Sebelum Membunuh Harimau

dian nugraha ramdani
4 min readMay 20, 2023

--

Sewaktu SMA, teman-teman dan saya sering berkereta api ke pusat Kota Bandung untuk berkunjung ke pameran buku yang biasa diadakan di Gedung Landmark, di Jalan Braga.

Pameran buku biasanya diadakan setahun dua kali, sekali pameran buku umum, sekali pameran buku-buku Islam. Waktu itu memang kami tak banyak punya uang.

Uang sisa jatah jajan ditabungkan dan dengannya kami beroleh buku-buku yang harganya murah. SMA saya di pinggiran kabupaten, ya demikianlah kondisinya.

Jika iman sedang lemah, terkadang kami tergoda pula untuk mencuri satu atau dua buku puisi. Tetapi hal itu sangat jarang. Sekalipun terjadi, kami sudah mengajukan taubat atasnya.

Di luar gedung, yakni di area masuk gedung pameran buku, ada stan penerbit Yayasan Obor Indonesia (YOI). Novel karya Mochtar Lubis, sastrawan cum wartawan berjudul “Harimau! Harimau!” di antara yang kena diskon.

Saya berulang kali memegang buku itu, membaca jilid belakangnya, tapi sambil saya memegang saku. Waktu itu betul-betul tak bisa terbeli. Padahal, cerita di dalamnya muncul dalam soal Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Soal UN itu pertanyaannya tentang perwatakan dalam cerita. Di sana jelas disebutkan nama-nama seperti Wak Katok. Nama tokoh dalam novel itu yang kegagahan wataknya ternyata kamuflase dan runtuh dengan ketakutannya sendiri akan harimau.

Sewaktu saya masih tidak punya uang, saya membaca “Laut Biru Langit Biru” karya Ajip Rosidi yang merupakan bunga rampai sastra Indonesia dari rak buku anaknya Pak Ajip, Nundang Rundagi. Di dalamnya, ada cuplikan cerita “Harimau! Harimau!” di saat menegangkan.

Yakni, di saat Pak Balam, tokoh dalam cerita itu berak membelakangi api. Saat berak itulah dia diterkam harimau, diseret hingga jauh, hingga terluka parah.

Di kemudian hari, saya punya uang dan punya akun Tokopedia. Saya belilah buku itu di toko daring milik sebuah toko nyata berbasis di Palasari, Kota Bandung.

Buku “Harimau! Harimau!” datang juga. Saya langsung membacanya dengan lahap. Kurang dari 500 halaman, sambil mengerjakan berbagai kegiatan, membacanya menghabiskan waktu empat hari.

Cerita yang padat! Sepanjang membaca, saya malah berpikiran, mengapa Mochtar Lubis bisa sekeren itu. Cerita tentang harimau membalas dendam pernah saya baca juga dalam bentuk cerpen di Kompas tahun 2020-an, “Macan” karya Seno Gumira Ajidarma. Membacanya saya jadi ikutan mengendap-endap seperti macan mengintai.

Mochtar Lubis menulis “Harimau! Harimau!” ketika berada di dalam penjara di Madiun. Buku itu kemudian terbit pada 1975, dan sering diasosiasikan sebagai komentar atas kepemimpinan Presiden RI kala itu.

Novel itu menggugat peran Wak Katok di tengah enam pencari damar lainnya yang telah berhari-hari bekerja di hutan dan ketika hendak pulang ke kampung, harimau mengejarnya.

Persoalannya sepele. Harimau yang lapar mengincar kijang. Ketika subuh hari harimau seukuran enam langkah orang dewasa itu akan menerkam kijang, senapan para pencari damar lebih dulu merobohkan buruan itu.

Kijang dikuliti. Dagingnya disimpan di keranjang untuk bekal selama perjalanan pulang ke kampung. Namun, harimau yang lapar tak tinggal diam. Dia mengendus harum darah dan daging kijang di dalam keranjang itu dan itu awal dari bahaya.

Wak Katok sendiri adalah tokoh kampung. Dia adalah dukun dengan masa lalu yang mengerikan, lebih tepatnya menjijikkan. Dia membunuh temannya sendiri, berzina, bahkan istri Wak Hitam yang tinggal di ladang huma di tengah hutan, yang dia anggap lebih sakti, diembatnya juga di balik semak.

Kegagahan Wak Katok runtuh ketika semua ketakutan berkumpul pada dirinya. Satu persatu masa lalunya yang dia tutup rapat terbongkar karena Pak Balam yang diterkam Harimau dan kondisinya sakit parah mengigau tentangnya. Pak Balam meminta semuanya bertaubat dan menceritakan dosa-dosanya, terutama Wak Katok.

Kesaktiannya sebagai dukun juga tak berguna. Ramuan-ramuan obat untuk mengatasi korban yang terus berjatuhan akibat serangan harimau, tak mempan sama sekali. Jampi-jampi tak ada gunanya.

Wak Katok sampai pada titik takutnya yang paling puncak. Dia jatuhkan senapan tua miliknya. Dia meringkuk di dalam gubuk darurat di tengah hutan. Kepercayaan orang-orang yang bersamanya ketika itu juga hanyut bersama aliran sungai di dekat mereka.

Kini, Wak Katok menjadi gila. Dia ambil lagi senapan itu dan mengancam membunuh orang-orang yang masih tersisa jika tak mau menuruti kemauannya. Dia terlalu malu masa lalunya terbongkar dan apa yang akan dikatakan teman-temannya itu kepada orang di kampung. Dia akan kehilangan pamor.

Ketegangan ini menimbulkan satu korban. Peluru dari senapan itu menembus dada Pak Haji ketika tiga orang akan melumpuhkan Wak Katok. Pak Haji adalah seorang yang tidak banyak omong dan tidak ambil pusing dengan kehidupan sosial.

Senapan telah dikuasai Buyung, pemuda yang juga mencicipi Siti Rubiyah, istri Wak Hitam. Dia pembidik terbaik di kampungnya, di Desa Air Jernih.

Photo by Kartik Iyer on Unsplash

Buyung dan Sanip kemudian mengikat Wak Katok dan mengumpankannya kepada harimau. Buyung bisa saja membiarkan harimau menerkam Wak Katok terlebih dahulu sebelum akhirnya menembak binatang buas itu, tetapi dia tidak melakukannya. Biar nanti mantri polisi yang mengurusnya, memberi hukuman kepada Wak Katok.

Saat membidik dari balik pohon, sebuah kalimat dia ingat: “Sebelum membunuh harimau, bunuhlah harimau di dalam dirimu”.

--

--