Saya, Startup, dan Pertanian

Chantik Mega Fauziah Ali
4 min readJan 24, 2018

--

Saya pernah jadi mahasiswi pertanian. Kerjanya kalau ga di lab, ya di lapangan. Bukan lapangan dalam arti sebenarnya, tapi di luar ruang, lahan misalnya.

Masuk pertanian bukan niat saya di awal masuk perkuliahan. Gengsinya sih ingin masuk institut yang terkenal di Bandung; selain dekat dari rumah, institut itu juga jadi markas orang-orang pinter. Sayangnya saya ga sepinter itu buat masuk sana. Akhirnya random pilih jurusan yang insyaa allah saya keterima. Dan terdamparlah saya di Agroteknologi, Universitas Padjadjaran.

Sebagai anak yang suka banget matematika dibanding mata pelajaran lainnya, masuk Agroteknologi itu cukup jadi ujian. Ketika beberapa jurusan sejenis wajib belajar mata kuliah dasar kayak bahasa, matematika, dan fisika, Agroteknologi cuma punya bahasa dan PKN sebagai mata kuliah dasar. Hafalan.

Dulu selama sekolah saya cukup senang ikut praktikum, tapi mager kalo harus bikin laporan praktikum. Padahal praktikum paling cuma sekali dalam 2 bulan. Sedangkan di Agroteknologi setiap hari adalah hari praktikum. Setiap hari ada aja laporan yang harus dikerjain. Yaaah walaupun pada akhirnya jadi terbiasa dengan rutinitas seperti itu.

Tapi di Agroteknologi saya banyak belajar. Belajar ilmu pertanian, belajar persaudaraan. Saya masuk sebuah himpunan mahasiswa di tahun ke-2, dan himpunan itu jadi rumah buat saya berekspresi dan berkeluh kesah. Yang pada akhirnya menggiring saya untuk mau bekerja di sektor kebaikan. Ha? Apaan tuh?

Jadi seorang petani itu ga mudah. Makanya banyak yang bilang petani itu mulia. Gak cuma petani dalam arti beliau yang menumbuhkan padi dan tiap hari bolak-balik ke sawah, tapi bisa juga beliau yang berkebun dan beternak. Karena arti dari pertanian adalah pertanian secara umum.

Kenapa mulia? Soalnya, selain beliau menghidupi keluarganya dari hasil bertani, beliau juga menghidupi dunia. Gak kebayang kan kalau ga ada yang mau menanam tanaman, mau makan apa kita? Makan tuh instagram stories. Ups. Makanya suatu hari nanti saya ingin sekali punya lahan yang bisa memproduksi bahan pangan untuk keluarga saya dan orang-orang sekitar. Mulia bukan?

Dulu juga saya sangat menentang aksi pertambangan, walaupun cuma menentang dalam hati hehe. Makanya saya ga mau masuk jurusan pertambangan, ngapain kan kerjanya cuma merusak. Eh kemudian saya disadarkan. Ceritanya suatu hari saya berkunjung ke museum Geologi. Isianya semua tentang batu, fosil, minyak, dan hasil pertambangan lainnya.

Dan ternyata hampir semua barang yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil pertambangan. HP contohnya. Dari mana asal semua komponen HP kalo bukan dari hasil pertambangan. Gak bisa hidup modern dong kita? Makanya setelah itu saya ingin bekerja untuk merehabilitasi lahan-lahan bekas tambang. Tak apalah tetap ada aktivitas tambang, tapi saya harus memperbaiki kondisi alam akibat aktivitas itu. Mulia juga kan?

Sayangnya semua hal itu belum tercapai.

Lulus kuliah saya ikut Forum Indonesia Muda dan jadi punya keluarga baru se-Indonesia. Ini beneran se-Indonesia. Karena kalau kita mampir ke kota-kota di Indonesia selalu ada anak FIM-nya. Jadi ga takut terdampar hehe. Nah di FIM wawasan saya jadi terbuka. Wawasan tentang Indonesia secara umum, isu-isu yang sedang terjadi, dan jenis-jenis aktivitas dari semua peserta. Dari semuanya, saya baru mendengar istilah startup dan jadi familiar karena teman-teman dekat saya jadi penggiat startup saat itu.

Apa itu startup? Startup adalah perusahaan rintisan yang kebanyakan mengembangkan social enterprise. Intinya, semakin banyak keuntungan yang dihasilkan perusahaan, makin banyak juga orang yang terbantu. Tentunya sesuai dengan bidangnya.

Misalnya startup A fokus di perdagangan, orang-orang yang menerima imbasnya adalah pedagang kecil dan menengah yang terbantu, atau startup B fokus di pertanian, yang terbantu tentunya petani dan orang-orang di pedesaan. Mulia tujuannya. Itulah yang menjadi alasan saya jadi coba cari lagi berbagai hal tentang startup.

Saya ingin juga bantu orang. Dan akhirnya saya tergabung di salah satu startup pertanian yang berusaha membantu petani menjual langsung produknya ke konsumen untuk menambah pendapatan petani dan menurunkan harga di tingkat konsumen karena rantai pasoknya kami pangkas.

Kenapa ada kata berusaha segala? Karena ga mudah.

Ya, beneran ga mudah. Kita sebagai generasi modern, terbiasa dengan sesuatu yang instan. Sekarang ingin, besok bisa kejadian. Tapi berbeda dengan sektor pertanian. Visinya memang bagus, memajukan petani, meng-online-kan petani, dsb. Tapi petani dan pertanian bukan produk instan. Ekosistem mereka terbangun berabad-abad.

Manusia modern seperti kita mengintervensi ekosistem itu dengan segala macam teknologi dengan apa-apa yang bisa seolah bisa dilakukan semalam, instan. Bagusnya jika petani bergerak menuju kemajuan yang kita harapkan, tapi gimana kalau intervensi ini malah jadi mengacaukan runtutan sistem yang terjalin begitu erat selama berabad-abad itu?

Tujuan ini mulia, tapi butuh waktu. Umur startup-startup memang masih muda, jadi kalau belum berhasil membuat perubahan di petani bukan berarti ga berhasil, belum. Kalau petani hari ini memiliki karakter A-Z, itu hasil tempaan generasi petani entah zaman kapan. Dan kalau kita ingin menghasilkan petani yang Z-A, hasilnya ga akan kelihatan sekarang, mungkin di tahun-tahun mendatang. Karena petani yang kita sasar bukan cuma satu dua orang atau satu dua wilayah, tapi petani se-Indonesia.

Ini pure opini dari saya.

Semangat buat kita yang menggerakkan kebaikan. Ingat, buahnya baru bisa dipetik nanti ;)

--

--