Goodbye, for now.

bluueggss
11 min readApr 15, 2024

--

Iris Anggia Sungkono

Iris mendengus kesal saat melihat tumpukan paket dan beberapa amplop kertas yang tergeletak begitu saja di depan pintu rumahnya itu. Di era serba digital ini siapa lagi yang masih mengirimkan peringatan tagihan lewat amplop. Sungguh sebuah pemborosan untuk kertas dan sekaligus pencemaran lingkungan akibat pohon yang terus menerus harus menjadi korban kebutuhan tamak manusia.

“Udah kak, jangan mulai!” Seorang yang sedari tadi mengekor dibelakangnya berucap, sebuah senyuman Iris lemparkan. Wanita yang beberapa menit lalu berucap itu membalas senyuman Iris, tidak kalah manisnya.

“Ya tapi apa gunanya kalau ada email dan segala medsos kalo masih harus dikasih surat cinta kaya begini!” Celoteh Iris, Misha hanya tersenyum. Mereka berdua akhirnya bisa masuk kedalam rumah sederhana itu, setelah bersusah payah membawa masuk segala barang yang ada di garasi mobil. Iris meletakkan semua barang itu di atas meja, langkahnya selanjutnya adalah membuka jaket crop top hitam yang masih nampak gagah di badannya. Dia menghela nafas, mengeluarkan segala kelegaaan akibat kesibukan pekerjaanya hari ini. Pertemuan dengan klien untuk membahas proyek terbaru serta mengunjungi beberapa proyek yang sedang berjalan terlampau menguras energinya. Sehabis mengambil sebotol air mineral dingin, dia mendudukan pantatnya yang serasa sudah datar itu di kursi yang ada di sekeliling meja makan. Sambil sesekali memeriksa ‘surat cinta’ yang ia dapat. Kebanyakan adalah tagihan pembayaran dan beberapa pamflet promo.

“Itu ga dilihat?” Ucap Misha dengan bertopang dagu di hadapan Iris, Iris melihat ke arah mata Misha tertuju. Dia mengendikkan bahu,

“Yang mana, sayang?” Tanyanya dengan suara ekstra lembut, dia sudah kehabisan energi. Misha menunjukkan sebuah amplop berwarna biru navy dengan aksen emas yang terlihat menarik. Ada stamp lilin dengan inisal A.R disana, menyegel pembuka amplop.

“Undangan?” Kini rasa penasaran Iris tergelitik, dia segera meraih undangan yang entah bagaimana bisa terlempar ke sisi ujung meja. Perlahan dia membukanya. Dan seperti dugaanya itu adalah sebuah undangan pernikahan. Dari Arsya. Mantan kekasihnya. Usai membaca keseluruhan isi undangan itu dia hanya bisa terdiam, dan sesekali mengeluarkan erangan lelah. Tangannya memegang pelipis yang berdenyut itu,

“Arsya?” Tanya Misha, Iris mengangguk, Misha menurunkan tangannya yang sedari tadi menjadi penopang dagunya. Dia lalu menyilangkan tangan pucat itu didepan dadanya,

“Mereka awet ya? Aku nggak nyangka mereka bakal ditahap sekarang. Just like us, dulu mereka sering bertengkar perkara hal sepele. Time flies so fast..” ada rasa nelangsa disetiap kata yang Misha lontarkan.

“We still look better than them..” balas Iris, “But i can’t come to their wedding..”

“Udah 5 tahun kak, is it still so hard to see Arsya with Raga?” Iris terdiam, “Udah jadi rahasia umum kalo Arsya yang udah habis-habisan rampok rasa kamu, sedikitpun gak ada yang tersisa. Even for me..

Lagi-lagi kekurangannya dalam melepas satu nama itu selalu saja Misha bahas, dia jengah dengan pembahasan itu yang selalu terulang seperti CD yang rusak. Rasanya masih ada, masih banyak. Iris berdiri dari duduknya, wajahnya menengang menahan amarah,

“Kamu selalu sok tau Misha, ini yang aku gak suka. I’m here with you, dan kamu selalu meragukan itu..” usai mengatakan itu, Iris berjalan ke atas. Dia ingin mengakhiri pembicaraan soal rasa itu dan memilih untuk menyegarkan badannya. Debu proyek membuat tubuhnya lengket akibat debu halus bercampur dengan keringat.

Mandi air hangat selalu menjadi caranya untuk melepas pemat serta beban pikiran di hari-hari berat. Tentu saja hari ini adalah salah satunya. Percakapan di bawah tadi membuat kepalany berputar dengan cepat, tapi setidaknya mandi air hangat barusan meredakannya. Dia melihat Misha, duduk di sebelah tempat tidur. Memakai dress hijau selutut, kakinya ia silangkanh, matanya sibuk lekat-lekat memandanginya.

“Apa?” Tanya Iris dingin, tanpa membalas tatapan Misha, dia berjalan ke arah lemari pakaian berwarna coklat tua yang berada di sudut kamar. “Vertigo kakak kambuh ya?” Tanya Misha, dia tahu segalanya tentangnya. Tak ada jawaban,

“Makanya kalo minum kopi dikontrol! Itu tadi pasti stress kerjaan juga kan?! Aduh, obatnya dimana?” “PFTT HAHAHAHAH!” Mendengar omelan yang tidak ada putusnya membuat Iris tertawa terbahak-bahak. Sungguh ia tidak bisa marah berlama-lama dengan Misha, dia terlalu menggemaskan. Belum sempat Misha beranjak untuk keluar kamar, Iris menarik tangan wanita yang lebih muda darinya 2 tahun itu. Tentu tenaganya yang lebih kuat, mampu menarik Misha kedalam pelukannya. Mereka bertahan di posisi itu. Berpelukan dengan sedikit menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan mengikuti irama musik di dalam kepala Iris yang secara otomatis terputar sebuah judul lagu yang menjadi favorit mereka. Were their favorite.

Iris mendekatkan kepalanya ke arah telinga Misha, membisikkan sesuatu.

“I love you..”

Senyap. Tidak ada balasan. Sekali lagi, dia seperti berbicara kepada udara kosong.

Mobil hitam itu melaju membelah ramainya lalu lintas di Jumat sore menuju kota Bandung, dimana acara pernikahan Arsya dan Raga akan dilangsungkan. Misi Misha untuk membujuk Iris akhirnya berhasil. Mengajak ke acara itu untuk akhirnya menyatakan bahawa Iris selesai dengan Arsya, Goodbye for real.

Hujan yang lebat dari siang membuat lalu lintasnya tidak lebih baik. Alunan lagu dari music player bergema memenuhi seisi ruangan di dalam mobil. Iris dengan tenang dan santai menginjak pedal gas, mengikuti tuntunan maps.

Serah serahkan apa

Masih terjalin suaramu terdengar

Masilahnya rindang bergema

Di ruang-ruang hatimu

“Kamu akhir-akhir ini suka dengerin ini ya? Kayanya dari kemarin dengerin ini waktu berangkat kerja..” Misha memulai pembicaraan, tetapi matanya masih setia menatap langit senja yang perlahan warna cerahnya mengabur menjadi warna gelap. Menanti detik-detik. sandikala.

“Aku dengerin random dari playlist kamu, tapi ternyata nyaman waktu masuk telinga, aku juga suka liriknya.. menuntun buat belajar ikhlas..” pedal rem ia injak ketika lampu lalu lintas di perempatan jalan itu berubah merah. Iris menyamankan duduknya lalu menatap Misha yang masih saja lekat-lekat melihat ke arah luar jendela.

That’s why, aku buat playlist itu buat kakak. Kak Iris terlalu sering nyalahin diri sendiri atas selesainya hubungan kamu sama Arsya waktu itu!”

Misha menggeser duduknya, menghadap Iris, kini mereka saling beradu pandang.

“HIJAU!” seru Misha, ketika suara klakson mobil riuh terdengar. Iris kembali fokus pada mobilnya, bisa ditebak mobilnya hanya bisa berpindah tak lebih dari 150 meter akibat macet. Kini mereka terjebak.

Tenangkan hati

Semua ini bukan salahmu

Jangan berhenti

Yang kau takutkan takkan terjadi

“Coba aku tanya, kenapa kamu begitu terobsesi banget sama hubungan aku dan Arsya? Kayanya ga absen kamu bahas masa lalu itu, Sayang…”

“Bukannya obsesi kak, aku harus bisa bantu kamu selesai sama Arsya, sebelum akhirnya kamu ijinin aku masuk..” Misha tersenyum, kini senyumnya lembut, setara satu garis lengkung.

“Kamu udah masuk, Misha…”

“Belum sepenuhnya..”

Arsya Dairama

The day has come. Hubungan yang telah mereka jalin selama 5 tahun dengan beragam pasang surut emosi dan kegoyahan cinta akhirnya telah menemui titik pelabuhan.

Arsya, duduk dengan tenang di ruangan tunggu untuk pengantin selagi menunggu beberapa teman yang memiliki akses khusus untuk menemuinya sebelum pernikahannya dimulai. Jantungnya berdegup begitu kencang, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada hari ini.

Apakah semuanya akan berjalan lancar?

Bagaimana dengan makanan para tamu?

Apakah souvenir untuk tamu undangan akan mencukupi?

Bagaimana jika dia yang akhirnya menyabotase acaranya sendiri?

Dan ada satu lagi pertanyaan yang selalu berkecamuk sejak 3 hari yang lalu.

Apakah Iris akan datang?

Sebelum segala pikiran buruk makin berkecamuk, sebuah ketukan membuyarkan lamunannya. Dari balik pintu berwarna putih itu, Iris, datang dengan setelan formal. Jas berwarna hitam berpadu cantik dengan dalaman turtle neck dan celana jeans. Ciri khas gaya Iris yang formal namun casual. Arsya selalu suka dengan selera mode Iris.

Arsya berjingat dari duduknya, terlampau senang, akhirnya setelah sekian lama tidak bertemu dengan wanita itu. Hari ini mereka bertemu kembali. Di hari spesialnya. Dengan berlari kecil, Iris menghampiri Arsya yang terlihat begitu luar biasa menawan dan cantik. Gaun satin berwarna putih itu sempurna memeluk selira indah Arsya.

“You come!” Ucap Arsya senang sembari memeluk Iris, pelukan mereka itu terlepas ketika Iris menarik diri. Ada rasa canggung saat reuni antar mantan kekasih itu terjadi. Tentu saja. Banyak cerita dari masa lalu yang membuat masa kini menjadi canggung.

“I do. We promised we’d come if one of us got married. Eventhough it’s not me you’re marrying..”

Arsya hanya tersenyum. Janji anak kencur itu masih terekam jelas diingatan keduanya.

Raga look stunning with that satin suit! Cocok buat dia! Kamu pasti desain sendiri kan? Wahai ibu desainer Arsya Dai?”

Keduanya duduk berdampingan di sofa yang ada di ruangan itu. Saling bercanda, mencoba menghilangkan gap dan kecanggungan hasil putusnya hubungan romansa 5 tahun yang lalu. Dan tak butuh lama untuk mereka berdua akrab kembali.

“Kamu dateng sendiri, Ris?” Pertanyaan yang sedari tadi ragu untuk Arsya tanyakan akhirnya meluncur dari bibirnya setelah diam menyelimuti keduanya,

“Nggak, berdua” jawab Iris pelan,

“Siapa? Misha?”

Iris tersenyum, namun senyuman itu menyayat hati Arsya menjadi kepingan kecil. Bukannya membalas dengan senyuman, malah air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Iris kebingungan. Ah mungkin ini air mata kebahagiaan, pikirnya.

“Misha nunggu diluar, takut ganggu our sorrowful reunion kata dia, HAHAHAHA!” Sakit. Mendengar tawa itu Arsya sakit.

Tidak pernah terbanyangkan jika Iris menjadi seperti ini. Dia terlihat baik-baik saja, dan nyatanya dia baik-baik saja. Hanya pelukan yang saat ini Arsya bisa berikan, dia tidak ingin melihat Iris yang tidak baik-baik saja hari ini.

“Kamu kemana aja sih?! Aku nyariin dari awal acara tadi!” Marah Iris pada Misha yang entah menghilang kemana sejak awal proses upacara pernikahan hingga sekarang di pertengahan acara. Misha selalu pucat. Tapi kali ini ia berbeda.

“Kamu sakit?” Tanya Iris penuh kekhawatiran, Misha menggeleng sambil tersenyum,

“Kalo tadi 10 menit yang lalu iya, sekarang nggak. Aku istirahat di kamar kakak!”

Perlahan Iris menuntun Misha ke tempat duduk terdekat, dengan segala rasa pedulinya, dia mengambil beberapa kudapan serta minuman untuk Misha.

“They look so gorgeous!” Seru Misha ketika melihat Arsya serta Raga berdiri di tengah kerumunan garden party malam itu untuk melakukan tarian pasangan.

“I know right! Tadi Arsya nyari kamu, kamu udah ketemu dia? Rasanya juga udah lama ya kalian gak ketemu!”

Misha mengangguk menyetujui perkataan Iris.

Mungkin sudah 2 tahun ini keduanya tidak bertemu. Walau seperti rival dalam kompetisi mendapatkan hati Iris, Arsya dan Misha adalah teman dekat dari semasa SMA. Pertemanan mereka tidak pernah retak dengan alasan Iris, tapi memang mereka sempat berpisah karena berbeda pilihan dalam mengambil pendidikan selanjutnya. Misha dengan sastra. Dan Arsya dengan desainer mode.

Jujur dia juga merindukan Arsya, sangat merindukan. Tapi apa bisa dikata, jalan mereka saat ini berbeda. Haruskan Misha menemui Arsya malam ini. Bagaimana jika Arsya tidak ingin menemuinya. Ketika masih tenggelam dengan pikirannya, Iris mengecup pipinya. Lalu tersenyum.

“And the sunset is beautiful isn’t?” Semacam mengerti maksud Iris, Misha mengambil tangan Iris yang sedari tadi bertenggar di pangkuannya lalu menciumnya dengan halus.

“Is it over now?” Tanya Misha, Iris mengangguk, senyumnya lebar dan penuh kebahagiaan. Penantian Misha akhirnya berakhir. Namun…

IRIS IS LATE.

Arlena Misha Ongkowijaya

Iris terlambat. Akan selalu terlambat. Untuk seumur hidupnya Iris akan menanggung rasa sakit dari sebuah malapetaka.

Misha hanya bisa melihat Iris yang menangis dengan tersedu-sedu malam itu. Usai pesta pernikahan Arsya, keduanya kembali ke kamar hotel di tempat yang sama.

“You are late..” ucap Misha di tengah pesta itu. Wajah Misha yang terlihat ceria sebelumnya berubah menjadi penuh kesedihan, air mata deras mengalir ke pipi yang tadi dicium Iris.

Iris menatap Misha dengan bingung, kenapa dia terlambat. Bukankah Misha juga mencintai Iris, dan kenapa saat sekarang dia sudah bisa melepaskan Arsya jadi Iris yang terlambat. Tangan Misha terangkat, mencoba menyentuh wajah malang dan kebingungan Iris. Namun nihil, tangannya tembus pandang. Dia tidak bisa menyentuh wanitanya itu.

“Sha?” Kini Iris yang ketakutan.

“You need to let go of me too, Kak! I’m not real..”

Usai mengatakan itu sosok Misha perlahan mulai mengabur, seperti sebuah kabut yang hilang tersapu angin di pagi hari.

Ucapan itu terngiang. Tak henti-hentinya malam itu Iris meracau dan meraung, menangisi keterlambatannya. Kekasihnya, Misha, tak bersamanya lagi.

Misha yang selama ini bersamanya, hanya sebuah khayalan, hanya sebuah taktik untuk mensiasati trauma kehilangannya.

2 tahun yang lalu.

Sambil terduduk lemas dan menangis, Iris, 25 tahun, menyaksikan mobil yang 5 menit yang lalu ia kendarai terbalik di tepi jalan tol arah Jakarta. Tersadar, dia berlari untuk mendekati mobil yang dalam hitungan detik dilalap si jago merah.

“MISHA! MISHA!” Teriaknya sekuat tenaga, dia tidak merasakan apapun, tapi giginya kuat menggigit dalam mulutnya hingga berdarah. Larinya cepat namun tidak seimbang, membuatnya beberapa kali terjatuh.

Sebelum makin jauh berlari kedalam lahapan api, seorang petugas polisi akhirnya berhasil memeganginya dan menariknya menjauh dari tempat kejadian perkara malam itu.

30 menit yang lalu. Didalam mobil itu, Misha dan Iris bergengkar hebat. Lagi-lagi perihal hubungan keduanya yang entah bagaimana kelanjutannya.

“Sampai kapan kamu kaya gitu kak?” Ucap Misha kesal. Misha bukan tipe orang yang akan gampang terbawa emosi jika bukan karena ada pemantiknya. Malam itu keduanya sehabis dari Bandung, lebih tepatnya dari reuni SMA, mereka bukan seangkatan, hanya satu alumni sekolah. Disana Misha terbakar api cemburu akibat kedekatan Iris dengan mantan kekasihnya, Arsya. Sungguh dia tidak akan sembarangan cemburu jika Iris tidak melewati batas.

“APA SIH SHA! Aku gak lakuin hal lebih!” Bentak Iris, dia sudah kelelahan. Dan sekarang, saat sedang ingin berkendara dengan tenang malah emosinya disulut oleh Misha.

Keduanya sepasang kekasih yang baru memadu kasih hampir 6 bulan, tapi jika suatu hubungan dilandasi dengan rasa kasihan, seterusnya akan ada rasa ketidakpuasan dan kehausan akan cinta yang sesungguhnya. Dan Misha berada dipihak ini. Dia haus akan cinta tulus Iris yang tampaknya belum bisa lepas dari Arsya, meskipun hubungan mereka hampir 3 tahun kandas.

“AKU LIAT KALIAN CIUMAN! JANGAN NGELAK KAK!” Kini Misha yang balik membentak, kesabarannya telah habis. Jika Iris ingin hubungan mereka berakhir, dia akan sukarela mengakhirinya.

“Fine! Ayo kita putus, aku udah cukup makan hati sama kamu!” Tangisan pecah didalam mobil itu, membuat Iris kehilangan kendali.

Dia yang harusnya menatap lurus, malah mengalihkan pandangannya ke arah Misha yang menangis. Emosinya memuncak, semua kata yang terpendam akhirnya ia keluarkan seluruhnya. Malam itu benar-benar kacau.

“FINE KALO ITU MAU KAMU! ENGGAK SEHARUSNYA SHA AKU TERIMA KAMU! AKU NYESEL! IF I CAN CHOOSE, I WILL CHOOSE NOT KNOW YOU FROM THE FIRST! KAMU ITU PENGHALANG AKU SAMA ARSYA!”

Misha mendengar itu tidak kalah histerisnya, beberapa kali ia memukuli lengan Iris yang tengah memegang setir kendali. Membuat mobil yang dikendarai keduanya tidak seimbang. Tak butuh waktu lama, sekejap mobil sedan berwarna hitam itu menabrak pembatas jalan yang ada di sisi kanan jalan. Membuat kendaraan yang tengah dikendarai dengan kecepatan tinggi itu terbalik dan tergulung beberapa kali hingga terbakar di sisi kiri jalan bebas hambatan itu.

Bersyukur Iris selamat, namun naas bagi Misha yang terjebak didalam sana. Tubuh Misha yang masih dipenuhi kesedihan dan amarah itu perlahan terbakar bersama mobilnya. Membuatnya binasa.

“Dia masih terus datang..”

“Itu hanya khayalan kamu, kita coba pengobatan lain?”

“Jadi dia akhirnya akan pergi?”

“Tidak, Ris. Itu keputusan kamu untuk menghapus dia. Tapi untuk saat ini, bentuk Misha yang terus datang adalah rasa penyesalan kamu..”

PS: Remembering in instagram bio mean, memorialized accounts are a place to remember someone’s life after they’ve passed away. 🥀🥀.

--

--

bluueggss

This one for head full of dreams and never shut up