf siapa namanya tadi?"

"Ferdi, Tante."

"Iya, Nak ferdi, tante harap kamu mengerti ya."

"Ma, apa sih, ferdi anak hukum lho, pendidikan nya juga bagus!"

"Mama enggak ada bilang jurusan hukum jelek, Ganim. Mama cuma bilang mau yang setara. Kalian itu latar belakangnya beda, obrolannya akan beda, kegiatannya pasti bertolak belakang. Bukan lebih mudah kalau kamu cari yang anak kedokteran juga? akan lebih mudah juga untuk nak Ferdi kalau sama yang satu jurusan."

"Ma, cuma masalah kayak gitu doang ma, selama ini aku sama ferdi juga nyambung kok ngobrol nya."

"Iya tante, ferdi ngerti maksud Tante."

Mama ganim tersenyum, "Kalian sekarang masih satu kampus, nanti kalau sudah lulus lingkup kehidupan nya akan berbeda, akan jauh lebih sulit untuk adaptasi. Akan jauh lebih mudah kalau kalian cari yang setara, nak ferdi cari yang jurusan hukum juga atau jurusan apapun yang bisa mengimbangi dan ganim cari yang jurusan kedokteran. Sebelum hubungan kalian semakin jauh, nanti akan lebih sulit pisahnya."

"Ma.."

"Iya tante, ferdi ngerti."

Mama ganim tersenyum, "Sudah malam, kalian pulang saja. Tante mohon untuk dipertimbangkan ya, Nak. Sebelum hubungan kalian semakin jauh, sebelum semakin sulit berpisahnya."

Ferdi mengangguk, bibirnya mengukir senyum tipis berbanding terbalik dengan hatinya yang kini remuk seperti diremas dengan kuat.

"Iya tante, makasih untuk makan malamnya. Ini tadi di jalan saya mampir beli kue, semoga Tante suka ya."

"Dibawa pulang saja kue nya, tante tidak makan manis. Diabetes."

"Ma, seenggaknya terima dong kue nya ferdi."

"Bawa saja, di sini pun tidak ada yang makan."

Ferdi mengangguk, "Iya tan, gapapa saya bawa lagi aja. Makasih tan, selamat malam."

Ferdi tersenyum ramah sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kediaman ganim, satu tangannya menenteng paper bag toko kue ternama yang tadi ia sempatkan beli namun dengan pahit ditolak oleh mama ganim.
Ini penolakan paling menyakitkan yang ia terima, tapi juga menjadi penolakan paling beralasan. Ferdi membuang napas berat, setidaknya mama ganim masih berbicara dengan nada bicara normal, jadi kata-katanya tidak terlalu menyakitkan untuk ferdi.
Di belakangnya ganim mengekori ferdi, membukakan pintu mobil agar ferdi bisa segera masuk.

Keduanya diam saat di dalam mobil, ferdi sibuk menetralkan perasaannya yang sakit, sedang ganim sibuk mengecek keadaan ferdi, apakah kekasihnya baik-baik saja atau terluka.

"Maafin mama ya fer, aku gak nyangka mama ngeluarin kata-kata kayak gitu ke kamu. Gak masuk akal juga sumpah, aku beneran gak nyangka mama ngomong gitu."

Ferdi mengangguk, "Gapapa, reasonable. Aku kalo punya anak juga gak mau kalo anak aku dipacarin sama orang sembarangan."

"Tapi kamu gak sembarangan fer, keluarga kamu terpandang! kamu berkecukupan, pendidikan kamu bagus, gak ada yang kurang dari kamu."

"Gapapa, mungkin bagi mama kamu, aku masih kurang buat bisa bareng sama kamu. Aku gapapa nim, namanya hubungan pasti ada aja kok. Kita kuat-kuatin aja, semoga mama kamu juga pelan-pelan bisa terima aku."

"Aku ngerasa bersalah banget sayang ke kamu, gak adil banget. Aku gampang banget diterima keluarga kamu, berharap keluarga aku juga bisa terima kamu, tapi sikap mama hari ini beneran bikin aku sedih banget sayang."

"Nim, udah gapapa. Jangan kayak gitu ke orangtua sendiri, aku ngerti kok maksud mama gimana, makanya tanpa banyak protes tadi aku langsung jawab iya. Karena aku merasa apa yang mama bilang tuh bener. Buat sekarang kita fokus aja saling kuatin, sambil aku usaha bikin mama luluh. Kamu nya jangan banyak tingkah, jangan banyak bikin aku sedih, aku bisa kok pasti bikin mama luluh."

“Makasih fer buat hari ini, makasih udah berani, makasih udah bersikap baik, makasih karena gak nyerah.”