Kemarahan Omar.

icedchocomilk
3 min readAug 7, 2023

--

Diselimuti oleh amarah, Omar pun datang dengan membawa dua buah koper besar yang ada di tangannya. Ia kini berdiri, menatap seseorang yang tengah menuruni anak-anak tangga di depannya dengan tatapan tak suka melihat kedatangan Omar saat ini.

Teresa yang melihat kedatangan putranya pun berlari, menghampiri putranya yang sudah tak ia lihat selama beberapa hari ke belakang. Tubuhnya memeluk putra satu-satunya, menanyakan alasan kedatangannya pada pagi ini.

Tapi Omar justru tak menjawab, membantu sang ibu agar duduk di atas kursi dan membiarkan dirinya berbicara dengan Daud saat ini.

“Kamu berani pulang, Mar? Nantangin kakek kamu, ya?” ucap Daud yang sudah berdiri di depan Omar. “Kerjaan kamu belum selesai, tapi kamu berani pulang kesini di jam kerjamu ini?”

“Kakek yang buat aku begini.” tegas Omar yang membuat Teresa terkejut karena ia sama sekali tak tahu akan kedatangan putranya saat ini. “Kakek ngomongin hal yang nyakitin ke Aliyah kan? Kakek bawa-bawa latar belakang pendidikan, ekonomi keluarganya, dan bahkan kakek sengaja taruh aku di Bali agar aku enggak bertemu dengan Aliyah kan?”

Teresa pun bangkit dari kursinya, menarik lengan Omar seolah menanyakan maksud dari ucapan putranya saat ini.

Omar pun mengadu, menceritakan kelakuan Daud pada kemarin sore hingga membuat Aliyah memilih untuk tak bekerja pada hari ini. Teresa yang mendengar cerita putranya menatap sang ayah, meminta penjelasan agar dirinya tak salah dengan apa yang di ucapkan oleh putranya saat ini.

“Ma, kakek nyakitin hati aku kalau begini, ma. Kakek mau menjodohkan aku, sedangkan aku sendiri sudah punya pilihan hidup atas perasaanku, ma.” ujar Omar menatap Teresa dengan matanya yang menahan air mata.

“Kamu beruntung saya atur, Mar. Punya keturunan yang bagus, punya ekonomi yang stabil, dan kamu hanya perlu bersyukur menikmati pemberian saya.” Daud menatap wajah cucunya yang kini tengah menahan amarahnya. “Kalau kamu menikah dengan orang yang tidak setara, kamu sendiri yang enggak bisa mengimbangi dia.”

Omar yang mendengar ucapan Daud pun berdecih, mengangkat bibirnya karena ia tahu kalimat yang ditujukan oleh Daud saat ini.

“Maksud kakek yang seperti papa? Papaku memang kenapa, kek? Memang papaku pernah ngelakuin hal jahat apa sampai kakek benci begini? Bahkan papa sudah berusaha baik di depan kakek, ambil program apapun meskipun kakek enggak pernah melihat proses yang papaku lalui.”

Daud terdiam, membuat Omar semakin gencar untuk berbicara karena ia benar-benar tak terima dengan orang-orang yang disakiti oleh Daud.

“Aliyah keluarganya bukan orang penting? Kek, bahkan ketika aku disana, orangtuanya selalu kasih makanan apapun ke aku, prioritaskan makanan kesukaan aku dibandingkan dengan kesukaan anak-anaknya.” air mata Omar mengalir, merasa perih mengingat kebaikan orangtua Aliyah kepadanya. “Bahkan aku sampai tanya kenapa mereka melakukan hal ini. Dan jawaban mereka apa? Omar di rumah diperlakukan baik sama orangtuanya dari mulai mandi sampai tempat tinggal. Masa kami cuma memberikan makanan yang enak aja enggak bisa si? Padahal Omar sudah baik ke anak kami.”

Teresa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh putranya. Ia benar-benar merasa bersyukur karena kedua orangtua Aliyah teramat memperhatikan putra semata wayangnya selama ini.

“Kakek kalau mau taruh aku di Bali, sedangkan Aliyah di Jakarta, aku lebih memilih untuk berhenti bekerja di tempat itu.” putus Omar yang menarik koper miliknya dan menjauh dari pandangan Teresa saat ini.

Kaki Omar melangkah keluar dari rumah, meletakkan kembali koper-kopernya ke dalam mobil, dan mencari tempat tinggal sementara untuk dirinya sendiri saat ini.

--

--