Pisau dua arah, dan jiwa yang sudah mati.

Hao.
2 min readMar 11, 2023

--

This work shows the death of Ophelia, a scene from Shakespeare’s play Hamlet.

Sebuah pisau dua arah.
Mungkin dia hanyalah sebuah benda, tapi presensinya tidak pernah disambut dengan baik.
Cara kerjanya sederhana, begitu pisau itu muncul, engkau tidak dapat mengendalikannya.

Pisau itu awalnya satu arah, pada pemiliknya sendiri.
Namun dengan emosi ataupun faktor lain, tanpa disadari itu sudah dua arah, menusuk apapun yang ada didepannya.

Tiap jiwa pasti memiliki sebuah pisau dua arah,
ada beberapa yang menyembunyikannya, dan pisau itu akan menusuk sangat dalam begitu muncul.
dan ada beberapa juga yang tidak segan selalu menunjukkannya, membunuh banyak jiwa yang perlahan menjadi terasingkan.

Aku juga memiliki pisau dua arah,

aku sadar beberapa kali telah menusuk jiwa lainnya dengan itu.
Namun aku sadar akan dampaknya, jadi aku selalu menahan sisi lain dari pisau itu, menggenggamnya hingga darah bercucur, karena yang terpenting,
aku harap tidak ada jiwa yang terluka,
karena sikapku.

Tapi tulisan ini bukan tentang pisauku, bukan.

Aku pernah beberapa kali tertusuk pisau,
dan yang terkias dalam memori, selalu yang menyakitkan.

Pertama kali itu terjadi itu oleh seseorang yang kupercaya dalam hidupku.
Yang seharusnya menjadi sosok pahlawan di hidupku.

Yang seharusnya menyayangiku sebagaimana ia menyayangiku saat kecil.
Pisau itu menusuk dengan dalam,
rasanya sakit, begitu sakit, namun aku tetap hidup.
Bahkan bagian pisau itu masih tertanam jauh di dalam sana.

Yang kedua kali, oleh sesosok penyair yang pernah aku dambakan.
Seorang penyair jelita nan rapuh.

Ada kalanya aku tidak sanggup membaca semua lukannya dalam syairnya, aku meninggalkannya.
Namun aku salah.
Ia menusuk dirinya sendiri dengan pisau itu,
dan tentu saja
itu menjadi dua arah.

Rasanya begitu sakit,
aku masih mengingat malam itu,
malam dimana air mataku tidak berhenti bercucuran dengan nafas sesak.
Aku sempat mengira jiwa ku sudah mati hari itu.
Mungkin saja memang sudah mati, tiada yang tahu.

Namun ada suatu keajaiban, dimana magis itu bernama “harapan”.
Aku menggenggam itu selama berkelana, hingga sampailah disini.

Yang ketiga,
Seseorang yang mau menggenggam harapanku dengan erat,
namun memiliki rumah yang rapuh.

Ada kala saatnya pisau itu menusukku, atau aku menusuknya beberapa kali. Tetapi aku tetap menetap, karena ia memegang harapanku dengan erat. Karena kukira, memang begitu caranya bekerja.

Hingga itu terjadi.

Aku mungkin terbutakan harapan,

tidak menyadari jiwaku telah mati sebelumnya, tertusuk kembali.

Dan dua arah.
Aku mencoba menahan pisau yang mengarah ke arahnya,
aku selalu mencoba,
mungkin memang jiwaku yang sudah mati,
tidak becus mendampingi jiwa lainnya.

--

--