The Origins of Borneo Headhunter

Borneo Culture Review
3 min readAug 9, 2022

--

Tengkorak manusia (sumber: borneotalk.com)

Dayak merupakan nama suku atau kelompok etnik untuk penduduk asli Pulau Kalimantan. Kata Dayak sendiri berasal dari kata “daya” yang serumpun dengan kata “raya” dalam nama “Toraya” yang berarti “orang di atas, orang hulu”. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa orang-orang Dayak mendiami pedalaman atau hutan Kalimantan.

Diantara sejumlah adat istiadat dan tradisi masyarakat Dayak yang beragam, tradisi ngayau atau mengayau barangkali adalah yang paling terkenal dan banyak diketahui masyarakat secara luas, bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Adalah buku The head-hunters of Borneo yang ditulis oleh Carl Boc, seorang naturalis asal Norwegia dan diterbitkan pada tahun 1881 yang untuk pertama kalinya membuat pandangan dunia tentang orang-orang Dayak sebagai suku kanibal dan pemburu kepala masih eksis hingga saat ini.

Anna Durin, dkk. Dalam jurnal berjudul The influences of Ngayau or headhunting in the production of Pua Kumbu textile motives in Iban community, Sarawak yang dipublikasikan pada tahun 2011, menyatakan bahwa seorang pemuda Dayak harus mengayau agar dapat dibanggakan oleh keluarganya dan sekaligus meraih gelar Bujang Berani. Setelah mendapat gelar tersebut, barulah pemuda yang bersangkutan dapat menikahi gadis pilihannya.

Selain itu, tradisi mengayau atau berburu kepala manusia ini biasa dilakukan sebagai aksi pembalasan dendam dalam peperangan atau untuk keperluan ritual adat Dayak itu sendiri. Pada masanya, aksi mengayau seringkali dipicu perebutan wilayah antar suku Dayak atau peperangan melawan Belanda. Terkait persoalan yang pertama, aksi kayau-mengayau antar suku ini dapat terjadi karena pada saat itu suku Dayak tidak mengenal pembagian wilayah secara administratif sehingga konflik perebutan lahan antar mereka tidak terelakkan. Salah satu konflik yang terjadi pada masa itu adalah perebutan usaha getah nyatu antara suku Dayak Ngaju dan suku Dayak Kenyah. Biasanya, kepala musuh yang berhasil dipenggal akan diambil untuk dipersembahkan dalam upacara besar adat Dayak yang disebut Upacara Tiwah, hal ini juga sekaligus untuk menghormati roh anggota suku yang telah terbunuh oleh kelompok musuh.

Hal kedua yang seringkali memicu kemunculan aksi kayau adalah peperangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, tradisi mengayau ini kerapkali membuat para penjajah kewalahan untuk menguasai daerah-daerah tertentu di Kalimantan. Bahkan tak jarang orang-orang asing yang nekat menerobos wilayah-wilayah suku setempat akan menjadi buruan dan dipenggal kepalanya. Tercatat sejumlah peperangan terjadi di berbagai wilayah di Kalimantan pada masa itu yang sebabkan oleh semakin memanasnya konflik antara orang-orang Dayak dengan pihak penjajah ini.

Kondisi demikian akhirnya membuat pemerintahan penjajah menyusun intrik politiknya untuk memadamkan aksi perlawanan rakyat Kalimantan dan aksi kayau sekaligus memperluas area kekuasaannya. Akhirnya, residen Hindia Belanda wilayah Kalimantan Tenggara mengundang seluruh kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Undangan tersebut bertujuan untuk membicarakan upaya perjanjian perdamaian.

Pertemuan awal ini menghasilkan beberapa kesepakatan, salah satunya adalah pelaksanaan rapat damai lanjutan yang akhirnya dilaksanakan di Desa Tumbang Anoi pada 23 Mei hingga 22 Juni 1894. Dari rapat damai atau yang sekarang dikenal dengan istilah “Perjanjian Tumbang Anoi” inilah akhirnya disepakati sejumlah poin perdamaian. Beberapa diantaranya adalah penghentian kebiasaan perang antar suku dan desa, pengehentian kebiasaan balas dendam antar keluarga, menghentikan tradisi mengayau, penyeragaman hukum adat antar suku, serta menghentikan permusuhan dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Perjanjian Tumbang Anoi, 1894 (sumber: kalimantanreview.com)

Meski menghasilkan perdamaian dan membuat orang-orang Dayak menjadi bersatu, namun melalui Perjanjian Tumbang Anoi inilah jualah akhirnya pihak Belanda berhasil melemahkan perlawanan masyarakat Dayak dan sekaligus memperluas wilayah kekuasaannya di Kalimantan.

--

--