Mengenal fotografi kolonial di dalam sejarah fotografi di Indonesia

Istilah ‘fotografi kolonial’ (colonial photography) seolah-olah telah terdefinisikan dengan sendirinya, mengingat fotografi berkembang pada abad ke-19, di tengah kolonialisme bangsa Eropa di sejumlah bagian Asia dan Afrika. Maka masuk akal, jika kemudian di dalam perbincangan sejarah fotografi muncul soal-soal kolonialisme dan bagaimana fotografi digunakan di dalam periode tersebut. Fotografi kolonial lalu berkembang menjadi suatu kajian tersendiri, khususnya—namun tidak terbatas hanya—di dalam bidang sejarah dan sejarah fotografi. Namun demikian, para sarjana dan peneliti masih belum dapat bersepakat di dalam menetapkan batasan kajian fotografi kolonial.

Apakah yang dimaksud dengan fotografi kolonial? Apakah foto-foto yang dibuat pada masa kolonial (penjajahan), ataukah yang dibuat oleh bangsa penjajah mengenai tanah jajahannya, ataukah yang dibuat sebagai alat untuk mendukung tujuan dan agenda kolonialisme? Pada kenyataannya, konsep fotografi kolonial kerap digunakan secara cair untuk menggambarkan penggunaan dan praktik fotografi pada masa kolonial. Pada dasawarsa 1980-an, foto-foto kolonial (colonial photographs) didefinisikan sebagai foto-foto yang di dalamnya tergambar bangsa penjajah. Sementara itu, foto-foto yang menggambarkan warga lokal (yang terjajah) masuk kategori lain, misalnya di Hindia Belanda disebut sebagai foto-foto Hindia (Indische photographs).

Foto diri oleh C. Nieuwenhuis, sekitar 1895.

Di dalam perkembangannya, definisi itu berubah dan keduanya digabungkan menjadi satu pemahaman baru foto-foto kolonial, yaitu foto-foto yang dibuat pada masa kolonial oleh juru foto kulit putih (bangsa Eropa). Beberapa nama juru foto kulit putih yang tercatat pernah berkarya di Nusantara di antaranya Juriaan Munnich, Isidore (Isodorus) van Kinsbergen, Ohannes (Onnes) Kurkdjian, George Lewis, Walter B. Woodbury & James Page, Christiaan Benjamin Nieuwenhuis (Niewenhuis), Carl Julius Herman Salzwedel, Charles (Carl) Josef Kleingrothe, Jean Demmeni, Henricus Marinus Neeb, Tassilo Adam, Thilly Weissenborn, Dr. Gregor Krause, Frank Hurley, Arthur de Carvalho, André Roosevelt, dan Gotthard Schuh. Akan tetapi, definisi baru ini pun masih mengundang pertanyaan: Lantas bagaimana kita mesti melihat foto-foto yang dibuat pada masa itu oleh juru foto yang bukan kulit putih, misalnya oleh juru foto pribumi seperti Kassian Céphas, atau oleh juru foto bangsa Cina dan Jepang (K.T. Satake, misalnya), yang banyak juga berkarya di Hindia Belanda? Dengan cara pandang lain, apakah para juru foto itu mesti dilihat sebagai bagian dari sejarah fotografi Indonesia atau sejarah fotografi Belanda?

Memahami fotografi kolonial hanya lewat aspek waktu pun kurang tepat sekaligus bermasalah. Nusantara, yang kini kita kenal sebagai Indonesia, tidak mengalami penjajahan pada masa yang bersamaan. Kapal-kapal bangsa Spanyol dan Portugis telah mendarat di Maluku pada perempat awal abad ke-16, tetapi Banten baru didarati pelaut Belanda pada akhir abad itu. Memasuki abad ke-17, Belanda mendirikan VOC (Perusahaan Hindia Timur) dan mengobarkan perang di dalam upaya menduduki sejumlah daerah di Jawa, yang masih berlangsung bahkan jauh setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. Aceh telah menjalin hubungan dengan sejumlah negara Eropa sejak abad ke-16, namun baru dapat ditaklukkan Belanda pada awal abad ke-20, setelah Perang Aceh yang bekepanjangan (1873–1904). Bali juga baru sepenuhnya dijajah setelah Belanda memenangi Perang Puputan (perang habis-habisan) di Badung pada 1906 dan kemudian di Klungkung pada 1908. Cara pandang semacam ini jadi terlalu menyederhanakan aspek-aspek lain di dalam percakapan fotografi kolonial, yang sejatinya multilapisan dan lintas disiplin.

Perempuan Dayak membuat caping dan menganyam sawit di daerah hulu Mahakam. Foto diambil di dalam perjalanan dinas ke Kalimantan Tengah. Foto oleh Jean Demmeni, sekitar 1989–1900.

Mengenai praktik fotografi sebagai alat untuk menyokong tujuan dan agenda kolonialisme, bagaimana kita mesti melihat foto-foto yang dibuat pada masa kolonial, namun di luar tujuan dan agenda kolonial? Woodbury & Page, Kurkdjian, dan Weissenborn tidak memfoto Hindia Belanda sebagai petugas kolonial; mereka pengusaha jasa fotografi. Di samping itu, banyak pula klub fotografi dan juru foto amatir bermunculan di sejumlah daerah. Mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat liburan seperti Bali, Bogor, dan Malang, serta membuat foto di sana untuk kepuasan mereka sendiri—melahirkan cikal bakal pakem fotografi pemandangan yang masih sering dianut oleh banyak juru foto Indonesia hingga saat ini.

Pasukan Marechaussee Belanda (KNIL) pimpinan Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (atas, ketiga dari kiri) dengan warga Koeto Reh yang terbunuh seusai perang di dalam kampanye militer di Aceh. Di tengah foto terlihat seorang anak kecil yang masih hidup. Van Daalen kemudian diangkat menjadi Gubernur Aceh pada 1905–1908. Foto oleh H.M. Neeb, 14 Juni 1904.

Yang bisa dibilang termasuk agenda kolonial di dalam bidang citraan visual misalnya menggambarkan penaklukan dan pembangunan daerah jajahan, demi melanggengkan pendudukan. Banyak kepentingan yang saling berkelindan di dalam hal ini. Daerah jajahan di Asia dan Afrika sering dipandang sebagai kawasan yang terbelakang dan dihuni bumiputra yang primitif. Orang Eropa, di sisi lain, melihat diri mereka sebagai bangsa yang lebih maju. Dengan menaklukkan dan menduduki daerah jajahan, mereka mencitrakan diri sebagai bangsa yang lebih unggul yang sedang memajukan peradaban lokal. Penggambaran kegiatan memajukan peradaban lokal ini menjadi penting di dalam menarik minat orang dari Eropa untuk datang dan tinggal di tanah jajahan. Tanah jajahan yang sudah ditaklukkan ini lantas dicitrakan sebagai kawasan baru yang penuh peluang dan menjanjikan kemakmuran, agar para pengusaha swasta membuka usaha di sini: perkebunan, pabrik, dan perusahaan, termasuk jasa fotografi guna melayani kebutuhan citra diri para pendatang dari Eropa itu—kebutuhan yang lantas ditiru pula oleh golongan ningrat lokal yang ingin menjadi modern.

Potret studio Antoinette Westerman dan babunya di Jawa. Foto oleh Studio Charls & Co. (Semarang), sekitar 1915–1916.

Oleh karena nilai guna pencitraan inilah, arsip fotografi kolonial yang masih tersimpan dan dapat kita temui kini banyak yang berwujud album foto yang berjudul “Souvenir” (cendera mata), sebuah praktik yang umum dijumpai di Hindia Belanda kala itu—juga di India Inggris, Malaya Inggris, dan Indocina Prancis. Pendatang bangsa Eropa dapat membayar juru foto untuk mengambil gambar mereka, atau membeli stok foto (pemandangan alam atau pemandangan kota) yang ditawarkan oleh juru foto di studio mereka. Foto-foto yang dibuat di tanah jajahan itu kemudian dikirim balik ke negara asal para pembelinya sebagai sebuah cendera mata. Lumrah pula kita jumpai foto yang sama muncul di dalam beberapa album yang berbeda, yang dibuat oleh studio-studio yang berbeda, lantaran gambar yang populer dan disukai konsumen cenderung ditiru atau bahkan dijiplak.

Di samping untuk menekankan relasi kuasa penjajah atas tanah jajahannya dan kebutuhan citra diri masyarakat yang mulai modern, kamera sebagai alat perekam gambar pada masa kolonial digunakan pula untuk sejumlah penjelajahan ilmiah. Pendatang Eropa membuat sejumlah dokumentasi segi-segi kehidupan masyarakat lokal, dengan pendekatan ilmu pasti dan ilmu sosial, seperti geografi dan antropologi, termasuk antropometri (ilmu ukur tubuh manusia). Pendokumentasian ini turut membentuk stereotipe yang cenderung rasis dan menunjang tatapan kolonial (colonial gaze), yang melihat komunitas setempat sebagai Liyan (the Other) yang lebih rendah derajatnya. Representasi komunitas lokal non-Eropa secara visual sebagai objek penelitian seperti ini membuat bangsa Eropa seakan-akan lebih unggul secara kebudayaan dan keilmuan.

Petugas kesehatan dan antropolog fisik Dr. H.J.T. Bijlmer sedang mengukur tubuh seorang kuli angkut Dayak. Fotografer tidak diketahui, 1920.

Selain juru foto dan ilmuwan, medium fotografi pada masa kolonial dipakai pula oleh golongan diplomat dan agamawan. Fotografi pada mulanya amat teknis dan mahal, sehingga hanya kelompok masyarakat terpelajar dan berduit yang dapat menikmatinya sebagai semacam kemewahan. Diplomat Eropa berkeliling dunia membawa daguerreotype dan kerap menghasilkan foto-foto awal dari daerah jajahan. Sementara itu, golongan misionaris Katolik juga menggunakan medium fotografi untuk memperkenalkan Yesus kepada masyarakat pribumi di daerah jajahan. Misi penyebaran agama merupakan satu dari tiga tujuan utama penjelajahan bangsa Eropa ke Dunia Baru (gold, glory, gospel). Maka tidak mengherankan, jika karya para misionaris tersebut, terutama dari Ordo Fransiskan, lantas berkembang menjadi salah satu arsip fotografi terbesar abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Sinterklas dikelilingi anak-anak di depan pohon Natal yang sudah dihias di balai Perusahaan Tambang Rejang Lebong di Lebong Donok, Bengkulu. Fotografer tidak diketahui, sekitar 1925–1932.

Meninggalkan masa penjajahan, bahkan memasuki abad ke-21 ini, bukan lantas berarti fotografi kolonial telah menjadi wacana sejarah masa lampau belaka. Inilah hal lain yang membuat pembacaan fotografi kolonial hanya lewat aspek pembabakan waktu bisa jadi meleset: Tatapan kolonial yang banyak tertuang di dalam foto-foto masa penjajahan masih kita warisi dan subur lestari hingga kini. Masih sering kita jumpai suatu kelompok masyarakat dicitrakan menurut cara pandang orang kulit putih (bekas penjajah), yang sarat dengan praktik-praktik objektifikasi dan eksotisasi. Rejim kolonial nyatanya tidak hanya bergantung pada kekuatan militer dan ekonomi untuk melanggengkan kekuasaannya, namun juga pada dominasi atas bentuk-bentuk representasi kebudayaan. Bagaimana bangsa Eropa memandang dan merepresentasikan kenyataan kolonial sering menjadikan perbedaan sosial kian kaku dan memperburuk hierarki ras dan gender.

Mewarisi sejarah kolonialisme membuat kita mesti lebih berhati-hati di dalam melayangkan pandangan, agar tidak terus mewarisi tatapan kolonial tersebut. Namun demikian, sebagai generasi pascakolonial, kita pun perlu memerdekakan cara berpikir kita, agar tidak melulu mencurigai segala hal yang diwariskan sejarah kolonialisme itu sebagai sesuatu yang pasti buruk. Sejumlah pemikir telah mengkritisi pandangan pascakolonial, seperti hubungan Barat dan Timur yang seolah-olah harus selalu dilihat sebagai penjajah/penakluk dan jajahan/taklukan, atau kecenderungan yang menganggap semua nilai Pencerahan sebagai Eropa-sentris. Fotografi, juga jaringan kereta api, listrik, radio, atau telepon, adalah perkembangan teknologi yang kita dapatkan dari penjajah dan masih kita pakai hingga kini (apakah teknologi tersebut semata-mata alat untuk tujuan kolonial?). Tentu naif jadinya, jika pandangan menolak kolonialisme lalu disejajarkan dengan menolak perkembangan-perkembangan yang muncul bersamanya.

Sejarawan fotografi Dr. Alexander Supartono dari Edinburgh Napier University memimpin diskusi kelompok terfokus mengenai praktik fotografi kolonial di dalam historiografi sejarah fotografi Indonesia di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Bantul. Foto oleh Budi N.D. Dharmawan, 10 Desember 2018.

Epilog

Kita tidak bisa memungkiri sejarah, bahwa fotografi masuk ke Hindia Belanda melalui jalur kolonialisme. Sejarah fotografi sendiri selama ini amat Eropa- dan Amerika-sentris. Kita mengenal nama-nama seperti Joseph Nicéphore Niépce sebagai orang pertama yang membuat sebuah rekaman fotografis yang disebut heliograf pada 1826 di Prancis, Louis-Jacques-Mandé Daguerre sebagai Bapak Fotografi yang memperkenalkan daguerreotype pada 1839 di Prancis, William Henry Fox Talbot yang menciptakan calotype pada 1839 di Inggris, atau Sir John Frederick William Herschel sebagai penemu istilah ‘fotografi’ pada 1839 di Inggris (dia pula yang memperkenalkan istilah ‘negatif’ dan ‘positif’ di dalam metode cetak fotografi, selain juga menemukan cyanotype pada 1842).

Luput dari catatan arus utama itu, bahwa seorang penemu lain berkebangsaan Prancis yang tinggal di Campinas, Brasil, bernama Antoine Hercule Romuald (Hércules) Florence telah menuliskan kata ‘photographie’ di buku catatannya pada 1832, tujuh tahun sebelum Herschel, dilengkapi bagan kamera yang mirip dengan kamera “perangkap tikus” yang nantinya dipopulerkan Talbot. Pada 1829, Florence bahkan telah menggunakan teknik cetak semacam fotogram di dalam memproduksi label untuk perusahaan obat milik kawannya di Sao Paulo.

Luput pula dari narasi besar itu, tentu saja, sejarah-sejarah fotografi lokal. Sejarawan fotografi Indonesia, seperti Yudhi Soerjoatmodjo dan Alexander Supartono, di dalam forum-forum umum, menyampaikan dorongan agar khalayak fotografi Indonesia menggali dan mempelajari sejarah dan perkembangan fotografi lokal. Hampir tidak mungkin, misalnya, bahwa bumiputra yang pernah berkarya dengan kamera di Nusantara hingga dasawarsa 1940-an hanya Kassian Céphas dan putranya Sem Céphas di Yogyakarta, A. Mohammad di Batavia (sekarang Jakarta), Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon, serta enam orang yang kemudian pada 1946 mendirikan kantor berita foto pertama Indonesia, Indonesian Press Photo Service (IPPHOS): Alexius Impurung Mendur, Frans Sumarto Mendur, Alex Mamusung, Frans “Nyong” Umbas, Justus Umbas, dan Oscar Ganda. Pastilah ada nama-nama lain yang masih menunggu untuk kita temukan kembali, sejak kamera dan fotografi dibawa masuk ke Hindia Belanda pada 1841 hingga sekarang.

--

--