From Eden

bluueggss
33 min readNov 21, 2023

--

Bertahun-tahun menjadi lajang membuat Malaka lupa bagaimana tentang rasanya jatuh cinta. Dia terlalu sibuk untuk karir dan mengabaikan semua rasa cinta yang mungkin hadir dan menawarinya untuk berjalin bersama. Di usianya yang sekarang 27 tahun tentu saja banyak yang menanyainya mengapa ia memilih sendiri hingga saat ini, tapi semua itu ia abaikan. Toh ibunya juga tidak meributkan itu, dan satu lagi dia tidak tertarik pada laki-laki. Walau begitu ia tidak takut kesepian, dia masih ada sahabat dan keluarganya sendiri untuk menemaninya.

“Kita sabtu jadi ketemu?” Tanya Nata, salah satu sahabatnya “Iya, kamu bisa kan?” Tanya Malaka, Nata yang berada di saluran lain mengangguk lalu tersenyum padanya.

“Gimana kamu liputannya disana?” Tanya Malaka, dia mengulum senyum sembari sesekali memperbaiki rambut coklatnya, “It’s fine, hari ini hari terakhir. Kamu kayanya harus kesini kapan-kapan..” sambil menyeruput kopinya Malaka hanya tersenyum melihat Nata menunjukkan beberapa foto yang ia ambil ditempatnya ditugaskan saat ini. Sungguh indah gambar yang diambil oleh Nata, sekarang dia ingin kesana untuk melihat secara langsung pemandangan disana.

“Don’t forget bring me the postcard from Banda Neira, yah?” Nata mengangguk “Already send you some” Malaka tersenyum dengan senang, akhirnya dia punya tambahan koleksi postcard. Sungguh menguntungkan mempunyai sahabat jurnalis yang sering ditugaskan ke luar kota hingga luar negeri. Hobbynya yang suka mengumpulkan postcard atau souvenir jadi tidak terlupakan.

“I met someone yesterday..” ucap Malaka, mood pembicaraan yang tadinya ceria dan penuh tawa berubah menjadi serius, “Siapa?” Tanya Nata tak kalah serius.

“Alik..” Nata menyamankan posisinya, jika sudah begini waktunya curhat semalaman. Alik adalah mantan kekasih Malaka 3 tahun yang lalu, mantan kekasih yang berhasil membuatnya menjadi seorang workaholic yang hanya menjadi kedok untuk menutupi rasa patah hatinya itu. Nata termasuk yang jadi salah satu saksi bagaimana perjuangan Malaka bangkit dari lubang hitam itu.

Mata Nata terlihat sudah cukup mengantuk, cukup lama ia mendengarkan Malaka cerita tentang mantannya, masa lalu, serta masa kini.

“Nata..” panggil Malaka dengan suara super lembut, membuat Nata merinding mendengarkannya. Nata tampak tertidur dengan posisi duduk, kepalanya sesekali terantuk.

“Iya Mala?” Ucap Nata mencoba terbangun

“I’m really tired” ucap Nata, Malaka tersenyum. Malam itu masih pukul 9 di tempat Nata, tapi karena mereka berada di kota yang berbeda di tempat Malaka masih pukul 8 malam. “You need to sleep..” ucap Malaka.

“Kita harus berangkat ke bandara pukul 12 malam ini, i’m afraid that i will slept on..”

“We can keep the skype, carry me over your bed..” ucap Malaka. Lagipula malam ini Malaka harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, jadi dia bisa membangunkan Nata. Nata membawa laptopnya ke atas tempat tidur hotel kecil itu, dia mendesah pelan ketika punggungnya menyentuk kasur yang dingin itu. Biasanya jaringan disana buruk, tapi malam ini jaringannya cukup lancar sehingga mereka berdua bisa melakukan panggilan skype.

“I’ll wake you up at 11.30.” Ucap Malaka, Nata yang sudah mengantuk sekali hanya mengangguk.

Pukul 11.10 Nata terbangun, diseberang sana masih terlihat Malaka yang sibuk di depan layar komputernya

“It’s 11.11..” ucap Nata, suara itu membuat Malaka sedikit terjengat dari kursinya. Dia tersenyum ke arah Nata,“Let’s make a wish..” keduanya terdiam sambil memejamkan mata “What were you wishing?” Tanya Malaka,

“Ya Tuhan, kaya biasa ya!” Ucapan Nata membuat Malaka tertawa, keduanya tertawa. Nata merubah posisinya menjadi duduk, dia kemudian mengambil sebotol air putih yang sisa setengah lalu menengguknya sampai habis.

“Udah jam setengah 12, kita udahan dulu ya..” ucap Nata, Malaka menggeleng, “Aku mau lihat kamu siap-siap..”

“For what? It’s boring sight..”

“Lihat kamu ga pernah bosenin buat aku..” keduanya saling menatap. Mereka tahu akan perasaan yang sedang mereka rasakan antara satu sama lain, tapi mereka saling menunggu. Malaka menunggu Nata menyatakan sesuatu kepadanya, Nata menunggu Malaka sembuh dari lukanya. Tapi bukan semata-mata mereka polos akan hal yang biasa di lakukan sepasang kekasih, mereka sahabat tapi lebih dari itu tapi dianggap seperti sepasang kekasih mereka kurang akan itu.

Selagi Nata bersiap untuk pergi ke bandara malam itu, Malaka hanya memperhatikan sahabatnya itu dari balik layar datar. Dari Nata yang mengganti pakaian hingga menyiapkan koper. Semua sudah selesai Nata lakukan, ia duduk didepan laptopnya sambil mengikat rambut hitamnya itu

“Damn..” ucap Malaka pelan, matanya terpesona dengan Nata. Dia buru-buru menutup mulutnya ketika ia menyadari Nata mendengarnya,

“Why are you swearing, Malaka?!” Tanya Nata, mukanya terlihat menggoda sembari menaikkan sebelah alisnya.

“I’m not!” Muka Malaka memerah, Nata tersenyum. Cukup menggodanya, dia harus pergi sekarang karena timnya pasti telah berkumpul di bawah “It’s time to go, i’ll see you when i see you ya Mala” ucap Nata

“Iya, have a safe flight ya Ta..” dengan itu panggilan mereka malam itu berakhir.

Pukul. 5:40 pagi wib, dia akhirnya tiba di bandara halim. Namun bukannya pulang ke apartemennya dia malah memacu mobilnya ke rumah Malaka. Pukul 7 pagi, sambil membawa bubur kesukaan Malaka ia sudah berdiri didepan pintu Malaka.

Tok tok

Pintu hitam itu terbuka, memperlihatkan Malaka yang masih memakai piyamanya. Malaka yang melihat Nata sudah berada disana cukup terkejut, dia segera memeluk Nata dengan erat dan membawakan koper Nata masuk ke dalam rumahnya. Tampak kelelehan di wajah Nata.

“Sekarang baru hari Jumat loh Ta, kan janjiannya besok” ucap Malaka yang duduk disamping Nata sembari mebawakan 2 cangkir teh hangat untuk teman mereka sarapan. Nata hanya tersenyum, “Aku males banget balik apart, pasti macet. Jadi aku mampir sini aja soalnya deket bandara..” Nata membenarkan posisi duduknya, dia melihat Malaka yang masih mengenakan piyama.

“Kamu gak ke kantor?” Tanya Nata, “Iya tapi nanti jam 9..” ucap Malaka, dia meraih wajah Nata lalu membelainya tidak lupa tangannya membelai surai coklat Nata.

“Astaga kecapekan banget kayanya kamu, ga ke kantor kan?” Tanya Malaka, Nata mendekat lalu memeluk Malaka.

“Nanti sore sih, nyerahin report aja..” ucap Nata dengan suara manja “ah aku malas” Malaka hanya tertawa dengan tingkah sahabatnya ini. Tingkah dan usianya tidak cocok

“Orang mungkin ngira kamu masih diawal 20 tahunan kalo gini, Ta”

“Ya gak apa lah, emang mukaku baby face kok”

“Iya tau, tapi aslinya mah tuwir. Udah 33 juga” mereka berdua masih erat berpelukan, “Badan kamu selalu enak buat dipeluk, hangat..” ucap Nata, bubur ayam yang Nata bawa tadi sudah habis dan sekarang yang mereka rasakan hanya kantuk. Waktu yang tersisa mereka habiskan untuk cuddling di sofa Malaka. Nata memeluk Malaka dari belakang, sedangkan di tv sibuk menampilkan kartun pagi hari. Mengisi nuansa sunyi di ruang tamu rumah Malaka.

A lazy friday morning.

“Ta..” panggil Malaka, Nata hanya menjawabnya dengan deheman,

“Aku rasa.. aku udah siap buat buka hati..” Nata masih mendengarkan “tapi aku masih takut untuk serius..”

“It’s okay, gak perlu buru-buru. Aku juga gak buru-buru..” Malaka memalingkan tubuhnya untuk melihat Nata yang memejamkan matanya, “Melek dong Nata” ucap Malaka, perlahan Nata membuka matanya.

“Semisal suatu hari nanti aku sakit lagi gimana?” Tampak kegelisahan di raut Malaka, “Aku bakal jadi orang yang ngobatin kamu..” sial ucapan Nata membuatnya leleh.

“Kamu gak capek Ta? Aku bahkan capek sama diriku sendiri” , “Maka dari itu aku ga boleh capek sama kamu..” Nata melihat ke mata coklat Malaka,

“What do you think about me?” Tanya Nata, Malaka berpikir sebentar.

“You’re someone that i adore so much, you loving me without ask, and i think we can be perfect couple if we’re not bestfriend” Nata tersenyum “and what do you think about me?”

“I love your smile, your gummy smile. I think i can love you forever..” Malaka mendekatkan wajahnya ke wajah Nata mengambil posisi sempurna untuk mencumbu. Sedetik kemudian mereka sudah saling mencumbu bibir masing-masing. Cumbuan kecil berubah menjadi ciuman dengan lumatan, kantuk mereka hilang. Namun, suara alarm mengkagetkan mereka berdua.

“That was crazy..”

“My head dizzy..” ucap mereka bersamaan, keduanya hanya tertawa

“I know we often flirt with each other, tapi aku beneran suka sama kamu Malaka. Kalo kamu belum siap buka hati gak apa, i can wait..”

“What if is it wasn’t you?” Tanya Malaka, Nata terdiam

Well, aku akan patah hati tapi aku akan antar kamu ke dia. Aku akan temenin perjalanan kamu ke dia..” Malaka terdiam mendengar perkataan Nata, lebih tepatnya tertegun. Jika tingkat kesabaran seseorang bisa didefinisikan mungkin kesabaran Nata tebalnya setebal kayu yang usianya 100 tahun. Kembali Nata menutup matanya, jemari Malaka menyusuri wajah itu.

“Kamu ga berangkat? Nanti telat loh..” ujaran Nata membuat Malaka terkejut, dia segera bangkit “Kaya biasa, kalo mau pergi kuncinya taroh bawah pot item!” Teriak Nata sambil berlalu masuk kedalam kamarnya.

Pagi itu berakhir dengan Malaka yang harus pergi ke kantornya dan Nata yang memilih tidur di sofa rumah Malaka. Dia sangat lelah dengan perjalanannya tadi.

Pukul 2 siang Nata melaju menuju kantor penyiaran tempatnya bekerja sebagai senior reporter untuk menyerahkan report selama perjalanan dinasnya ke Banda Neira. Keadaan kantor siang itu cukup sepi mengingat hari ini adalah hari Jum’at, yang mana adalah pengujung weekdays.

Usai menyerahkan hasil redaksi ke produser, Nata duduk bersantai di ruang lounge karyawan. Setidaknya dia akan bersantai sejenak disana. Sofa yang sedari tadi ia duduki terasa tertambah bebannya.

“Lo gak balik apart ya?” Tanya Maria, housematenya yang juga seorang anchor, “Nggak Mar, gue tadi ke balik ke rumah Malaka”

“Wih, pulang-pulang langsung ngebucin aja tuh! Gimana kaber si bule?” bule yang dimaksud adalah Malaka. Malaka memiliki garis keturunan Batak dan juga Autralia, tapi hanya muka saja yang bule selebihnya dia adalah orang Indonesia tulen.

“Baik” Jawab Nata singkat, sebenarnya lebih tidak ingin menanggapi Maria. Karena dia tahu akan kemana arah pembicaraan ini selanjutnya. “Gimana perkembangan hubungan kalian berdua?” Tepat sasaran dugaan Nata.

“Ya, kita baik”

“Alah, lo di tolak lagi kan?” Seperti seorang cenayang Maria bisa membaca raut wajah Nata “Renata Sanjaya, mending lo cari orang lain deh yang mau nerima lo. Kasihan gue sama lo. Gue gak mau bilang dia gak baik atau gimana tapi dia jelas-jelas take you for granted aja!”

“Iya iya. Tapi tadi kita ngobrol soal dia yang mau buka hati lagi..” Nata menyesap es kopi aren overprice itu sebelum melanjutkan berbicara “dan gue ragu itu buat gue..”

“Nah kan gue bilang apa! Nih yaa banyak yang naksir lo. Lo mau cewe apa cowo? Palu gada deh kalo sama gue!” Nata tertawa, “Beneran Ta. Lo tau Andrea? Si anak baru di bagian advertising, gue rasa di naksir sama lu. Dan gak apa kalo lo mau coba..”

“Gak ah Mar. gue gak mau buat orang lain sebagai pelampiasan, nanti emang kalo gue mau gue cari sendiri..”

“Iya deh, kalo bebal mah lo ahlinya! Gua tinggal ya, abis ini live!” Maria pergi berlalu meninggalkan Nata yang masih ingin menikmati kopinya itu di lounge karyawan sambil memikirkan perkataan Maria. Apa kali ini waktunya dia mencoba opsi lain.

Malam itu Nata pulang ke apartemennya lebih tepatnya sharehouse antara dia, Maria, dan Mario adik dari Maria. Sebenarnya itu adalah apartemen keluarga Maria tapi karena ada sisa satu kamar Nata meminta Maria untuk menyewakan padanya. Bukannya dia pelit untuk menyewa unit sendiri, dia hanya tidak suka kesendirian. Walau dia memang sebenarnya seorang yang introvert, setidaknya dengan berbagi rumah dengan 2 bersaudara itu tidak membuat hidupnya terlalu sepi. Dengan wajah kelelahan usai meliput demo didekat pusat kota, Nata masuk kedalam apartemen itu. Saat masuk dia melihat Mario sedang duduk dengan seorang wanita di ruang tv, Nata mengira mungkin teman dekat atau mungkin kekasih Mario. Tapi wajah itu terlihat familiar.

“Siapa nih Io?” Tanya Nata, “Andrea mbak, temen aku!” Ucap Mario mengenalkan wanita itu, wanita itu tersenyum kepada Nata. Jujur senyumnya begitu manis.

“Oh temen..” ucap Nata menggoda, usai mengatakan itu Nata masuk kedalam kamar untuk beristirahat. Tentu saja dia butuh mandi dan makan jadi beberapa kali dia keluar kamar mandi dan ke arah dapur. Dan beberapa kali juga ia tidak sengaja melakukan eye contact dengan Andrea si teman Mario.

Saat sedang merokok Nata cukup terkejut dengan Andrea yang sudah berada disampingnya,

“Halo mbak, aku Andrea” Andrea mengulurkan tangannya untuk berjabat, “Hi Andrea, aku Nata. Temen kakaknya Mario, Maria..” keduanya berjabat tangan

“Pacarnya mbak Maria?” Tanya Andrea lagi, Nata tertawa

“Bukan. Sekedar nyewa kamar di apart ini..”

“Mbak Nata juga kerja di Xtv?” Tanya Andrea

“Kebetulan iya, kenapa ya Andrea?” Tanya Nata lagi, “Aku juga disana mbak, baru masuk 2 bulan ini. Aku di advertise..” Oh Nata baru mengingat nya jadi ini Andrea yang diceritakan Maria tadi. Apakah Maria sengaja mengatur skenario agar dirinya dan Andrea bertemu.

“Wah, sempit ya dunia”

“Btw mbak, aku boleh pinjam hp mbak? Aku lupa naruh hp ku” dengan senang hati, Nata meminjamkan ponselnya ke Andrea. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ponsel dari saku Andrea, Nata hanya tersenyum melihat cara Andrea mendapatkan nomor ponselnya. Very smooth.

“Oh sekarang gitu ya cara minta nomornya? Nice..”

“Kapan-kapan kita bisa ngopi bareng mbak?” Ajak Andrea, “Sure let me know!” Ucap Nata ramah, Andrea hanya tersenyum. Andrea kemudian meninggalkan Nata sendiri dan masuk kedalam kamar Mario. Baru kali ini ada yang menggodanya seperti itu. Bahkan di tempat ia tinggal. Andrea cukup cantik, bukan cukup lagi dia sangat cantik. Anggun. Sepertinya jauh lebih muda darinya. Ah gila memang, Andrea sejujurnya masuk sekali dengan kriterianya. Tapi maaf, untuk saat ini hanya ada ruang tersisa untuk Malaka. Semua milik Malaka.

Sabtu akhirnya datang, hari lain untuk kencan ‘Friendly’ Nata dan Malaka. Untuk kencan hari ini sudah Malaka siapkan dari jauh-jauh hari. Ada kejutan yang ingin dia berikan kepada Nata. Pukul 12 siang, Nata menjemputnya menggunakan mobil. Bagus, Nata berpakaian santai seperti apa yang ia intruksikan. Saat masuk mobil Malaka langsung menanyai Nata tentang barang yang harus ia bawa.

“Barang yang suruh aku bawa udah semua kan?” Tanya Malaka, “Iya udah tuh di tas” Malaka tersenyum memperlihatkan gusinya

“Bagus deh kita ke scarlett cafe aja ya!”

“Yah..” ucap Nata sedih “itukan deket venue konser NIKI, aku sedih banget tau ga bisa nonton!” Malaka tersenyum,

“Ya gak apa lah, ayok dong. I’m craving for their melon chamomile cake” Malaka mengeluarkan jurus puppy eyes nya yang pasti selalu manjur digunakan pada Nata. She’s weak for Malaka. “Ya udah deh..” dengan berat hati ia menuruti permintaan Malaka. Malaka hanya tersenyum mengetahui ada kejutan yang ia siapkan untuk Nata. Mobil Nata pelan mulai melaju ke cafe yang Malaka maksud. Karena Malaka menyinggung soal cake itu sekarang ia ikut-ikutan mendambakan kue itu.

Ah, Nata hanya bisa diam sambil melihat ke arah jalan. Sore itu banyak mobil yang lewat di depn cafe itu, pasti mereka akan menonton konser musisi idamannya itu. Beberapa kali ia menghembuskan nafas kasar. Malaka hanya tertawa kecil melihat tingkah wanita yang lebih tua itu.

“Sedih banget ya?” Tanya Malaka, membuyarkan lamunan Nata, “ya kamu kira-kira aja sendiri! Gak dapet tiket, eh calo yang jual tiket pada ga ngotak harga jualnya..”

Tangan Malaka menerogoh ke dalam tasnya, Nata masih lekat melihat pergerakan Malaka. Tiba-tiba, 2 lembar tiket ia keluarkan dari dalam sana. Mata Nata membelalak, 2 lembar yang sangat ia idamkan ada tepat didepan matanya.

“Eh!” Nata masih bingung “kamu nonton ya? Sama siapa?” Sungguh Malaka ingin mengetok kepala Nata yang terkadang terlambat untuk connect itu. Jelas-jelas hanya ada mereka berdua disana.

“Buat aku sama kamu lah, sayang!” Ucap Malaka lagi dengan suara lembut, Nata tersenyum.

“Katanya kamu ga nonton! War aja gak ikut!” Ucap Nata kesal “Aku sengaja siapin buat surprise. Beneran ini susah banget dapetnya!”

“Kamu beli di calo? Kan mahal banget!” Ucap Nata,

“Gak lah! Aku sama Rendra yang war! Dia juga nonton!” Malaka begitu excited dengan ceritanya, Nata hanya memandang wanita itu bercerita. Terbawa suasana dia mengecup bibir Malaka yang sibuk bercerita itu,

“Makasih ya, padahal kamu ga dengerin dia tapi mau ikut nonton plus nge war tiket buat aku!” Ucap Nata dengan tulus, Malaka mengambil tangan Nata lalu mengecupnya.

“Makasih juga gak capek sama aku!” Nata membenarkan rambut Malaka

“Beneran nih gak mau buka hati buat aku?” Malaka mengalihkan pandangannya, Nata hanya bisa tersenyum dengan sikap Malaka. Tentu dia tidak mau membahas topik itu jika sudah seperti ini.

Sepanjang konser Nata benar-benar bersenang-senang. Dia sungguh menikmatinya. Walau Malaka bukan penikmat musik NIKI tapi dia juga menikmati konser malam itu. Dia suka melihat keriuhan penonton yang serentak bernyanyi. Sesekali mereka akan berpelukan sambil Nata ikut bernyanyi, tapi sesekali juga Malaka akan duduk dibawah karena kelelahan. Dia hanya akan melihat Nata sambil tersenyum dan sesekali mengambil foto wanita yang lebih tua darinya itu. Hingga disatu lagu, Nata menariknya. Lagu ini tidak asing bagi Malaka karena Nata sering menyanyikannya untuk dirinya. Ini seperti isi hati Nata baginya.

Oh, why can’t we for once

Say what we want, say what we feel?

Oh, why can’t you for once

Disregard the world and run to what you know is real?

Take a chance with me

Take a chance with me

Nata memeluknya dari belakang sepanjang lagu itu, menyanyikan lagu itu ditelinganya. Tanpa banyak gaya, mereka hanya menggoyangkan badan mereka ke kiri dan kanan mengikuti alunan lagu. Malaka tahu apa yang ia rasakan pada Nata, tapi dia takut akan komitmen itu. Dia tahu Nata akan menunggunya selama apapun itu, tapi dia merasa bersalah menjadikan Nata seperti cadangan. Lagu berakhir. Nata mencium pipinya,

“Take your time..” bisik Nata, Malaka berbalik lalu memeluk Nata dengan erat

“I’m sorry..” bisik Malaka. Nata sungguh tidak masalah jika harus menunggu lagi. Selama Malaka tidak terbebani dengan itu dia baik-baik saja.

Mereka sampai di depan rumah Malaka. Seperti tidak ada niatan untuk turun, Malaka masih nyaman duduk di kursi penumpang samping Nata.

“Mau sampai kapan disini neng?” Tanya Nata, Malaka tampak malu, “Kamu.. mau nginep gak?” Tawar Malaka, Nata tersenyum.

“Aku gak bawa baju ganti Mala”

“Kan bisa pake baju aku..” Malaka memegang tangan Nata “badan aku lagi anget, tangan kamu dingin..” Mengerti maksud Malaka, Nata hanya bisa tersenyum. Sebenarnya dia juga ingin tidur bersama Malaka, sekedar memeluk. Tetapi ia juga takut jika nanti malah melakukan sesuatu yang lebih. Dia sedang tidak ingin melakukan itu dengan Malaka, ya walaupun mereka sering melakukannya. Tapi kali ini entah mengapa dia sangat ingin mencoba menjaga jarak dan menahan diri. Dia sedang menimbang opsi untuk beralih ke orang lain. Namun, susah payah dia menolak, akhirnya luluh juga dengan satu kecupan di pergelangan tangannya. Tepat di tato garisnya.

Sungguh ia lelah sekali. Nata telah menyelesaikan ritual mandinya ketika melihat Malaka yang duduk di sofa dengan mi instan cup nya. Nata duduk disamping Malaka, Malaka segera meletakkan mi cup nya dan langsung memeluk tubuh Nata yang sudah bersih dan wangi. Namun Nata segera mendorongnya,

“Mandi dulu bocil!” Ucap Nata, “Ih satu kecupan aja!” Rengek Malaka.

“Nggak ah! Kamu lo masih kotor malah makan mi. Ayo mandi dulu, pake skincare nanti di kasih cookies!” Wajah Malaka berubah sumringah, dia langsung berdiri dari sofa itu,

“Jangan tinggal bobo ya! Tungguin aku!” Ucap Malaka dengan senang. Bergegas Malaka membersihkan diri seperti perintah Nata. 30 menit kemudian Malaka sudah selesai mandi, Sedangkan Nata sudah berbaring dengan nyaman di atas tempat tidur Nata sambil tersenyum melihat layar ponsel. Malaka segera merangsek masuk ke dalam selimut dan ke dalam pelukan Nata. Ah bahu lebar Nata selalu pas untuk tempat Malaka bersandar.

“Kamu lagi chat sama siapa sih? Happy sekali!” Tanya Malaka dengan muka kesal serta bibir manyunnya, “Ini, ada junior kantor ngajak kenalan!” Ucap Nata mulai bercerita “temennya Mario, kenalannya pas lagi di apart!” tampak Malaka terpaku pada cerita Nata,

“Orangnya kaya gimana? Cantik kah?” Tanya Malaka dengan penasaran, jujur ia sedikit kesal saat Nata menceritakan soal wanita itu. Nata menunjukkan foto Andrea yang di pasang sebagai profilnya.

Malaka mengangguk-angguk seolah menemukan sesuatu.

“Tipe kamu ya..” ucap Malaka dengan nada datar,

“Hah tipe aku? Emang tipa aku kaya gimana?” Tanya Nata, Malaka tersenyum menggoda,

“Daun muda, feminime, cerdas, soft spoken, good attitude, dan yang pasti dia wangi..” ucap Malaka “Itu sih aku banget!” Sambung Malaka lagi kini dengan senyuman bangga.

Nata meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Sepertinya Malaka cemburu. Dia menaikkan selimut diantara mereka berdua lalu memeluk lebih erat tubuh Malaka. Walau sebenarnya ukuran tubuh mereka hampir sama, tapi tubuh Malaka serasa mungil jika berada didalam dekapannya.

“Kamu cemburu ya?” Tanya Nata dengan seringai menggoda, “Nggak tuh, lagian kamu bebas ngedektin siapa aja” ucapan Malaka cukup menohok.

“Aku udah tertawan hati tau!” Malaka memukul dada Nata pelan, “oh iya? Aku tebak inisialnya dia M… dia arsitek, tingginya 165, darah campuran juga kan?!”

Keduanya tertawa,

“Iya.. dia namanya Malaka kayanya dia arsitek sih tapi dia bisa jadi apa aja. Soalnya dia kalo masak enak, jadi guru di juga bisa. Kayanya sih tingginya lebih dari itu, 165,8… terakhir kali sih iya gatau kalo sekarang soalnya lebih dominan darah bataknya..”

“Ih alay banget?!” Celetuk Malaka yang berhasil dihadiahi cubitan di pipinya.

“Beneran, Mala. Aku lagi gak nyoba deketin siapapun..”

“Ntar kalo bosen sama aku juga ngider cari yang lain..”

“Emang pernah?” Nata memainkan alisnya, menggoda Malaka, Nata lanjut berbicara,

“Gini ya bro. Kamu sahabatku tapi memang kita lebih dari itu, dibilang pacar ya bukan tapi gak apa aku devoted myself to you. Ini masalahku, kamu gak usah ikut pusing. Kamu bebas memilih kok..”

“Bro?! Kok bro!” Malaka mencubit lengan Nata, membuat Nata meringis kesakitan.

“Maaf.. intinya itu lah Mala..” Malaka menatap wajah Nata dengan dalam, dia memajukan bibirnya meminta cium. Nata mendekatkan pipinya ke muka Malaka,

“Eh.. bibir” Malaka menarik dagu Nata membuat kedua bibir mereka bersentuhan. Malaka terdiam sejenak,

“Kita.. nikah aja gak sih?”

Ucapan itu pelan tapi Nata mendengarnya dengan jelas,

“Gimana?” Tanya Nata masih kebingungan

“Yaudah itu, aku gak mau ngucapin 2 kali..” Malaka berubah membelakangi Nata, Nata yang terlanjur gemas menarik Malaka untuk melihatnya

“Ayo bilang sekali lagi..”

“Gak”

“Ayo!”

“Gak aku malu!”

“Ya udah, kita nikah aja! Gas!” Ucap Nata menatap dalam ke mata Malaka “siapa tahu kalo kita nikah kamu bisa buka hati buat aku ya kan? Nikahnya yang kaya gimana terserah kamu deh, aku nurut kamu aja. Mau yang mewah atau sederhana tapi sederhana aja y-“ belum sempat Nata melanjutkan pembicaraannya, Malaka langsung menghentikan semua itu dengan ciuman. Malaka menarik ciumannya, tampak dia menangis

“Ayo nikah.. aku mau nikah sama kamu..” di atas ranjang itu tampak Malaka menangis dengan sesenggukan.

“Mal serius?” Sungguh Nata masih belum bisa mencerna semua ini, dia kira Malaka hanya bergurau soal ajakan menikah. “Ya aku nangis gini masa masih dikira boongan!” Omel Malaka dengan air mata yang masih mengucur.

Malaka hanya punya satu masalah dan itu masalah kepercayaan. Jauh di lubuk hatinya ia juga sebenarnya menyimpan perasaan yang sama dengan Nata tapi dia hanya takut jikalau dia menerima perasaan Nata padanya dia akan merasakan sakit yang sama. Tapi setelah sekian lama, perasaan Nata padanya tidak pernah berkurang yang ada perasaan itu makin besar.

Malaka turun dari ranjangnya, mencari sesuatu di balik lemarinya. Sebuah kotak hitam ia bawa ke arah Nata. Malaka duduk di depannya lagi, sungguh Nata selalu memimpikan ini.

“Aku sudah siapin ini beberapa bulan belakangan.. aku akhirnya siap buat hati lagi. Dan kamu yang gak pernah pergi selama itu..” ucapnya dengan suara bergetar,

Dia membuka kotak itu, sebuah cincin dengan 3 berlian mungil diatas cincin itu.

“Renata Sanjaya kita gak usah pacaran, kita nikah langsung. Soalnya selama ini kita udah kaya orang pacaran, yakan?” Ucap Malaka dengan bangga, “momen di konser tadi yang bikin aku sadar, aku mau terus kaya gitu sama kamu..aku mau ditengah lautan manusia kamu jadi satu-satunya yang pegang tangan aku. Aku udah mantap sama perasaan aku..”

Kini gantian Nata yang tak kuasa membendung air matanya, keduanya tersenyum.

“Ih males banget, aku kalah start mulu deh!” Keduanya tertawa

“Sekali-kali aku mau jadi dominan dong sama kamu!”

“Kalo kata bahasa gaul, kamu alpha tapi aku enigma!” Lagi keduanya tertawa, Nata menarik Malaka kedalam pelukannya

“Makasih ya..”

“Aku yang harusnya bilang makasih sayang. Makasih udah sabar sama aku ya..” Ucap Malaka dengan suara pelan nan lembut, Nata menarik Malaka kembali ke pelukannya.

Hari itu penuh dengan spontanitas yang bahkan keduanya belum mereka siapkan, mereka bahkan masih overwhelmed dengan semua itu.

Malam itu mereka tidak tidur hingga pukul 2 pagi. Mereka sibuk membicarakan kapan mereka jatuh cinta dengan satu sama lain, bagaimana pernikahan yang mereka inginkan dan seperti apa kehidupan mereka nantinya saat mereka bersama.

1 bulan berlalu, semua itu masih serasa mimpi bagi Nata, semua terjadi begitu cepat. Tidak ada tanda-tanda kalau Malaka bakal menjadi yang pertama mengajaknya ah bukan melamarnya untuk menjadi seorang yang penting kedepannya. Menikah adalah sebuah langkah yang serius bagi keduanya. Tentu saja. Faktor umur dan juga desakan keluarga menjadi sesuatu yang selalu mereka terima. Nata berusia 33 tahun sedangkan Malaka 27 tahun. Usai yang matang bagi mereka.

Ingatannya mengedar bagaimana mereka bertemu pertama kali. 5 tahun lalu.

Tidak ada hal yang spesial pada pertemuan pertama mereka. Seingat Nata mereka bertemu setelah berbicara berminggu-minggu di media sosial setelah bertemu dengan Malaka di aplikasi kencan. Saat itu mereka begitu tertarik ke satu sama lain karena saling menyukai topik yang sama.

Bahkan setelah pertemuan pertama mereka sempat tidak ada kontak. Tapi siapa sangka beberapa bulan kemudian mereka bertemu kembali saat Nata bertugas untuk liputan di sebuah biro arsitek tempat Malaka bekerja.

Dari sana hubungan terjalin kembali.

Pukul 8 pagi Malaka baru bangun. Namun dia tidak segera bangkit dan memilih menatap Nata yang tertidur dengan posisi menggemaskan. Tidak ingin mengganggu tidur sang calon istri, Malaka bergegas untuk ke kamar mandi dan membuatkan sarapan untuk keduanya. Ah sial, gara-gara survey ke lapangan kemarin badannya sakit semua.

2 jam berlalu, akhirnya Nata terbangun. Malaka tengah duduk sambil mengerjakan pekerjaannya di ruang tamu ketika Nata datang dan membaringkan kepalanya di pangkuannya,

“Good morning, kenapa ga bangunin aku?” Tanya Nata dengan suara serak, Malaka tersenyum sambil menunjukkan gummy smile nya tangannya mengelus rambut halus Nata,

“Nggak ah, kamu tidurnya nyenyak banget. Pasti kecapekan abis liputan kemarin ya?” Nata hanya mengangguk

“Nanti siang ikut aku ya?” Ajak Nata, dia mengalihkan posisinya menjadi duduk “Kemana, kak?” Panggilan baru itu membuat alis Nata tertaut. Baru kali ini mendengar Malaka memanggilnya seperti itu,

“Di panggil kak lebih bikin merinding dari pada sebutan lainnya..” ucap Nata tersenyum

“Kayanya aku akan panggil ‘kak’ dari sekarang atau ‘mbak?’ karena kamu orang jawa..” Lagi badan Nata serasa merinding, lebih lagi ia merasa salting. Dipanggil sayang atau babe tidak ada apa-apanya dengan panggilan itu. Sebagai orang yang dibesarkan di tengah-tengah adat jawa yang kental, panggilan mbak/mas dari orang terkasih lebih terdengar mesra.

“Ah terserah kamu. Anyway, nanti ikut aku ya? Kita ke suatu tempat” ucap Nata lagi, matanya tidak bisa menatap ke arah Malaka. Dia masih malu dengan panggilan ‘mbak’.

“Kamu salting ya?!” Goda Malaka, “enggak!” Balas Nata singkat,

“Mau ya?” Tanya Nata lagi “Iya, mau kemana sih?”

“Ada deh!”

“Yaudah iya! Sekarang kamu mandi terus makan ya?” Nata menurut sebelum pergi mandi tidak lupa ia mengecup singkat bibir Malaka. Pagi itu terjadi dengan manis dan hangat.

Seperti kata Nata, keduanya bergegas ke suatu tempat mengendarai mobil Nata. Setelah 45 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Ibu Nata. Bukan suatu yang mengejutkan karena beberapa kali Malaka pernah kesana dan mengenal baik Ibu dari Nata.

“Kirain mau kemana” celetuk Malaka saat mereka sampai disana,

“Kali ini spesial. Kamu biasanya kan cuma ketemu Ibun, kali ini aku mau ngenalin kamu ke mas sama adek aku..”

“Malaka Arlene Siallagan, ini pertama kali aku ngenalin kamu sebagai sesuatu yang resmi dan juga pertama kali saudara aku melihat aku sebagai seorang yang berbeda dari mereka. Jadi ini hal yang besar buat aku..” Seperti es krim, Malaka meleleh mendengar perkataan Nata.

“Iya, Mbak aku tahu. Aku akan lakuin hal itu juga kalau seandainya aku kamu” sebelum akhirnya turun kembali mereka berbagi ciuman singkat.

Sungguh Malaka terkejut saat di dalam rumah sederhana itu penuh dengan orang. Disana ada Ibu, keluara Mas dari Nata dan juga keluarga Adik dari Nata dan total ada 6 anak kecil yang berlarian kesana kemari. Nata pernah menceritakan keluarganya yang ramai, tapi tidak menyangka akan sebanyak ini. Begitu sampai Nata langsung dikerubungi oleh keponakan yang berusia 3 tahun hingga 10 tahun. Ramai sekali. Tapi Malaka hanya bisa tersenyum saat Nata memandangnya seperti mengirim sinyal untuk meminta tolong. Untung Malaka diselamatkan oleh Ibun yang datang memeluknya. Ibun membawa Malaka ke area ruang makan dimana kedua ipar Nata tampak berbincang sambil memakan makanan yang penuh disana. Walau canggung Malaka dengan cepat beradaptasi dengan kedua ipar Nata.

“Malaka kenal Nata dari kapan?” Tanya istri dari mas Tara, kakak Nata “5 tahun lalu mbak..” jawab Malaka sungkan, ia serasa di interogasi.

“Wah lama juga! Tapi kamu loh yang pertama diajak sama dia ke acara keluarga ini!” Saut adik ipar Nata, Roro.

“Maksudnya gimana mbak Roro?” Tanya Malaka

“Aduh Mbak Nata, panggil aku ‘dek’ aja. Aku gak setua itu walau anakku 3” ucap Roro

“Haha iya dek, maksudnya gimana?” Balas Malaka dengan tawa canggung,

“Ya itu Mbak, selama 5 tahun ini kamu yang diajak lagi ke acara keluarga gini. Dulu ada si siapa mbak itu namanya?” Tanya Roro pada istri Mas Tara, Tari.

“Itu si Jeje” Malaka pernah mendengar nama itu. Mantan kekasih Nata tapi itu sudah lama sekali “Oh iya si Jeje. Wah dulu aku gak suka sekali sama si Jeje itu. Apa ya? Dia terlalu pundungan..”

“Oh iya mbak?” Kini ia mulai tertarik dengan percakapan mereka,

“Iya! Masa Budenya main sama keponakannya dia ngambek kurang diperhatiin lah. Pacar mah gak boleh sengatur itu!” Sebentar, apa saudara Nata sudah tahu.

“Betul dek, terlalu kecil juga buat Nata dulu. Untung mereka gak serius..” Mbak Tari bergabung bersama mereka bersamaan dengan Ibu yang membawakan secangkir teh hangat untuk Malaka.

Mereka diam sejenak sembari menikmati minuman dan makanan yang sudah Ibun siapkan. Sesekali mata Malaka mengedar ke arah halaman depan dimana 3 kakak beradik itu bermain bersama ponakan dan kucing-kucing mereka. Malaka mengambil ponselnya lalu beberapa kali memotret pemandangan itu.

“Semalem jam 10an tiba-tiba di chat sama Nata di grup keluarga katanya Urgent Urgent suruh buat kita kumpul semua. Ku kira kenapa, eh taunya mau bawa kamu to dek!” Ucap Tari dengan nada menggoda, Malaka tertawa kecil.

“Iya, Nata itu sukanya kaya gitu. Untung lagi di Jakarta semua…” kali ini Ibun yang berbicara

“Memangnya ada apa sih Bun?” Tanya Malaka kebingungan

“Loh, katanya kalian mau bicarain hari penting?” Hah. Jadi Nata tadi berbohong bahwa keluarganya belum mengetahui soal mereka.

“Kok udah pada tau semuanya?” Ucap Nata dari belakang mereka semua. Semua yang ada di ruang makan itu tertawa.

“Kita itu gak sebodoh itu lo mbak” ucap Ibun menunjuk cincin di jari Nata, sungguh Nata tersipu malu. Malaka pun begitu. Dari belakang Tara dan Raya masuk ke dalam ruang makan. Layaknya adegan di film-film keduanya bertepuk tangan.

“Wih yang mau nikah nih ya?” Ucap Raya menggoda, Nata memeluk kedua saudaranya itu.

“Maaf ya Mas, Dek aku gak bisa jadi yang terbaik!” Ucapnya “Lah kata siapa? Kita ikut bahagia kok Mbak kalo kamu bahagia, ya kan Mas?” Terlihat wajah Tara yang datar, Nata dan semua orang menunggu respon Tara.

Tara menurut cerita Nata adalah orang yang tegas, kaku, dan seorang yang keras kepala. Foto copy dari ayah Nata. Setelah bertemu Malaka mengamini perkataan Nata, dia memang terlihat kaku. Dari masuk hingga sekarang, sama sekali ia tidak melihat laki-laki paruh baya itu tersenyum.

“Ayo to mas, semalem kan udah janji!” Marah Raya kepada kakak tertuanya itu. Tara tersenyum,

“Maaf ya Mbak, Mas gak bisa kakak yang peka dan selalu ada buat kamu! Sekarang kamu udah dewasa dan mulai tua, mas gak mau atur pilihan kamu. Mas juga gak mau jadi perpanjangan Ayah yang kolot dan keras. Mas mau jadi sosok pengganti Ayah yang lembut buat adek-adek mas. Mas ikut bahagia Mbak dengan semua pilihan kamu. Kamu udah mandiri, stabil kehidupannya, mas yakin kamu gak salah pilih..” Nata memeluk Mas nya itu dengan erat.

Dia lalu menarik tangan Malaka lalu menggenggam dengan erat.

“Ibun, aku kesini cuma mau minta restu sekeluarga untuk nikah sama Malaka. Ya walaupun gak bisa di negara ini kita bakal cari negara untuk kita bisa nikah..” Ibun maju untuk memeluk keduanya

“Iya Mbak, Ibun kasih restu untuk kalian berdua…” Ibun memeluk kedua wanita itu. Kebahagiaan keluarga itu bertambah lagi siang hari itu. Adegan siang itu diakhiri dengan pelukan besar semua orang disana dengan diiringi tawa para keponakan Nata.

Makan siang itu menjadi ajang perkenalan resmi Malaka ke keluarga Nata. Malaka sangat terharu akan hal itu karena secepat ini Nata akan mengenalkan hubungan mereka secara resmi di keluarga Nata. Tentu saja dia bahagia. Dia tidak salah membuka hatinya untuk Nata. Malah sekarang Malaka menyesal karena baru bisa membuka hati untuk Nata saat ini.

Usai membereskan semua kekacauan akibat makan besar, keduanya duduk di teras belakang rumah Ibu Nata. Malaka menyenderkan kepalanya di pundak lebar Nata. Keduanya memandang sebuah bunga yang tampak akan mekar malam itu.

“Itu bunga kira-kira umurnya sepantaran sama Zafar. Ayah tanam itu sebagai hadiah buat Mas Tara..” bunga yang dimaksud itu adalah sebuah bunga sedap malam. Terlihat ada 6 bunga berjajar disana, melambangkan setiap cucu yang dimiliki keluarga itu.

Malaka pernah membaca jika bunga itu melambangkan keindahan, cinta, serta romantisme. Walau hanya menebak, Malaka mengira Ayah Nata adalah sosok yang susah mengungkapkan kasih sayang dengan perkataan. Namun lebih ke aksi dimana ia akan menunjukkan cintanya. Persis seperti Nata. Wanita itu kurang ahli dalam mengungkapkan cinta melalui kata-kata. Jika di list dari 5 bahasa cinta yang ada, mungkin yang paling dominan adalah act of service.

“Liat disana masih ada space kosong?” Nata menunjuk diantara bunga yang ditanam dengan rapi itu, Malaka mengangguk. “Itu jatah aku, ditanam nanti kalau ada cucu dari aku, tapi kayanya ga mungkin deh..”

“Kamu pengen punya anak mbak?” Tanya Malaka, Nata terdiam, “Aku pengen deh punya anak setelah main sama keponakan kamu tadi. Mereka kecil banget, lucu, gemes banget”

Nata hanya tertawa,

“Punya anak bukan masalah lucu-lucuan loh..”

“Iya aku tahu, makanya aku masih ada banyak pertimbangan menyangkut hal itu. Tapi ada baiknya kalau kita tau perasaan kita masing-masing soal ini..” Malaka kini mengubah posisinya menjadi duduk tegap. Kebiasaannya ketika serius dalam membicarakan sesuatu.

“Kalau aku, jujur aku pingin. Tapi, aku gak tau gimana caranya. Aku tau aku bisa punya anak sendiri tapi aku gak mau dengan cara kaya bayi tabung..” Malaka mencium tangan Nata, Nata tersenyum “Setelah mendengar itu dari kamu. Kita punya pandangan yang sama soal hal ini..”

“Jujur aku pingin punya anak dengan keturunan dari gen kita berdua. Tapi kayanya gak mungkin ya haha. Coba bayangin selucu apa Nata junior, pasti dia akan se lembut kamu, tapi se tengil aku nantinya. Atau Malaka junior yang dia pasti gak bisa diam, cerewet, tapi penyayang kaya kamu. Ah makin dibayangin makin kepengen..”

“Nanti kita pikirin ya caranya gimana..” ucap Nata mencoba menenangkan Malaka,

“Makasih ya mbak. Sekali lagi kamu hapus ketidakpercayaanku sama hubungan yang serius..”

“Iya sama-sama Mal. Kamu seneng ga hari ini?”

“Very much..” Nata memberika kecupan di kening Malaka. Dari kantong celananya dia mengeluarkan sebuah cincin yang tanpa di bungkus apapun.

“Maaf ya kurang romantis, ini cincin aku udah siapin lama banget. Ada kali satu tahun, aku pinginnya ngasih ke kamu dengan cara yang romantis. Eh malah di keroyok sama bocil, makasih ya udah mau nikah sama aku..” terlihat mata Malaka yang berbinar, hari ini menjadi salah satu hari yang Malaka sukai. Perlahan Nata memasangkan cincin itu di jari manis Malaka.

“Aku jadi penasaran kok kamu bisa dapet ukuran cincin yang pas.. padahal jari aku susah banget cari ukurannya..” tanya Nata, Malaka tersenyum

“Ya aku ukur dong, pake tali..4.15 itu ukuran lingkar jari manis kamu. Aku selalu inget itu..”

Sontak siang itu, ponsel Malaka penuh dengan notifikasi yang masuk. Semua dari temannya dan teman yang ia kenal melalui Nata. Mereka berkomentar bahkan mengirimi nya pesan pribadi. Semua menanyakan apakah itu benar Nata. Dan banyak yang bergembira dengan postingan itu mengetahui bagaimana trauma Malaka tentang hubungan percintaan. Akhirnya juga setelah 2 bulan lebih menyembunyikan hubungan yang serius ini dia mulai berani membuka tentang hubungan ini ke orang-orang.

Sungguh caption dari postingan Nata yang terbaru membuat Malaka tak bisa berhenti tersenyum. Walaupun di akhir caption itu dia tidak mengerti artinya. Rekan kerjanya masuk ke dalam ruangannya

“Waduh yang abis hard launch senyum-senyum melulu, lu!” Ucap Rendra, dia kemudian duduk di depan meja Malaka “Eh ini apa artinya?” Tanya Malaka kemudian menunjukkan postingan Nata “yang belakang sendiri” Rendra pun ikut tersenyum

“Ini calon istriku” jawabnya, seketika senyum Malaka makin merekah.

“Oh jadi gini ya tampang boss batak kita kalo lagi kasmaran!” Goda Rendra. Malaka memang terkenal dengan image garang dan dinginnya ketika diam, tapi saat sudah berbicara semua image itu akan hilang

“Gue gak galak ya Ren!” Ucap Malaka mengelak. Yah walaupaun tidak sepenuhnya benar.

“Gimana rasanya setelah bertahun-tahun denial sama perasaan lo?”

“Haha gue tuh gak denial Ren. Gue tahu kalo gue suka sama dia tapi takut buat membuka hati..”

“Iya iya percaya deh. Terus apa yang bikin lo sadar?”

“Waktu di konser. Entah kenapa gue gak mau kehilangan Mbak Nata, ada rasa gue pingin momen kita berdua waktu konser stay kaya gitu aja!”

“Kan gue udah bilang, konser itu bakal jadi titik balik hubungan kalian”

“Iya lo bener, malemnya gue langsung ajak dia nikah” perkataan Malaka membuat Rendra terkejut, karena dia tidak menyangka Malaka yang terlihat lebih princess dari Nata yang akan mengajak wanita yang lebih tua itu untu menikah.

“DEMI?!!!” Pekik Rendra,

“Demikian. Tapi menurut lo Mbak Nata gimana? Lo sahabat gue seenggaknya gue harus tau dari sudut pandang lo” Rendra terdiam sambil berpikir untuk merangkai kata,

“Dia orang yang tepat buat lo. Dia dewasa tapi bukan yang nuntut lo, dia bijak dan gak asal judge ke lo. Dia loyal juga. Dan yang paling penting dia sabar banget ke lo..” Rendra tertawa kecil “dia baik juga ke gue dan anak-anak. Pernah pas lo tiba-tiba pingsan di kantor, dia dateng buru-buru. Setelah dia pergi kita heran kok ada. delivery pizza banyak ternyata dari dia, katanya makasih udah jagain Lo. Nggak sekali dua kali sih, tapi sering banget. Apalagi kalo kita lembur, lo tau siapa yang sering beliin kopi sama snack tengah malem? Ya dia”

“Beneran lo?” Fakta ini benar-benar membuat Malaka semakin dalam jatuh ke dalam pusaran cinta Nata.

“Iya atuh Mal, gak boong. Dia sendiri yang anter”

Ada rasa bangga ketika Rendra menceritakan semua itu. Usaha Nata bukan hanya kepada dirinya tapi juga bagaiamana dia berusaha terlihat di mata teman, sahabat, bahkan rekan kerjanya. Tidak ada kata lain selain sempurna untuk menggambarkan seorang Renata Sanjaya.

Hari ini giliran Malaka yang akan berkunjung ke apartemen Nata karena Nata berbicara akan lembur dan pulang larut. Tapi karena sangat ingin menghabiskan waktu bersama akhirnya Malaka yang datang kesana hari ini. Malaka hanya pernah beberapa kali mengunjungi apartemen Nata atau Maria, bukan karena Malaka tidak nyaman tapi dia sungkan jika harus menghabiskan waktu disana tanpa ada Nata yang sering di luar daripada di apartemen.

Saat masuk dia disambut dengan Maria yang langsung memeluknya. Tampak raut kebahagiaan diwajah keduanya. Dan yang lebih membuatnya terkejut adalah begitu banyak makanan dan minuman di ruang tengah. Malaka tampak seorang wajah yang familiar,

“Ini Andrea bukan mbak? Yang katanya naksir Mbak Nata?” Tanya Malaka, Maria tersenyum

“Iya, tapi gak apa! Soalnya dia pacar gue sekarang!” Ucap Maria dengan bangga, sungguh jodoh tidak ada yang tahu. Hanya selang 3 bulan Andrea malah jatuh kepelukan Maria. Ketiganya duduk sambil berbincang, menunggu Nata pulang.

“Ga nyangka sumpah lo duluan yang ajak dia nikah” ucap Maria

“Gimana ya mbak, aku gak mau kehilangan dia!” Malaka menyesap bir yang ada dihadapannya

“Maaf ya Andrea, jujur waktu aku tau kamu ngedeketin mbak Nata aku cemburu banget. Itu juga sih yang memantik akhirnya aku sadar akan perasaanku sendiri” Maria dan Andrea hanya tersenyum

“Ya syukur deh soalnya pas itu Nata kayanya juga mulai goyah..” Malaka tersenyum, di juga merasakan hal itu.

“Hahaha tapi mbak Nata itu kelihatan sangat untouchable. Banyak banget yang ngedektin di kantor tapi ya nihil. Tapi kalo aku jadi mbak Nata gak akan meleng sih dari kamu yang perfect banget, Mala!” Malaka tersenyum malu,

tak lama pintu apartemen itu terbuka. Nata datang dengan muka lelahnya, Malaka berdiri dan segera membawakan tas Nata lalu memeluk tunangannya itu.

“Kamu udah lama disini?” Tanya Nata, Malaka mengangguk

“Gak apa sih mbak, tadi ngobrol seru banget sama mereka!” Tunjuk Malaka ke arah Maria dan Andrea

“Ah, untung kamu kesini. Aku capek sama muak banget liat mereka bucin!” Raut muka Nata membuat Malaka tertawa, terlihat sanget menderita.

“Tiap hari mereka main mulu..” bisik Nata, Malaka hanya tersenyum.

“Kita bales aja gimana?” Malaka tersenyum jahat, Nata menangkup wajah Malaka dengan tangannya lalu mengecup Malaka dengan mesra

“Mesum ih!” Pekik Maria, “lo mending ngaca!” Balas Nata,

“Bentar ya aku bersih-bersih, kamu disini aja!” Mendengar titah sang kekasih, Malaka menurut dan bergabung lagi bersama Andrea dan Maria yang tampak bermesraan. Malaka hanya bisa menghela nafas, pantas Nata sering mengeluh lelah melihat mereka berdua. Dia pun sekarang merasa begitu padahal dia tidak ada 2 jam bersama mereka. Bagaimana tidak, mereka sedikit-sedikit akan saling bercumbu.

Malam itu mereka berempat habiskan untuk menonton film bersama di apartemen. Menonton film genre romcom membuat seisi apartemen itu dipenuhi tawa, namun baru setengah film diputar Maria dan Andrea pamit untuk ke kamar. Dan pasti saja setelahnya terdengar suara aneh,

“Kebiasaan..” ucap Nata sedikit kesal, Malaka memperhatikan sikap Nata yang terlihat mudah kesal dan marah hari ini. Dia menarik kepala Nata untuk berbaring di pangkuannya,

“Are you okay mbak?” Tanyanya sambil menyisir surai hitam Nata, Nata hanya mengangguk. Dia tahu ada yang salah. Namun dia memilih untuk diam tanpa menanyakan lebih lanjut, nanti Nata juga akan menceritakannya.

Setelah film usai, mereka berdua memutuskan untuk masuk kedalam kamar Nata.

“Sebenernya aku lagi kesel sama bos aku, Pak Gigih..” Nata duduk bersandar di kepala kasur, sedangkan Malaka tengah mengganti pakain.

“Kenapa emangnya?” Kini dia telah duduk di samping Nata,

“Hari ini aku dapat offering buat jadi senior producer di acara lain. Sejujurnya aku mau banget, tapi entah kenapa Pak Gigih malah nahan aku. Tentu aku pengen berkembang, tapi kenapa beliau malah nahan aku..”

“Emang program yang nawarin kamu apa?”

“Itu acara gosip pagi..” Malaka tampak tersenyum

“Ya pantes aja. Begini ya mbak, aku tahu kamu pengen berkembang tapi kamu jadi lupain passion kamu. Selama ini passion kamu selalu di divisi news sama geographic, aku gak yakin kalau kamu disana bakalan berkembang..”

“Tapi aku bosen jadi senior reporter..”

“Yaudah, coba besok kalian bicarain. Kalau Pak Gigih nahan kamu pastinya dia ada posisi yang bakalan dia tawarin buat nahan kamu kan? Aku percaya kok mbak sama pilihan kamu, apapun itu aku dukung kok!” Nata tersenyum lalu merangkul tubuh Malaka, menciumi pucuk kepala Malaka. Dia bersyukur dengan adanya Malaka,

“Makasih ya?”

“Iya mbak, eh mbak..”

“Apa sayang?”

“Lusa, keluarga aku mau ke Jakarta kita dinner bareng yuk?”

“Loh kok baru bilang, aku belum nyiapin apa-apa..”

“Gak apa mbak, dinner santai aja. Aku mau kenalin kamu ke mereka dulu. Mama udah excited banget mau ketemu kamu hehe”

“Oh iya? Bentar ya!” Nata bangkit dari tempat tidur untuk mengambil laptopnya, tangannya lihai membuka web clothing shop.

“Mama kamu suka tas? Atau aku kasih perhiasan aja ya? Terus papa kamu aku kasih dompet atau ikat pinggang aja kali ya, abang-abang kamu sukanya apa? Sneakers?” Inilah Nata suka panik tanpa sebab, Malaka meraih laptop Nata lalu menutupnya. Malam ini dia ingin tenang bersama Nata, tidur dan bermanja-manja.

“Malaaa”

“Udah santai aja, kamu mau bawain semua itu buat apa? Ada aku disini lo kok malah dicuekin..” Mala naik ke atas tubuh Nata, tersenyum penuh arti.

“Aku pakai night dress baru, notice gak kamu?” Nata melihat dari ujung kepala Malaka hingga badannya. Malaka memakai night dress berwarna blue silk, Nata otomatis tersenyum lalu memeluk Malaka erat. Membenamkan wajahnya diantara dada Malaka, menciumi dada hingga leher Malaka. Malaka tertawa karena merasa geli, tapi tawa itu berubah menjadi lenguhan pendek.

“Can i get it tonight?” Bisik Nata,

“Come and get it, Renata..”

Malam itu apartemen itu riuh ramai dipenuhi dengan suara aneh dari dua kamar yang saling beradu itu.

Malang nasib Mario yang sepanjang malam harus lembur malah terganggu dengan suara aneh itu ketika baru saja tiba di apartemen.

“Gue harusnya pindah aja dari sini…”

Hari dimana Nata bertemu keluarga dari Malaka akhirnya terlaksana. Entah mengapa ia sangat gugup sedari berangkat. Padahal dia sudah mempersiapkan segalanya dengan baik, dari restoran hingga menu yang akan mereka makan nantinya. Pekerjaanya sebagai reporter membuat riset menjadi sangat mudah untuk dilakukan.

“Mbak… ini kita bukan mau ketemu presiden lo..” ucap Malaka sambil menenangkan Nata yang tampak tidak tenang di kursinya, “I know tapi ini lebih penting dari presiden. Aku pernah wawancara presiden tapi rasanya ga kaya gini..” Nata tersenyum canggung ke arah Malaka. Malaka hanya tertawa.

Jika diingat memang benar, waktu itu Malaka ingat Nata yang masih sempat menonton film dengannya padahal besok dia ada wawancara dengan Presiden terpilih Indonesia saat itu, mungkin 3 tahun yang lalu.

4 orang itu masuk kedalam restoran, Malaka berlari kecil untuk menyambut keluarganya. Sungguh, Nata makin gugup ketika melihat 2 abang Malaka yang tampak snagat karena wajah mereka yang tegas dan juga badan mereka yang tinggi dan besar. Ini juga pertama kali dia bertemu keluarga Malaka.

“Jadi gimana dek?” Tanya ayah Malaka memulai percakapan, Nata yang masih sibuk memotong steaknya sempat terhenti karena gugup. Malaka tertawa kecil.

“Ah bang Wetar sama bang Ombai jangan pasang muka galaklah! Takut ini calon bini aku!” Ucap Malaka merengek kepada kedua abangnya, sekeluarga itu hanya tertawa. Sungguh kejahilan mereka membuat Nata ketakutan.

“Sukses dong skenario kita hahaha!” Ucap Ombai sambil bertepuk tangan dengan Wetar, Nata hanya bisa diam sambil menenangkan hatinya.

“Maaf ya Nata, kelakuan abang-abangnya Malaka memang jail. Kamu jadi pucet gitu!” Ucap Mama Malaka menenangkan, Nata tersenyum kepadanya. Pantas saja Malaka begitu rupawan, ibu Malaka yang seorang warga asing itu juga cukup rupawan bahkan mereka berdua seperti karbon copy. Sangat mirip.

Makan malam itu kembali dilanjutkan kini dengan vibe yang lebih bersahabat. Mereka bercerita tentang rencana keduanya kedepannya.

“Mungkin buat nikah secara resmi, kita bakal ke Australia. Malaka bilang kalau tante masih punya kerabat disana jadi mungkin lebih mudah soal penyelenggraan acaranya..”

“Saya sih setuju aja, gak perlu ada pesta juga.. tapi lagi-lagi terserah kalian..”

“Saya sih gak masalah soal ada atau nggaknya pesta om, karena mungkin kita berdua cuma mau teman, keluarga inti, dan sahabat yang datang..” Nata menatap Malaka dengan mesra,

“Kalau kamu dek?” Tanya Wetar kakak tertua Malaka kepada Malaka,

“Aku sih sama bang, karena dari pihak keluarga kita gak terlalu besar jadi gak perlu pesta besar-besaran..”

Keluarga Malaka hanya menganggukan kepala mengerti,

“Kami merestui kalian ya. Gak ada masalah juga, saya cuma mau Malaka bahagia sama pilihannya. Karena kamu tau kan apa yang terjadi sama dia beberapa tahun lalu..”

Nata tersenyum, seolah memberikan reassurance pada keluarga Malaka.

“Iya om, saya selalu ada disamping Malaka pas saat itu kejadian. Dan tahu betul gimana Malaka saat itu, gak akan saya ulangi hal yang sama..”

Malaka menggenggam erat tangan Nata. Dia tidak salah pilih.

Wetar dan Ombai akhirnya bisa tenang memberikan adik bungsu mereka kepada Nata.

Makan malam itu usai dengan mereka berdua yang mengantar keluarga Malaka kembali ke hotel.

Malam yang indah itu tidak ingin mereka lewatkan begitu saja. Mereka gunakan kesempatan itu untuk sekedar berjalan di sekitar hotel keluarga Malaka menginap yang ternyata masih ramai. Banyak pedagang kaki lima dan pembeli yang masih ramai saat itu.

Mereka hanya berjalan ditengah keramaian itu sambil bergandengan tangan, menikmati suasana malam itu.

Lelah dengan suasana yang ramai, mereka akhirnya memilih untuk duduk di pinggiran jalan.

“Aku baru sadar sesuatu..” celetuk Nata, Malaka mengalihkan pandangannya ke arah Nata “apa mbak?” Tanyanya penasaran,

“Namu kamu sama abang-abang kamu semua dari nama selat.. jenius banget ya papa kamu..” ucap Nata, Malaka tersenyum.

“Ya gimana Papa aja kerjanya di laut. Kalau kita punya anak kamu mau kasih nama dari apa?”

Nata tampak berpikir,

“Dari elemen bumi kaya air, udara, angin… kaya gitu. Kalau kamu, sayang?” Kali ini Nata yang bertanya balik,

“Permata. Bakal lucu deh, hahaha!” Keduanya tertawa. Kembali mereka diam sambil menikmati malam itu.

“Wah… semua proses ini kaya mimpi..” ucap Nata, masih tidak percaya jiga mereka berdua berada ditahap mempersiapkan pernikahan.

“Aku selalu tahu kalo kamu yang bakal aku pilih tapi ya kurang yakin aja..” Mata Malaka tertuju pada Nata yang masih sibuk memandangi kendaraan yang lalu lalang.

“Sekarang udah yakin kan?” Tanya Nata, Malaka tersenyum manis pada Nata.

“Menurut kamu? Aku dengan bangganya kenalin ke keluarga aku apa masih kurang menyakinkan?” Ucap Malaka sarkas, Nata tertawa terbahak-bahak.

“Ya siapa tahu, soalnya hanya Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia!”

“Wah… gawat… Tuhan jangan bolak-balikkan hatiku ya! Aku udah cinta mati sama manusia ini!” Keduanya tertawa, Nata menarik Malaka mendekat ke sisinya. Memeluk Malaka dengan erat.

“Makasih ya..” entah berapa banyak kata-kata itu Nata ucapkan, dia hanya merasa bersyukur hari ini.

“Iya mbak..”

Tak peduli seramai apa jalanan itu, Nata menarik kepala Malaka untuk memberikan ciuman panjang di bibir Nata. Tidak peduli seberapa banyak mata yang memandang mereka, Malaka makin dalam mencium Nata. Mereka hanya ingin merayakan malam itu. Malam dimana semua akan dimulai. Malam dimana semua keraguan hilang dan mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang baru. Pernikahan.

.

.

.

.

END

--

--

bluueggss

This one for head full of dreams and never shut up