Pilihan —

Channovia
4 min readJun 10, 2022

--

Jean masih termenung untuk menentukan pilihannya. Di bawah kesadarannya yang sudah mulai habis ia pun tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangkan antara hidup dan mati. Ia masih terjebak bersama tiga orang yang sangat ia sayangi yaitu ayah, ibu, dan juga kakaknya. Jean tidak sadar jika itu hanyalah tipuan yang diciptakan oleh otaknya sendiri, tipuan yang mungkin semakin mendekatkannya pada kematian. Jean tidak punya pilihan lain, ia akan bertahan jika Gevan datang kesisinya, mengelus tangannya yang membeku, juga mengakuinya sebagai anaknya. Namun sudah berhari — hari ayahnya itu tidak kunjung datang. Jean semakin mempertanyakan kehadirannya di dunia.

“Apa masih ada orang yang menginginkanku?” Pikirnya.

Selama 5 hari itu, Jean hanya memberikan respon dengan air mata. Suster juga beberapa kali mengusap air matanya. Jean sedih, kenapa tidak ada yang datang? Kenapa ia tidak mendengar suara ayahnya? Kenapa ia tidak mendengar suara keenam saudaranya? Apa mereka benar — benar marah karena sikapnya akhir — akhir ini? Ada banyak hal yang membebani pikirannya sehingga jantungnya melemah beberapa kali.

Tepat di hari ketujuh, Jean sudah menggengam tangan ayah dan ibunya. Ia semakin yakin jika kembali hidup bukanlah pilihan yang benar. Namun tiba — tiba ada sentuhan pada tangannya.

“Jean…ini ayah, Nak.” Suara itu masuk cukup lambat pada telinga Jean. Namun Jean benar — benar mendengarnya, itu adalah ayahnya, Gevan.

Entah ada keajaiban darimana namun Jean benar — benar mendengar semua ucapan ayahnya. Hatinya terasa pilu namun air mata itu tak lagi keluar. Ia sudah mengering karena Jean menangis selama 7 hari berturut — turut.

Jean sedih ketika tangannya basah karena tetesan air mata ayahnya.

Jean sedih ketika ayahnya mengingat pertemuan pertamanya.

Jean sedih ketika ayahnya mengingat permainan yang sering mereka mainkan.

Jean sedih ketika tahu jika Helma dan Jale menangis karenanya.

Jean sedih ketika ayahnya benar — benar mengakuinya sebagai anak.

Jean sedih ketika ayahnya mengecup keningnya untuk pertama kali.

Jean sedih ketika ayahnya pergi dari ruangannya.

“Ayah, Jean mau ikut sama ayah.” Mungkin itu kata yang ingin ia ucapkan. Namun sayang, badan dan mulutnya benar — benar membeku.

3 jam sebelum pelepasan alat, Gevan hanya melihat anaknya yang terkapar lemah. Padahal di dalam sana, Jean berusaha keras untuk sekedar menggerakan jarinya.
“Ayah, aku masih disini. Aku masih hidup.”

Selama 3 jam itu Jean benar — benar berusaha untuk keluar dari halusinasinya. Berusaha untuk tidak terkecoh dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. Waktunya tinggal 15 menit lagi, Jean pun menyerah. Ia membiarkan tubuhnya mati rasa sampai alat itu di cabut.

Jika Jean bisa, Jean ingin menangis sekeras — kerasnya. Jika ia bisa, ia ingin memukuli seluruh tubuhnya. Ia marah, juga kesal karena ternyata ia kalah melawan dirinya sendiri.

Beberapa detik kemudian Jean sayup — sayup mendengar suara yang melintasi kepalanya.

Jean, ibu tau pasti tenaga kamu banyak. Coba kamu buka dari sebelah kiri dan ibu dari sebelah kanan” Itu suara Abin ketika menyuruh Jean untuk membuka lift tempat Jian dan Helma terjebak.

Jean kembali ke masa itu, masa dimana Helma, Jian, dan Mahen hampir mati secara bersamaan. Jean kembali memikirkan dirinya, kenapa ia tidak bisa sehebat mereka? Kenapa saat itu ia bisa membuka pintu lift yang keras itu sementara saat ini bahkan ia tidak bisa menggerakan jarinya sedikitpun.

Suster sudah siap melepaskan ventilator dan infus yang terpasang pada Jean. Namun keajaiban tiba — tiba terjadi, jari jemari Jean bergerak perlahan. Detak jantungnya perlahan kembali normal.

“A…a…yah…” Kata itu keluar dari mulut seorang anak yang sudah koma selama 7 hari. Para tenaga medis pun dibuat terkejut oleh Jean.

“A…ayah…” Suara itu kini terdengar bersamaan dengan isakan. Air mata Jean keluar dari pelupuk matanya.

“Suster segera ambil alat yang lain, anak ini masih selamat. Beritahu ayahnya juga.” Dokter Zoe segera mengecek badan Jean, anak itu tidak berhenti menangis. Ajaib, detak jantungnya kembali seperti orang normal pada umumnya.

***

Setelah melewati perawatan serius selama 2 hari, Jean pun bisa dipindahkan ke ruang inap. Kini luka — luka di wajah Jean nampak dengan jelas. Kini di kakinya sudah terpasang gips sebagai pengobatan pergelangan kakinya yang patah akibat kecelakaan itu. Belum lagi luka — luka lain yang tertutup oleh baju yang ia pakai.

Gevan sudah berdiam diri di sebelah Jean. Ia terus memandang Jean yang masih terlelap dalam tidurnya. Kini anak itu benar — benar tidur karena lelah, bukan karena koma sehingga Gevan bisa bernapas lega. Ia menggengam tangan putranya lalu tersenyum tipis, ia bangga karena Jean ternyata benar — benar kuat.

Kelopak mata Jean perlahan bergetar, sepertinya Jean sudah siap untuk membuka matanya. Dan ya, Jean membuka matanya sempurna. Ia melihat langit — langit berwarna putih susu, ia juga merasakan sentuhan pada tangannya hingga ia pun melirik pelan. Di sana sudah ada ayahnya yang menatap dengan senyuman di bibirnya.

“Anak ayah hebat.” Itu kata pertama yang Jean dengar setelah sadar.

Gevan pun memeluk tubuh Jean yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit. Mata Jean kembali berkaca — kaca.
“Terima kasih sudah kembali ya, ayah bangga sama Jean. Ayah tau kalau Jean itu kuat, ayah sayang sama Jean. Maafin ayah ya…” Terdengar suara isakan dari mulut Gevan, hal itu membuat Jean semakin sedih. Bahkan air matanya kembali keluar.

“Ayah…aku — aku takut…” rengek Jean dengan suara yang masih parau.

“Gausah takut, ayah di sini. Ayah ga bakal ninggalin Jean.” Gevan mengusap rambut Jean.

“Maaf — maafin aku…”

“Jean ga salah, udah ya. Jean pasti kangen sama saudara Jean kan? 2 hari lagi kita pulang, Ya.”

--

--