Asal Usul

najla
6 min readJun 28, 2022

--

Rabu, 29 Oktober 2013

Mungkin tidak jarang dari kalian yang bertanya-tanya dari mana sebenarnya kiash Danu dan Arawinda ini dimulai?

Technical meeting pernikahan Bintang dan Alea? Malam pernikahan Bintang dan Alea dimana Arawinda bercerita pada Danu tentang latar belakang keluarganya? Bisa juga dari ciuman mereka di elevator apartemen Arawinda di New York, entahlah. Semua momentum yang mereka habiskan bersama bisa menjadi awal dari apapun di kisah keduanya.

But one thing we’re sure of, adalah hari dimana kawan-kawan Danu mulai membuat the infamous inside joke towards Danu dan Arawinda. Mungkin ini yang sering menjadi pertanyaan, memang dari mana sih awalnya?

Hal ini membawa kita kembali ke Bulan Bahasa yang diadakan oleh SMA mereka dulu, acara yang diselenggarakan dibawah pimpinan Fauzi Novian atau Oji yang pada tahun itu sedang menjabat sebagai ketua OSIS. Kepemimpinan Oji — everyone’s favorite, membuatnya menjadi ketua OSIS terbaik yang sekolah mereka pernah miliki selama beberapa tahun terakhir. Prokernya yang bermacam-macam dan pastinya selalu ditunggu-tunggu oleh semua murid.

Hari peringatan Sumpah Pemuda yang biasanya ber-dress code kebaya dan batik, tahun ini, Oji dan teman-teman OSIS mengusulkan tema ‘Tempo Doeloe’ yang memakai dress code pakaian vintage. Oji was way ahead of his time. Siapa sangka sekarang pakaian vintage kembali menjadi tren?

Dibuka dengan upacara dengan pembacaan teks Sumpah Pemuda, lalu diikuti dengan sambutan dari Kepala Sekolah dan ketua OSIS. Barulah pada pagi itu, berbagai macam lomba antar kelas pun dimulai.

Arawinda sedang merapikan kembali mading yang telah ia hias dibelakang kelasnya. Ia yang dengan sukarela menawarkan diri untuk menjadi perwakilan lomba mading di kelasnya, with a little help from Thalia dan Salma. Arawinda memang hobi membuat kerajinan tangan — hence what she does for a living in the present day, mulai dari melukis, membuat art piece dari clay dan sesekali menjahit. Membuat kolase-kolase untuk menghiasi mading kelas adalah salah satunya. Bermacam-macam ide akan apa yang harus dia pajang di mading milik kelasnya itu.

Lomba mading yang mengharuskan siswa-siswinya untuk membawa tema nasionalisme. Arawinda yang tidak melupakan ketertarikannya terhadap Pop Culture, mading yang ia buat menampilkan bahwa Budaya Pop tidak hanya ada di Amerika tapi negara Indonesia pun memiliki Budaya Pop-nya sendiri. Mulai dari kolase-kolase yang membahas hubungan Presiden Soekarno dengan Marilyn Monroe, film-film independen terbaik karya anak bangsa versi dirinya, sampai sutradara lokal yang mendunia, dan fakta-fakta menarik lainnya mengenai anak bangsa ia buat semenarik mungkin untuk dipajang di mading kelasnya. Tidak jarang guru yang sedang mengajar hendak berdiam dibelakang membaca kolase-kolase mading yang kemudian bertanya, “Ini siapa yang buat?”, lalu teman-teman kelasnya serentak menjawab, “Arwin bu…”

Pagi itu Danu dan Ajun sedang duduk disebuah kursi yang terletak dipinggir lapangan, dengan meja yang terdapat laptop bersambung dengan sound system besar di sebelahnya. Ajun yang meminta kepada Oji bahwa ia yang akan bertanggung jawab atas lagu-lagu untuk acara hari ini dari laptop milik Oji.

“Lagu apa abis ini Nu?”,

“Ga tau,”

“Ah lu, ga tau ga tau melulu”, cibir Ajun sambil menyikut Danu,

“Bintang dimana Jun?”, ujar Danu sambil mengedarkan pandangannya untuk mencari temannya itu,

Ajun menyenggol tangan Danu dan menunjuk ke arah pintu kantin, mereka berdua terkekeh,

“Liat tuh temen lo, bukannya beli sendiri malah minta-minta punya Alea”, ujar Ajun yang mendapati Bintang sedang memohon-mohon kepada anak OSIS bernama Alea itu untuk memberikan 1 dari 4 botol air mineral yang sedang ia bawa, si perempuan yang enggan memberikan minumnya sedang memegang erat keempat botol tersebut,

“Beli sendiri ih sana!”, teriak Alea kepada Bintang

“Malu-maluin”, ujar Danu,

“Jun, liat gebetannya Bintang ngeliatin Bintang sama Alea dari jauh serem banget”, tambah Danu yang dibalas oleh tawaan dari Ajun.

Sebagian besar murid sedang berkumpul di dekat panggung, terlebih lagi yang telah mewakili kelasnya untuk lomba. Pemenang setiap kategori lomba antar angkatan dan kelas hendak diumumkan,

“Jun, matiin dulu lagunya, Bu Meta mau ngomong”, ucap Danu

Ajun mengangguk lalu mematikan lagu Hanya Untukmu dari RAN yang sedang terputar dari laptop Oji,

“Nu, menang gak lo kira-kira?”, tanya Ajun,

“Pengennya sih menang, itu gue bikin sepenuh hati artikelnya”,

Ajun mencibir ucapan Danu,

“Jahhhh…..emang lo nulis apaan?”,

“Impact Guruh Soekarno Putra ke anak-anak muda Indonesia dibidang seni pertunjukan”,

“Kok lo bisa pinter ya Nu? Lo pas kecil dikasih makan apaan?”,

“Aibon”,

“Goblok!”,

Danu yang menjadi perwakilan kelasnya untuk lomba menulis artikel dengan tema Pemuda-Pemudi Indonesia, membuat Guruh Soekarno Putra yang merupakan seniman favorit sang Bunda menjadi topik yang akan ia angkat ke artikel yang akan ia tulis. Dua hal yang mudah baginya; menulis artikel dan Guruh Soekarno Putra. Hobi membacanya yang ia miliki sedari kecil, berperan atas dirinya yang gemar menulis — tidak lupa beberapa lomba menulis teks pidato dan artikel yang telah ia menangkan. Dirinya yang tumbuh dengan karya-karya Guruh Soekarno Putera karena pengaruh dari sang Bunda, membuat Lagu Damai menjadi lagu favoritnya saat kecil dulu. Menuangkan dua kegemarannya menjadi satu di artikel yang ia tulis untuk lomba di hari Sumpah Pemuda.

“Oke sekarang Ibu umumin pemenang lomba menghias mading untuk kelas 11 ya”,

Arawinda, Salma dan Kahla menunggu dengan antusias, berharap kelas mereka — kelas 11 IPS 1 memenangkan kategori lomba ini,

Juara 3……..

11 IPA 4

Juara 2…….

11 IPS 3

“Kalo ga menang gapapa sih, paling hadiahnya buku tulis buat sekelas”, ucap Arawinda ke Salma,

Salma tertawa,

“Ya seenggaknya itu buku berguna buat Dika, ke sekolah ga pernah bawa buku. Kerjaannya mintain kertas orang melulu buat nyatet abis itu kertasnya jadi sampah di kolong meja”

“Dan yang terakhir juara 1 lomba menghias mading jatuh kepada, 11 IPS 1! Ayok perwakilannya silakan naik ke panggung untuk berfoto”,

“Anjir menang beneran anjir!”, Kahla menyenggol tangan Arwin

“Sal, Sal lo yang maju Sal, ga mau gue”, ujar Arwin

“Ih kok gue? Kan lo koordinator kita, gue sama Kahla cuma banutin”,

Dengan segala perdebatan dan paksaan, akhirnya Arawinda lah yang berakhir untuk naik ke panggung mewakili kemenangan kelasnya itu. Setelah mengambil hadiah untuk kelasnya dan berfoto dengan Kepala Sekolah juga ketua OSIS, Arawinda hendak turun panggung ketika langkahnya menuruni tangga panggung terhalangi oleh siswa berkaca mata yang sepertinya juga telah memenangi lomba.

Danu diumumkan sebagai Juara 1 lomba menulis artikel di angkatan kelas 11, langkahnya menaiki tangga panggung terhenti karena berpas-pasan dengan seorang siswi berambut sebahu yang hendak turun panggung, Arawinda melangkah ke kiri, Danu pun melangkah ke kiri. Danu melangkah ke kanan, Arawinda pun melangkah ke kanan. Sampai akhirnya Danu mengalah dan mempersilakan sang siswi untuk turun panggung duluan.

Bintang yang melihat kejadian itu terkekeh sendiri, melihat betapa canggung kawannya disituasi seperti itu.

Arawinda menghampiri Alea dan Wanda yang sedang berada di kantin, dirinya yang haus membelokkan langkah kakinya ke kulkas berisi minuman segar dan mengambil sebotol Frestea,

“Nih Pak”, ia menyodorkan selembar 5000 kepada penjaga kantin tersebut yang kerap disebut Bapak Gope,

“Yah Neng, gak ada seribuan”, ujarnya — he didn’t get that nick name for nothing, kebiasaanya yang ‘tidak memiliki seribuan’, entah berapa banyak kembalian receh yang Arawinda dan murid-murid lain ikhlaskan di tempatnya itu,

“Ah Bapak kebiasaan!”, protes Arawinda

“Nih adanya dua ribu, bagi dua sama si Aa aja atuh”, ujar Pak Gope mengarah ke siswa yang entah dari mana asalnya sudah berdiri di sebelah Arawinda,

Arawinda menoleh ke sebelah kanannya, mendapati laki-laki berkacamata — yang tadi sempat menghalanginya, juga sedang menoleh kepadanya,

“Saya gak kenal Pak sama dia”, ujar Arawinda,

“Buat lo aja kembaliannya”, suara berat Danu terdengar,

“Tuh Neng, dikasih sama si Aa-nya”,

Arawinda menggeleng,

“Gak, gak, gak usah, makasih, permen aja deh permen”,

Si Bapak pun mengangguk dan mempersilakan Arawinda mengambil beberapa buah permen kopi sebagai ganti kembaliannya, Arwin pun melesat pergi setelah mengambil permennya,

“Permen juga A?”,

Danu mengangguk dan mengambil beberapa permen mint yang kemudian di minta oleh Bintang,

“Biwit li iji kimbiliinyi”, cibir Bintang sambil meniru suara berat Danu,

Danu memandang Bintang aneh,

“Ye, emang gue gak liat lo tadi mau nabrak dia pas mau naik panggung, kanan kiri kanan kiri, udah kayak sinetron”,

Danu lebih memilih untuk tidak merespon omongan tidak jelas temannya itu,

“Cie Danu”, ledek Bintang,

“Apaan cie cie?”,

“Gapapa pengen aja gue ngeledekin lo”, canda Bintang,

“Arawinda tuh namanya Nu, anak IPS temennya si Alea anak OSIS, cakep kan Nu?”, tambahnya

Mulai dari situ lah Bintang yang menjadi saksi interaksi awal Arawinda dan Danu, kejadian di tangga panggung dan kantin yang kemudia ia ceritakan secara berlebihan kepada Oji dan Ajun, seolah-olah Danu memang di buat salah tingkah oleh Arawinda saat itu. Membuat hal ini menjadi akar ledekan mereka bahwa Danu naksir Arawinda, ledekan instan yang siapa sangka akan melekat sampai mereka dewasa, semua hanya karena omongan hiperbola Bintang.

--

--