New Person, Old Feelings
“Uncle! Uncle! Uncle help me, please! go upstairs! aku dikepung musuh!”
“Wait for me, you better jump off the window and go to the basecamp. Nanti Uncle nyusul.”
“Roger! jangan mati ya, tanggung banget soalnya.”
Henry tak lagi asing dengan bising ciptaan Leon yang tengah asik bermain game dengan Jadden — sang dokter bedah, sekaligus tetangga di sebelah rumahnya. Sedikit banyaknya, 5 tahun kehidupan Henry sebagai orangtua tunggal di Indonesia menjadi lebih ringan berkat campur tangan Jadden. He is a bright, warm-hearted young man who treats people with respect. Diantara banyaknya anggapan miring yang Henry terima dari orang-orang karena memiliki anak tanpa status pernikahan, Jadden hadir sebagai pengecualian. “Kamu itu berharga, kamu itu hebat. Apapun kisah yang kamu simpan, aku gak akan bertanya. You deserve to move on, living a wonderful life with Leon, and fall in love once again when you’re ready,” he said.
Sedikit kejam, memang. Henry tahu dengan jelas perasaan apa yang Jadden miliki untuknya. Kebaikan yang pria itu berikan selama ini memanglah tulus, he’s sure about that. But yeah, eyes never lie. Untuk semua candaan bermakna rayuan yang diucapkannya, untuk setiap kontak fisik yang tanpa sadar dilakukannya, pun untuk setiap tahun yang ia habiskan selama penantiannya, Jadden berjuang dengan kesabaran. Kendati demikian, Henry enggan memberi balasan.
Loyalty,
Sincerity.
Hanya karena Jadden unggul dalam 2 hal tersebut, bukan berarti Alex tak pernah memilikinya. Lord have mercy on Henry, he’s already tired of loving and crumbling at the same time. Selama apapun Jadden berdiri di depan pintu dan menunggu dengan pengharapan abadi, tak akan pernah ia diizinkan masuk. Henry mati rasa, euphoria dari sebuah hubungan tak lagi bersarang dalam sukmanya. Cacat kepingan hati layaknya bekas torehan luka, keras pendirian terbiasa menelan duka. You want a friendship? fine, but don’t you dare crossing the line. Henry adalah pria yang belum selesai dengan masa lalunya.
“So, who’s ready for dessert?” Henry terkekeh, merasa gemas saat Leon dan Jadden menoleh nyaris bersamaan. “Tapi ya, kalau masih betah main sih gak masalah. I don’t mind eating alone, chocolate muffins hari ini kebetulan lagi enak banget rasanya.”
Mendengar ucapan Henry, Leon dan Jadden kompak melempar gamepad sebelum berlari ke arahnya. “Ishhh, Uncle awas! aku mau yang paling banyak topping choco chips-nya!” Yang lebih muda merenggut, berjuang lepaskan diri saat yang lebih tua menghalangi pergerakannya.
“Back off, Kid. Uncle udah pesen duluan sama Papa kamu supaya dibikinin muffin yang spesial!”
Henry berdehem, memberi isyarat lewat tatapan mata bahwa Leon dan Jadden harus menunggu dengan kepatuhan. “Just so you know, kalian gak akan dapet satupun muffin kalau masih berisik kayak anak ayam.”
Menurut, kedua adam pun lantas duduk berdampingan di atas sofa ruang bersantai. Diam-diam mereka saling menyenggol siku untuk menuduh siapa yang bertanggung jawab atas teguran Henry.
“Gara-gara Uncle.”
“Kok Uncle? kamu yang pecicilan.”
“Uncle harusnya ngalah, aku masih kecil.”
“Itu ngaku, biasanya gak mau disebut kecil.”
Meski berbisik, kata demi kata yang diujarkan keduanya terdengar jelas oleh Henry. “Jad, udah. Jail banget deh lo sama Leon. Entar dia nangis, lo juga yang panik sendiri.” Menoleh ke arah sang buah hati yang tengah mengejek Jadden, Henry lipat kedua tangan di depan dada. “Kamu juga, Leon. Jangan karena udah akrab, kamu jadi gak sopan ke Uncle Jadden. He’s older than you.”
“Hen, gak apa — ”
“No, he was right.” Leon menyela, tersenyum saat memeluk Jadden tanpa keraguan. “Sorry, Uncle. I didn’t mean to, harusnya aku gak usah nyolot kayak tadi.”
“Oh, you’re so sweet, Buddy. Uncle juga minta maaf udah nyebelin. Kita sekarang impas, ok?” ujarnya yang memperoleh anggukan kepala sebagai jawaban.
Malam itu, Henry dan Leon bercanda gurau dengan Jadden hingga nyaris melupakan waktu. Malam itu pula, posisi Alex lagi-lagi tergeser oleh seorang pesaing di medan pertempuran.
©️biyyurazkput