Lahir Menjadi Pemimpin

Everyone has room to learn new skills and grow in leadership competency, no?

Kamila
4 min readDec 12, 2023
Photo by Jehyun Sung on Unsplash

He deserve it because he is born to be leader!” Seseorang menyatakan hal itu dengan telak tanpa seorang pun memprotes. “Dia dulu jadi manajer. Saat ini dia pun menjadi satu-satunya pilihan buat diajukan jadi pemimpin. Aren’t we all agree? Ya, karena dia itu sudah ditakdirkan menjadi pemimpin.”

Dia sudah ditakdirkan menjadi pemimpin. Dia lahir untuk menjadi pemimpin.

Di balik tubuh jangkung kawan, aku hanya bisa menelan ludah. Menelan kembali segala bentuk ketidaksetujuanku. Di satu sisi aku tidak sepakat dengan pernyataan itu, tetapi di sisi lain aku tak bisa terang-terangan membantahnya. Momen ini begitu meresahkan. Aku gelisah, bahkan hingga hari-hari dan bulan-bulan berikutnya.

Nyaris satu tahun berlalu. Frasa born to be leader masih saja bercokol di kepalaku semenjak rapat anggota pemilihan pimpinan organisasi kala itu. Hingga saat ini, aku masih sangat menolak frasa itu. Leaders are made, not born. Itulah yang ingin kupercayai.

Akan tetapi artikel-artikel yang kubaca menyatakan memanglah ada orang yang memiliki kapasitas seorang pemimpin sejak ia lahir. “Born leaders are people with an innate capacity to effectively manage and lead groups of people to achieve collective goals. Instead of learning to become an effective leader, they have the instinctive ability to inspire others and encourage them to follow their vision.” Untuk beberapa saat aku masih menolak menerima dan aku marah — entah marah pada siapa atau apa.

“Kamu tegas dalam bersikap,” kata seseorang yang kupanggil Ibu ketika ia membaca garis-garis takdirku. “Ini bagus. Ini kelebihanmu.”

Tawaku menguar. “Lebih ke nggak mau ngalah, Bu. It’s a bad thing.”

No, it’s not. Kalau kamu melihat ini sebagai kekurangan, ya, kamu tipe yang keras kepala. Namun, coba lihat ke hal positifnya. Ini adalah kelebihan kamu. Ketegasan itu bibit leadership. Kamu punya potensi menjadi pemimpin.”

Kupu-kupu seolah-olah sedang beterbangan di dadaku. Aku gembira. Aku senang mendengar pengakuan bahwa aku mampu. Namun, tak bertahan lama. Kepuasanku segera dipatahkan oleh ucapan Ibu kepada orang lain. “Kamu itu born to be leader, Mas. Ya, kan? Selama ini kamu sering diamanahi menjadi pemimpin, kan?”

Barangkali, saat itu mataku langsung mendelik tidak percaya, sinis, atau merasa terguncang. Lagi-lagi, born to be leader? Memangnya manusia lahir ceprot langsung bisa memimpin? Kan, jadi pemimpin itu tetap butuh pengalaman dan latihan seumur hidup?

Perbincangan komunitasku saat itu langsung terasa hambar. Aku ingin protes, tetapi lagi-lagi aku menelan semuanya. Aku mutung dan aku meluapkan kemarahan ke kawan dekatku melalui telepon ketika tiba di rumah.

“Sebenernya apa sih yang bikin kamu marah?” Ia bertanya setengah gemas karena kembali mendengar aku yang mempersoalkan born leader.

“Ya aku nggak terima! Apa sih kriteria biar dilabeli born to be leader? Toh, aku nggak lihat tuh dia pantes disebut good leader. Masa pemimpin klemar-klemer begitu? Minimal speaking-nya bagus, berwibawa, tegas — bisalah jadi representasi kekuatan sebuah organisasi. Lah ini, dua orang yang disebut born to be leader nggak begitu tuh!”

“Siapa emangnya?”

Aku diam. Selanjutnya, aku rasa dia tahu bahwa salah satunya ialah dia.

“Pemimpin itu harus bisa mendengarkan, bukan cuma yang bagus ngomong. Bukan yang saklek dengan satu pendapat, tapi mau mendengarkan pendapat yang lain. Berkompromi. Menurutku, pemimpin nggak harus yang bisa ngomong. Pemimpin juga nggak bisa jadi patokan representasi keunggulan organisasi. Pemimpin itu kerjanya di dalem, di internalnya, gimana dia bisa memadupadankan hal-hal di sana. Bukan yang harus show off dan pamer ini-itu lewat retorika. Pakai bahasa ndakik-ndakik, tapi hasilnya nol besar.”

Hening menguasai telepon.

“Sekarang kamu marah itu kenapa?”

Selanjutnya, aku tahu alasannya. Aku merasa tersinggung karena usahaku selama ini seakan-akan bisa dengan mudah dihapus oleh frasa born to be leader. Aku yang hampir tiap malam memikirkan terobosan-terobosan baru, meluangkan waktu untuk hadir di tiap kumpul-kumpul, dan aku yang merasa telah memberikan seluruh hidupku kepadanya — tapi aku kalah dengan orang yang disebut-sebut born leader. Saat itu aku rasa kerendahan diri langsung menguasaiku lagi hingga aku merasa dendam sekali dengan frasa itu.

Akan tetapi, barangkali, prasangkaku tak sepenuhnya benar. Barangkali usahaku masih kurang. Barangkali diam-diam orang lain lebih berkeras menyuguhkan ide-ide yang lebih baru, lebih inovatif, lebih menguntungkan organisasi. Barangkali orang itu telah memetakan sebuah revolusi yang membuka lebih banyak peluang untuk organisasi berkembang.

Barangkali memang aku perlu lebih banyak waktu untuk belajar. Ya, mengolah diri untuk bisa menjadi pemimpin yang baik di kemudian hari — setidak-tidaknya pemimpin untuk diriku sendiri.

Regardless of whether someone is a born leader, everyone has room to learn new skills and grow in leadership competency. You don’t need to wait around for someone with natural leadership skills to arrive — you can start training great leaders today.

(2023)

--

--