Aiden is sorry

TAKA
4 min readAug 22, 2023

Aiden yang kini sedang kebingungan harus berbuat apa hanya diam saja. Ia sama sekali tidak tahu jika Xabian benar-benar sudah tidak ada di dunia. Aiden merasa marah pada dirinya sendiri bagaimana bisa ia berkata jahat seperti itu kepada sahabatnya sendiri, Xabiru. Padahal ia tahu bagaimana bingungnya Xabiru selama 2 tahun ini setelah kehilangan Xabian.

Pesan-pesan yang ia kirim kepada Xabiru tak kunjung juga dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Sepertinya Xabiru marah pada laki-laki itu karena perkataan jahatnya di grup kemarin.

“Aiden tolol kenapa lo bisa sejahat itu sama temen sendiri.” hujat Aiden pada dirinya sendiri.

“Ya Tuhan Bian maafin gua, gua jahat banget sama lo. Jari gua udah nyumpahin lo yang nggak-nggak, maafin gua Yan.” Aiden merasa frustasi, ia mulai menangis. Ia kembali teringat momen kebersamaan mereka ber-6.

Aiden bangkit dari tempat duduknya, ia bergegas keluar mencari sosok Xabiru, ia takut Xabiru melakukan tindakan yang nekat. Anak itu butuh didampingi, perasaannya pasti sangat hancur saat ini.

Aiden mencari keberadaan Xabiru dengan mengendarai motornya dengan kecepatan standar, ia mendatangi tempat-tempat yang sering didatangi Xabiru. Sudah 2 jam Aiden berkeliling tetapi tidak menemukan anak itu juga.

Aiden berhenti untuk beristirahat sejenak, langit sudah mulai gelap, sebentar lagi malam akan menyelimuti bumi.

Tiba-tiba Aiden teringat suatu tempat yang sangat memorial bagi Xabian. Xabian pernah bilang pada pria itu bahwa tempat itu adalah sejarah istimewa bagi si kembar. Aiden langsung menancapkan gas menuju ke lokasi, sebelum malam menyelimuti bumi.

Pria kecil itu tiba di tempat. Ya, ini adalah sekolah si kembar sewaktu Sekolah Dasar.

Sepi dan sunyi, tidak ada manusia sama sekali di sekolah itu. Aiden turun dari motornya, lalu berjalan masuk ke dalam sekolah yang gerbangnya tidak terkunci sama sekali. Aiden berjalan lurus menuju lapangan, dan benar saja terlihat punggung Xabiru dari arah kejauhan. Aiden akhirnya bisa bernafas lega, setidaknya Xabiru tidak melakukan hal yang dipikiran oleh pria itu.

Xabiru sedang duduk di tengah lapangan dengan posisi tangan memeluk lutut dan kepala yang ditenggelamkan di atas lutut. Baju yang dikenakan Xabiru sangat basah, sepatu yang digunakannya juga sangat kotor, sepertinya Xabiru berjalan kaki sampai kesini. Dilihatnya kotak berukuran sedang ada di sebelah Xabiru.

Baru saja Aiden ingin menyentuh kotak itu, suara Xabiru mengejutkan dirinya.

“Gue gak minta jemput, kenapa lo kesini?”

“Pengen kesini aja, emang gak boleh?” Aiden mengambil posisi yang sama dengan Xabiru, ia tak peduli dengan celananya yang kotor terkena becekan.

Diam, Xabiru tidak berbicara lagi. Pria itu juga tidak kunjung mengangkat kepalanya.

“Lo gak capek duduk kayak gitu? gua aja capek liatnya.”

Masih diam, Aiden benar-benar bingung harus berbuat apa. Ia sama sekali tak ahli dalam menghibur seseorang.

“Ru, maafin semua perkataan gua kemarin. Gua gak tau kalo kata-kata gua kemarin malah jadi kenyataan gini. Lo boleh pukul gua sekarang, mau habisin gua disini juga gapapa. Luapin semua kemarahan lo ke gua.”

Aiden kaget saat tangan Xabiru hampir mencekik lehernya, dilihatnya wajah Xabiru sembab. Pasti ia banyak menangis pikir Aiden.

“Apa dengan begini bisa bikin Bian gue balik?”

Aiden terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Xabiru menarik kembali tangannya dari leher pria kecil itu dan kembali ke posisi seperti tadi tetapi tidak menenggelamkan kepalanya ke atas lutut lagi.

“Ai, gue beneran sendirian ya sekarang? Bian bener-bener udah gak ada ya?”

Aiden benar-benar diam tak berkutik, ia membiarkan Xabiru mengeluarkan semua isi hatinya supaya perasaan Xabiru tak sedih berlarut-larut.

“Papa, mama, Bian mereka bertiga udah kumpul di atas sana tanpa gue. Harusnya gue ikut juga, kenapa gue malah ditinggal sendirian di sini?”

“Lo tau Ai kenapa gue berlari kesini? ini tuh tempat bersejarah gue sama Bian, Sekolah ini jadi saksi gimana kehidupan gue sama Bian sewaktu kecil. Bian yang selalu tersenyum, Bian yang terlihat kuat, Bian yang selalu bahagia, gue bisa melihat sisi kebahagiaan Bian di sekolah ini. Bian yang terlihat bahagia itu adalah semuanya palsu, Bian menyembunyikan kesakitannya sendiri. Dia bahkan gak pernah ngeluh atau nangis di depan gue.”

“Bian itu pinter tetapi ia tidak punya teman, Bian itu baik tetapi kebaikannya gak pernah dihargai sama bokap nyokap. Bokap nyokap gak pernah ngebanggain Bian di depan teman-temannya. Bian selalu ngalah sama gue, kalo dia mau sesuatu dia harus menabung sendiri tanpa minta ke orang tua gue.”

“Ai, Bian udah ngerasain sakit sejak kecil, gue pikir Bian selama ini baik-baik aja ternyata tidak. Bian pintar menyembunyikan perasaannya.”

“Sampe Bian meninggal, dia belum pernah ngerasain apa itu bahagia yang sesungguhnya, Aiden.”

Tangis Aiden pecah saat mendengar semua curahan Xabiru, benar apa yang dibilang Xabiru, Xabian sangat pintar menyembunyikan perasaannya. Sampai kematiannya pun Xabian tidak ingin melihat orang terdekatnya menangis, selembut itu hati seorang Xabian.

Perubahan Xabiru pun karena Xabian menghilang dari kehidupannya. Sejak Xabian pergi, Xabiru menjadi lebih banyak diam daripada sebelumnya. Sejujurnya Aiden merindukan sosok Xabiru yang paling oke itu, tetapi ia juga bangga karena Xabiru berubah menjadi lebih baik. Tetapi sayang, perubahan itu tidak sempat Xabian lihat.

“Ai, Bian udah sembuh kan? dia gak akan sakit lagi kan?” tanya Xabiru pada Aiden.

Aiden menarik tubuh Xabiru ke dalam pelukannya, ia tepuk punggung yang bergetar itu dengan pelan.

“Iya, Bian udah sembuh. Lo tau kenapa Tuhan mengambil Bian secepat ini? Tuhan gak mau anak sebaik Bian merasakan sakit di dunia ini lebih panjang lagi, Tuhan menarik Bian ke sisi-Nya agar Bian bisa merasakan bahagia di surga sana. Orang sebaik Bian pantas mendapatkan kebahagiaan yang abadi.”

“Sekarang lo hanya perlu belajar apa itu arti mengikhlaskan.”

--

--

TAKA

DAY6's amateur author AU | twitter : @hiraethaka