Gue dan Jinan sekarang cuman saling diam, sibuk dengan urusan masing-masing. Jinan ini teman yang paling akrab sama gue di seluruh kegiatan luar akademik. “Ini TM buat perlengkapan stage tiga hari lagi kan?” Jinan membuka topik lebih dulu. Memang kita lagi disibukan sama event tahunan yang akan diselenggarakan dua bulan lagi.
“Iya. Follow up, Ji.”
“Aman.”
Gue dan Jinan kembali diam. Dia sibuk dengan laptopnya, begitupun gue. “Geya bukannya ikut BEM juga Le?” Jinan menutup laptopnya setelah hampir satu jam menatap layar persegi itu. “Iya, tapi mau keluar anaknya.”
“Bisa?” Gue cuman menggeleng sambil meneguk segelas ice americano. “Makanya kabur dia. Gak boleh sih harusnya, tapi gimana lagi.” Jinan mengangguk lalu mengambil risol danusan yang dia bawa.
“Gue udah lama gak liat dia. Kemana dah?”
“Ada. Jadi mahasiswi kupu-kupu dia sekarang. Balik terus.”
Gue dan Jinan terus mengobrol dengan berbagai topik. Mulai dari yang serius, nyeleneh, sampe hal yang gak perlu diomongin. Jinan orangnya banyak omong, jadi gue gak perlu repot mikir topik pembicaraan karena dia yang bakal buat topik pembicaraannya.
“Permisi, satu hazelnut latte ya?” Gue dan Jinan sama-sama melongo saat seorang pelayan menaruh satu gelas minuman dingin di meja. Gue dan Jinan sama-sama enggak merasa memesan minuman itu. Kan gak lucu kalau ternyata ada secret admirernya Jinan yang memesenin minuman.
“Ji, lo pesen?”
“Enggak. Gue gak suka hazelnut. Lo kali?”
“Mana ada anjir. Punya siapa ini?”
Gue dan Jinan masih sibuk mikirin minuman ini milik siapa. Gue bersumpah bukan gue yang memesan, begitupun Jinan. “Balikin gih, Ji.”
“Lo gih, gue males.” Anjing emang Jinan. “Gue bayarin parkir deh Le.” Bajingan, parkir doang gue juga bisa. “Elah. Lo yang nyetir baliknya.”
“Iya, gih sana.”
Gue mengambil minuman dingin itu dan membawanya ke arah kasir. Di sana ada perempuan dengan rambut panjang agak kecoklatan sedang berbicara dengan seorang pekerja wanita disana. “Sebentar ya Kak, kami tanyakan ke rekan saya yang mengantar ya.”
Gue mendengar sedikit percakapan antara mereka. “Ada yang bisa saya bantu Kak?” Pekerja tersebut bertanya ke arah gue sebelum pergi.
“Oh ini Mbak, saya gak pesan ini tapi diantar ke meja saya. Kalau gak salah hazelnut latte.”
“Mungkin ini punya saya Mbak?” Perempuan di samping gue ikut nimbrung ke percakapan gue dan Mbak kasir.
“Oh iya Kak. Ini pesanannya, maaf ya Kak udah nunggu lama. Mohon maaf ya Kak.”
Gue enggak tau ada apa diantara mereka ini. Gue memberikan segelas hazelnut latte ke perempuan di hadapan gue.
“Iya gapapa Mbak, makasih ya Mas.” Dia tersenyum tulus. Gue cuman mengangguk sebagai jawaban setelahnya melangkahkan kaki lebih dulu kembali ke meja gue dan Jinan.
“Udah?”
“Udah.” Gue kembali meneguk minuman gue sampai habis. Gue merasa gak asing melihat perempuan tadi. Gue kayaknya pernah liat dia, tapi gak tau dimana dan kapan.
“Jinan? Beneran Jinan gak sih?” Jinan dan gue langsung melihat ke sumber suara. Dia perempuan tadi. Perempuan yang minumannya salah meja.
“Anjir, Ve? Veana?” Jinan langsung bangkit dari duduknya dan memeluk perempuan itu. Hanya pelukan sapaan, bukan pelukan erat. “Kemana aja Ji? Gue udah lama gak liat lo.” Suaranya lembut. Lembut banget, kayak tahu sutra yang kalau dimakan bisa langsung ditelen.
“Ada, gak kemana-mana lagian. Kita satu kampus kan? Sibuk banget ya lo?”
“Iya. Lo kali yang sibuk, gue mah gak sibuk apa-apa.”
“Habis dari Thailand kan lo kemaren lomba?”
“Tau aja anjir. Lo juga sibuk jualan risol kan?”
“Tai, jelek banget dah yang lo tau Ve.”
Gue cuman diam memerhatikan dua orang ini mengobrol. Lupa kali ya ada gue? Gak peduli juga sih. Sama Jinannya gak peduli, sama lawan bicaranya sih beberapa kali gue lirik.
“Eh, Mas yang tadi ya?” Gue cuman tersenyum dan mengangguk singkat. “Yaudah lanjut deh lo berdua, gue ke tempat gue dulu.”
“Gih, Ve. Awas kesandung.”
“Aman, udah gak pernah kesandung gue, terakhir pas ospek. Udah ah, bye Ji. Mari Mas.” Dia tersenyum sampai deretan giginya terlihat.
Gue inget sekarang. Gue inget siapa dia. Dia, perempuan yang gue tolong saat masa orientasi kampus. Perempuan yang enggak gue tau namanya meski saat itu gue dan dia lumayan banyak mengobrol. Dia perempuan yang gue beri hansaplast bergambar hewan untuk menutupi luka di lututnya karena kecerobohannya, tersandung kakinya sendiri.