Jalan Raya Pos

Bram Wasito
3 min readFeb 20, 2015

--

De Groote Postweg

Film dokumenter ini terinspirasi dari karya penulis Pramoedya Ananta Toer

Pada tanggal 19 Februari 2015, Taman Baca Kesiman mengadakan pemutaran film dokumenter De Groote Postweg (Belanda, 1996) sebagai rangkaian dari “Bulan Pram”.

Kala saya melakukan penelitian mengenai film ini di internet, saya menemukan banyak kesulitan. Informasi film ini tidak tersedia di IMDb. Berkas-berkas video di YouTube, seperti trailer, juga tidak ada. Yang bisa saya temukan hanyalah tautan-tautan mengenai buku tulisan Pram yang berjudul sama.

Film langka. Ini menarik, pikir saya.

Saya berjalan kaki meninggalkan rumah sekitar pukul 18.15. Lalu lintas kota Denpasar lebih lengang daripada biasanya karena libur nasional.

Ketika saya memasuki Jl. Hang Tuah, saya memperhatikan seorang bule dengan berbusana lycra jogging di sisi seberang saya. Tidak ada trotoar yang memungkinkan pria tersebut untuk berolahraga dengan nyaman sehingga dia terpaksa menggunakan bahu jalan. Apa yang dia alami tidak jauh berbeda dari apa yang saya alami.

Saya tiba di TBK sekitar pukul 18.35. 20 menit berjalan kaki bukanlah hal yang sulit bagi saya. Saya sudah terbiasa berjalan kaki saat masih berkuliah dulu.

Film baru diputar sekitar pukul 19.20 dan berdurasi 2 jam 25 menit. Film yang diputar itu hasil rekaman dan sempat ditayangkan oleh saluran televisi Belanda, Geschiedenis 24 (sudah tutup), dan hak siarnya dipegang oleh VPRO.

Pramoedya tampil terkadang membacakan kutipan-kutipan dari hasil karyanya, terkadang menceritakan kisah hidupnya. Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah perjalanan yang dilakukan oleh juru kamera Stef Tijdink dan sutradara Bernie IJdis melalui Jalan Raya Pos.

Jalan Raya Pos dibuat secara paksa atas pemikiran Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang merasa terancam akan kehadiran Inggris di Kepulauan Nusantara dan selesai dibangun pada tahun 1809. Anehnya, dalam film ini Pramoedya selalu berkata bahwa jalan ini selesai pada tahun 1909.

Perjalanan Tijdink dan IJdis dimulai di Jakarta. Kemacetan Jakarta pada 1990an belum separah sekarang. Trotoar kota pun masih layak pakai walaupun tidak dapat saya katakan sebagai sangat bagus. Namun di balik pembangunan pesat ibu kota, terdapat kolusi dan nepotisme berbagai proyek yang berujung pada presiden kala itu.

Saat mereka berada di Cadas Pangeran, mereka harus memutar karena jalan yang hendak mereka lalui tertimbun longsor. Mereka tidak lari dari longsor dan justru mendekatinya. Di sana, ratusan atau bahkan ribuan pekerja berusaha untuk memindahkan tanah agar jalan dapat dipakai lagi. Saya melihat bahwa banyak pekerja yang tidak menggunakan peralatan pengaman seperti rompi refleksif atau topi keselamatan. Saya kurang tahu apa aturan mengenai keselamatan di tempat kerja kala itu.

Di Semarang, mereka mengupas isu rasisme. Ketegangan antara etnis Tionghoa dan pribumi memang ada dan akhirnya meledak pada tahun 1998. Apakah distinctions antara kedua grup ini memang fakta ataukah hanya sebuah generalisation? Saya ingin percaya bahwa itu hanyalah generalisation.

Tijdink dan IJdis melihat kesenjangan antara kaya dan miskin di Surabaya. Yang kaya berusaha untuk semakin memperkaya diri mereka sementara yang miskin dipersulit untuk memperbaiki taraf hidup mereka.

Mengutip kata-kata Alit Ambara pada diskusi pasca-pemutaran, ada banyak hal-hal absurd yang mungkin maknanya tidak dapat dipahami seketika juga dalam film ini seperti bus-bus yang menghubungkan Bandung dengan Cirebon, pria tuna netra yang berjalan di jalur pantura Jawa Tengah, dan mayat yang ditunjukkan begitu saja tanpa disensor (yang membuat saya merasa kurang nyaman).

Jalan Raya Pos hanyalah simbol dan bukan fungsi. Mungkin ini menjelaskan mengapa berbagai pembangunan di Indonesia tidak mengindahkan fungsi, yang penting ada.

Saya lupa berpamitan (maafkan saya) dan kembali berjalan kaki menuju rumah saya. Tiga kali saya senam jantung akibat ulah tiga pengendara sepeda motor yang mana semuanya (dan untungnya) hanyalah false alarms. Tidak akan saya ceritakan karena ini menyangkut keselamatan pribadi saya.

--

--