Jangan Terluka

chikincaratge
4 min readNov 7, 2023

--

From Against the World au.

cr: pinterest

Canggung, adalah hal yang dirasakan Nadia ketika dirinya duduk di kursi depan, bersebelahan dengan Joshua yang sedang menyetir. Berbeda dengan Dino dan adik Joshua, Elsa, yang justru lebih akrab di kursi belakang. Fakta bahwa keduanya sama-sama merupakan siswa SMA kelas 3 membuat pembicaraan mereka lebih selaras. Bahkan terlihat seperti dua orang yang sudah berteman lama.

Tidak ada percakapan yang terjadi antara Nadia dan Joshua, maka dari itu Nadia hanya memandang keluar jendela dan sesekali mengelus lengannya sendiri.

“Kamu mau pakai blazer saya? You look cold.”

Nadia memang hanya mengenakan dress berlengan pendek. Tangannya yang sedari tadi mengusap lengannya sendiri mengundang perhatian Joshua untuk melirik, hingga lelaki itu mengira Nadia sedang kedinginan.

No, thank you. Aku cuma iseng aja.”

Joshua mengangguk dan tak ada lagi perbincangan di antara mereka sampai keempatnya tiba di sebuah gedung besar yang menjadi tujuan mereka.

Sebuah hotel dengan ballroom yang sangat luas, disulap menjadi sebuah tempat resepsi berdekorasi mewah dan sudah dipenuhi tamu undangan. Mata Nadia berkeliling hingga menangkap sosok Papi diantara kelompok bapak-bapak yang semuanya memakai jas hitam, juga Mami diantara kelompok ibu-ibu yang semuanya memakai kebaya kembar berwarna pink pastel.

Ketika Nadia datang, prosesi pernikahan baru saja dimulai. Kalau dibilang ini merupakan pernikahan keluarga tentara, mungkin saja benar. Karena ayah dari mempelai wanita adalah seorang TNI berpangkat Letkol, yang juga teman dekat dari ayah Nadia dan ayah Joshua. Para tamu undangan yang ada di sini sebagian besar adalah kerabat tentara. Oh lihat, bahkan mempelai prianya juga mengenakan PDU TNI Angkatan Darat.

Prosesi pedang pora selesai. Sejak tadi Joshua dan Nadia terus bersama, bahkan Joshua berinisiatif mengambilkan beberapa makanan untuk Nadia yang memilih duduk. Dino dan Elsa sudah entah kemana sejak tamu undangan dipersilahkan untuk menyantap makanan yang disediakan. Mau hunting es krim, kata Dino beberapa saat lalu dan tidak kembali lagi.

Kakak, pulang duluan aja. Mami sama Papi masih lama karena mau berbincang dengan kolega dan ibu-ibu Persit (Mami)

Kak, gue ketemu temen SMP. Lo duluan aja, gue pulang sama mereka (Dino)

Nadia mendengus pelan ketika membaca pesan di ponselnya. Sebagian besar tamu undangan sudah meninggalkan acara, Nadia juga sudah lelah dan ingin pulang apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam lebih.

“Gimana, Nad?”

“Mami masih lama, Dino ketemu temennya jadi pergi duluan.”

Joshua menyodorkan ponselnya ke hadapan Nadia, memperlihatkan roomchat dengan sang adik. “Elsa juga udah pulang dijemput pacarnya. So I think it’s just both of us.”

“Emangnya gak apa-apa, Mas?”

“Apanya? Mau berdua atau ramai seperti tadi pun saya akan tetap antar kamu pulang kan?”

Benar. Nadia merasa bodoh menanyakan hal itu.

Keduanya masuk ke dalam elevator, hendak turun ke basement tempat mobil terparkir hingga Joshua menyadari Nadia berjalan terpincang-pincang.

“Kakinya sakit?”

“Iya. Lecet sedikit, Mas.” Joshua melirik ke arah kaki Nadia yang mengenakan heels berwarna perak. Dengan mata telanjang, Joshua melihat ada luka berdarah dan beberapa luka lecet memerah di sekitar jari-jari kakinya.

Would it be rude if I gave her a piggyback? Wouldn’t that too much?

But what if…

TING!

“Nadia, hold onto my arm.”

Pintu elevator terbuka, bersamaan dengan tangan Joshua yang menarik lembut pergelangan Nadia dan mengarahkan pada lengannya. Lagi-lagi sungkan, tapi sepertinya Nadia memang membutuhkan sebuah pegangan. Pun ia merasa Joshua hanya berbuat baik dan hanya berusaha menolong, jadi Nadia membiarkan dirinya dituntun sampai terduduk di kursi mobil milik lelaki itu.

“Kita ke apotek dulu.”

“Ngapain, Mas?”

“Kakimu.”

“Eh? Ini lecet doang.”

“Lecet sedikit gak masalah, Nadia. Tapi itu sampai berdarah, jadi kita obati aja ya? Supaya gak berbekas.”

Tak mau berdebat di tengah dirinya yang sedang lelah, Nadia mengalah dan menurut saja. Toh dalam benaknya ia juga merasa luka tersebut lebih parah dari lecet-akibat-sepatu yang sering ia alami sebelumnya.

Nadia memperhatikan dari dalam mobil, betapa Joshua terlihat cukup serius berbicara dengan wanita ber-coat putih di apotek yang ia perkiraan adalah seorang apoteker.

Aneh, pikirnya. Luka sekecil ini yang pasti akan sembuh tanpa diobati pun malah membuat Joshua terlihat penuh pertimbangan dalam membeli obat-obatan.

Tak lama, lelaki itu kembali dan membuka pintu mobil sisi penumpang, sisi Nadia. Lalu ia berlutut dengan satu kaki dan menarik lembut kaki sang puan yang telah ia mintakan izin terlebih dahulu.

“High heels kamu baru?” Nadia mengangguk. “Sepatunya masih kaku, Nad.”

Joshua melepas sepatu berhak tinggi itu dengan hati-hati. Tangan kanannya cekatan membuka botol air mineral sedangkan tangan yang lain menumpu telapak kaki Nadia. Air itu mengalir perlahan di permukaan kulit, membasuh seluruh luka kecil yang ternyata terasa cukup perih hingga tanpa sadar Nadia sedikit meringis kesakitan.

“Boleh tolong ambilkan tisu di dashboard?”

Nadia mengoper kotak tisu pada Joshua yang masih berlutut di bawah sana, tangannya masih menopang kaki Nadia yang terluka. Dengan telaten Joshua mengeringkan kulit kaki itu dan mengoleskan antiseptik yang ia bubuhkan di kapas pada luka-luka Nadia. Satu luka yang paling besar, yang berdarah, Joshua tutup dengan plester anti air.

“Ini saya tutup lukanya, tapi nanti kalau udah mau tidur dibuka aja ya supaya lukanya cepat kering. Semprot antiseptik yang ini sehari dua kali. Kalau lukanya udah mulai kering, pakai yang gel ini aja supaya gak ada bekasnya.”

“Makasih, Mas Joshua.”

Joshua tersenyum, “No worries. Besok lagi kalau ada luka, ikutin kata saya tadi, pasti gak akan berbekas.”

Nadia ikut tersenyum.

But Nad…”

“Ya?”

Just…”

Joshua memandang Nadia, ucapannya terjeda.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

“Kalau bisa jangan sampai terluka lagi.”

--

--