Tag: R-18. Lime. Established relationship. Agak OOC. Anthropomorfic, Canon Divergence, Weather/Season, POV 1 Pelaku Sampingan.
Disclaimer: Tokoh “aku” dan Federico Giallo alias Executor adalah milik Hypergryph. Yoshina adalah tokoh orisinal milik penulis. Tidak ada keuntungan komersial yang diperoleh atas karya ini.
Dipersembahkan untuk event Paint Your Dream! 2. #PYDyumefic2
Waktu berjalan lambat ketika ruangan hanya diisi oleh penghuni yang pendiam. Wanita yang menjadi penghuni lain di dalam rumah ini lebih sering tidak bersuara, sama seperti si pemilik rumah. Dia hanya akan banyak berbicara setelah pemilikku pulang. Kurasa wanita itu bernama Yoshina, meski terkadang pemilikku masih memanggilnya Doctor ketika berada di tempat kerja mereka. Aku sudah sering dibawa ke mana-mana oleh pemilikku, tetapi manusia seperti Yoshina ini jarang bisa ditemukan, karena pria itu merasa nyaman dengan kehadirannya. Pemilikku lebih sering menyebut nama wanita itu daripada namanya sendiri. Di samping itu, Yoshina dulunya adalah salah satu atasannya di tempat bernama Rhodes Island, dan sekarang sepertinya status itu masih berlaku di antara mereka—dan juga satu status lainnya.
Yoshina sepertinya sedang tertidur. Kedua tangannya memelukku erat. Dia paling senang memainkanku apalagi saat pemilikku sedang mengenakanku. Ah, kalian bertanya siapa nama pemilikku? Namanya Federico. Dari apa yang sering kudengar dari mulutnya sendiri, pemilikku adalah seorang Sankta yang bekerja sebagai eksekutor di sebuah tempat bernama Laterano. Aku diciptakan oleh orang-orang yang berasal dari jajaran yang sama dengannya. Namun, segera setelah aku lahir ke dunia ini, aku langsung diserahkan kepada Federico, sehingga aku sama sekali tidak kenal dengan para penciptaku. Walau demikian, aku sempat mendengar, bahwa kata mereka, pria itu cocok denganku. Warna merah yang kupunya serasi dengannya.
Sama seperti yang dikatakan Yoshina. Dia senang melihat Federico mengenakanku. Diakuinya, aku membuat penampilan pria itu menjadi lebih berwarna.
Tempat tidur bergetar, lalu Yoshina mengerang. Dinilai dari gerakannya, dia menggeliat. Itu sudah menjadi kebiasaannya ketika baru tersadar dari mimpi. Akhirnya bangun juga dia, meski aku tidak tahu apakah dia bangun tepat pada pukul sembilan pagi seperti yang diminta Federico tadi malam.
“Jam sepuluh.” Itu suara Yoshina, yang sepertinya berbicara dengan dirinya sendiri. Ah, dia bangun terlambat. Walau demikian, seingatku Federico tidak pernah benar-benar marah ketika permintaannya diabaikan wanita itu dan dia paling hanya akan memaklumi—sepertinya itu kata yang tepat untuk menjelaskan responsnya yang diam saja saat mendapati wanita itu masih bergelung di dalam selimut di saat dia sendiri sudah berpakaian lengkap. Lalu, terdengar suara gesekan kertas sebelum dia melanjutkan, “Saya pergi ke Basilika sebentar …. Oh, okelah, kalau begitu, aku tidur lagi, deh ….”
Dia meraba-raba tempat tidur sebelum meraihku. Kedua tangannya yang kecil membawaku ke wajahnya. Dia menghirup. “Hmhmm, sepertinya aku bakal pakai pewangi itu lagi nanti. Aku suka aromanya.”
Selama beberapa menit, dia bermain-main dan membalutkan aku pada badannya. Yoshina tidak berbicara apa-apa lagi, tampaknya menikmati ketenangan yang sekarang mengisi kamar, sementara rintik hujan terdengar dari luar. Ini adalah suasana pagi yang amat tenteram. Kurasa hari ini akhir pekan, karena mereka tidak sesantai ini di hari kerja. Aku biasanya dipakai setiap Kamis sebelum Federico membeli rumah ini, yang nantinya ditempatinya bersama Yoshina, karena sejak saat itu aku dikenakannya hampir setiap hari.
Mereka tidak banyak berbicara soal perasaan masing-masing, setidaknya saat aku ada di sekitar mereka. Namun, karena mereka tinggal bersama, mereka pasti punya hubungan tertentu, ‘kan?
Tidak lama setelahnya, terdengar suara pintu yang dibuka, disusul gumam dan keheningan sesaat.
“Tadi ada urusan?” tanya Yoshina, sedangkan sekarang aku ada di atas tempat tidur lagi.
“Tidak apa-apa. Saya hanya diminta mengecek suatu dokumen.” Pemilikku, Federico, menjawab. Rupanya, yang membuka pintu tadi adalah Federico. Tidak cukup mudah membedakan suara mereka di dalam kerumunan orang banyak, karena Federico bersuara berat dan nyaring, sedangkan Yoshina juga demikian. Meski begitu, suara feminin wanita itu akan keluar setiap kali dia berbicara serius berdua saja dengan pemilikku.
Selain daripada itu, Yoshina adalah individu yang senang bertanya, apalagi tentang Federico. Terbukti, kini dia bertanya apakah pria itu kehujanan selama di perjalanan, dan dijawab sedikit kehujanan. Dia kemudian bertanya lagi apakah Federico tadi sempat makan, dan dijawab belum, karena dia menunggu Yoshina bangun.
Pertanyaan berikutnya yang dilontarkan adalah: “Hari ini kita jadi pergi?”
“Di luar hujan.”
“Berarti tidak jadi?”
Pertanyaan itu dijawab dengan guncangan kecil lainnya di tempat tidur. Bisa kurasakan satu tangan menyusuri badan yang kubalut sekarang.
“Aku sejujurnya lebih suka kita hari ini di rumah aja, sih,” lanjut Yoshina.
“Di luar hujan. Kita tidak akan bisa melihat apa-apa di taman pada cuaca seperti ini,” jelas Federico, kali ini terdengar sangat dekat. Ah, aku mengenali tangan besar yang diletakkan di atasku ini sebagai tangan pemilikku.
“Jadi, kamu dari Basilika langsung pulang?”
“Ya. Mengenai hal itu, ada orang yang menitipkan barang kepada saya untuk kamu.”
Federico melepaskanku, lalu dia beranjak dan mengambil barang yang dimaksud sebelum kembali bergabung di atas kasur. Barang itu berupa bungkusan yang dibuka dengan perlahan dan berhati-hati seolah itu adalah barang berharga. Keduanya menanti dengan sabar sebelum Yoshina memecah kesunyian,
“Permen? Dari siapa?”
“Serpilia.”
“Wah, berarti dia sekarang lagi di Laterano, ya …. Dia sering ambil cuti darat sih.”
Sementara itu, guntur menyambar di kejauhan. Sekarang tangan yang menggerayangi tubuh di balik balutanku menjadi dua.
“Syal merah ini cocok buat kamu," bisik suara feminin itu. Aku pernah mendengar nada bicara seperti itu di dalam drama romansa di televisi.
“Kamu sudah sering mengatakannya.” Pemilikku menjawab tanpa emosi. Satu tangan yang kecil sempat mencolek satu tangan yang besar sebelum ditangkap oleh si tangan besar itu.
“Iya.” Akhirnya si tangan kecil menyerah dan pasrah saja ditekan padaku.
"Dari apa yang sudah saya pelajari dengan kamu selama satu tahun belakangan ini, saya mulai mengerti bahwa kecocokan suatu warna terhadap suatu hal berhubungan dengan makna warna itu sendiri.”
Mereka kemudian berbicara panjang-lebar sekali, mengenai segala hal yang berkaitan dengan merah. Terpaan air hujan pada kaca jendela tidak mengganggu percakapan mereka. Malahan, mereka asyik menghabiskan sepanjang waktu di tempat tidur—itu juga terpotong hanya karena mereka harus sarapan. Suatu waktu dulu, ketika mereka masih sangat sering menjelajah di atas kapal darat, sudah ditetapkan dengan keras di antara mereka bahwa mereka hanya akan makan di meja makan. Atau, tempat sejenisnya. Yang pasti, tempat tidur adalah tempat yang sangat sakral. Mereka hanya boleh fokus pada kebutuhan istirahat di sana—dan hal lainnya.
Suhu kamar tidak terpengaruh oleh hujan yang masih deras di luar, bahkan saat mereka berdua sudah kembali. Kamar terasa hangat. Pantas saja Yoshina amat betah bermalas-malasan di sini, sambil masih bermain-main denganku. Federico sekarang bermain-main denganku juga, tetapi lebih karena ada bagian tubuh yang paling disukainya di balikku, milik orang yang dikasihinya. Sesekali Yoshina mengatakan, syal ini sangat cocok dengan Federico, dan siapa pun yang memilihkan bahan dan warna ini adalah malaikat sesungguhnya. Federico bergumam, Yoshina gemar sekali melebih-lebihkan ucapannya sendiri. Wanita itu kemudian bilang, aku mengingatkannya pada saat Federico tetap berdiri tegap di medan perang meski badannya sudah babak belur. Merah pada kain, merah pada kulit. Darah di mana-mana. Harus kuakui, bukan dia saja yang merinding, melainkan aku juga. Pria ini menghadapi begitu banyak hal di luar sana, dari hal remeh-temeh sampai hal ekstrem yang membahayakan nyawa. Aku, sebagai salah satu saksi mata atas semua perbuatannya yang tak gentar itu, selalu berdoa semoga pemilikku baik-baik saja di mana pun dia berada, agar aku bisa terus menemani perjalanan hidupnya. Agar orang-orang yang mengasihinya bisa terus menguntai kisah bersamanya. Keenam saudaraku lainnya juga sepakat dengan itu.
Federico lalu menjelaskan bahwa, seperti yang pernah mereka bahas dulu, merah berarti tindakan, energi, gairah, dan kekuatan. Yoshina mengamini; keempat makna itu sangat berkaitan dengan pria itu. Federico adalah definisi tindakan, seorang pria yang lebih banyak membuktikan dengan perbuatan. Kapan pun dia menunjukkan diri untuk melaksanakan misi, dia seolah tidak kehabisan energi dan kekuatan. Selain daripada itu, ada gairah juga di dalam matanya, sesuatu yang mendorongnya untuk selalu mencari. Wanita itu mencetus apakah Federico selalu merasa bingung. Federico bergumam bahwa dia ingat dengan suatu kejadian di mana Arturia, saudaranya, juga mengatakan hal yang sama. Tidak bisa dipungkiri bahwa Yoshina memang lihai menghubung-hubungkan konsep abstrak, bahwa meskipun orang-orang bilang Federico terlihat tidak memiliki emosi, dia melihat pria itu memiliki gairah di dalam matanya.
"Kamu sudah mengatakannya dua kali."
"Cuma mau menegaskan, kok."
Warna ini rupanya memiliki makna yang mendalam bagi mereka. Sehabis menjelaskan keterkaitan merah pada diri Federico, Yoshina lanjut menjabarkan bahwa dia juga menyukai merah. Ada kehidupan yang tercelup di dalam warna itu, yang menjadi sesuatu yang menyemarakkan segalanya. Yoshina bilang, penampilan Federico dulu sangat kalem—kalau bukan membosankan. Orang-orang langsung melupakan Federico pada kesan pertama, karena pria itu tidak banyak berbicara. Federico lebih suka sat-set-sat-set; lebih banyak bertindak. Itu yang paling disukai wanita itu. Kini, penampilan Federico meningkat drastis. Seperti ada makna tertentu yang ingin disampaikan oleh siapa pun yang mendesain busana ini untuknya.
“Lalu, kamu bilang tadi, ada hubungan antara merah dan kita.”
“Oh, begini. Kurasa setiap kali aku melihat warna merah, aku langsung teringat padamu.”
“Tiga bulan lalu, kamu bilang kamu selalu teringat pada saya setiap kali melihat warna biru.”
“Ah, aku memang selalu ingat kamu, kok. Apa pun yang kukerjakan, apa pun yang kulihat, aku selalu teringat kamu.”
Seandainya aku memiliki indera penciuman, barangkali ada suatu aroma khas yang sedang mengambang di udara, karena aku mendengar gelas menggelenting sesaat. Sebuah dansa menyusuri sekujur tubuhku yang menyelimuti tubuh kedua manusia itu. Sesekali percakapan mereka terhenti, yang hanya disusul rintik hujan dan gesekan kain. Segalanya berangsur-angsur beralih antara satu suara ke satu suara lainnya. Ada napas yang memburu. Dan, aku terus digerayangi di sela-sela kulit yang saling bersentuhan. Padahal sudah bertahun-tahun aku bersama pria ini, tetapi aku tidak akan pernah mengerti cara hidup manusia.
“Kamu sudah terbiasa melakukan ini, ya?”
Suara yang bernada main-main itu hanya dijawab dengan bunyi seperti kecapan yang nyaris tak terdengar. Wanita itu ternyata belum kehabisan bahan pembicaraan, jadi dia melanjutkan perkataannya,
“Kamu tidak pernah takut."
Ada jeda sejenak sebelum Federico menyahut, “Benar, saya tidak takut. Apa pun rintangan yang ada, akan saya hadapi.”
“Dalam menghadapi semua itu …, aku mau menemani kamu. Boleh, ‘kan?”
Mereka bergeming, lalu Yoshina terkikik, dan mereka diam. Aku masih ditarik-tarik, terkadang dengan lembut dan keras. Ada bisikan pelan di antara mereka, seolah itu adalah rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun, bahwa merah itu cantik. Merah adalah perwujudan dari keberanian, kekesatriaan, dan cinta. Wanita itu meyakini bahwa merah pada esensinya adalah kehidupan. Enyahkan saja merah dari suatu benda, dan benda itu sudah kehilangan kehidupannya.
“Tapi, ada pengecualian buat kamu.”
“Apa itu?”
“Buang warna merah dari bajumu, dan kamu masih punya merah pada tindak-tandukmu.”
“Tolong jelaskan apa maksud kamu.”
“Kamu pemberani. Kamu baik hati, tapi tetap tegas. Kamu kuat. Kamu pantang menyerah. Menurutku itu benar-benar penggambaran makna warna merah.”
Wanita itu terus menghujani pria di dalam dekapannya dengan pujian-pujian. Ada pergerakan lainnya di tempat tidur, dan dia mengerang pelan. Kurasa aku akan cepat terbiasa dengan aktivitas mereka ini, karena bagaimana bisa mereka sanggup menghabiskan waktu yang begitu lama setiap kali melakukan ini? Mereka kemudian bergeming kembali dalam keheningan yang menenangkan, saling menenggelamkan diri di dalam pelukan satu sama lain.
“Federico.”
“Ya?”
“Menurut kamu, apa hubungan warna merah dengan kita?”
“… seperti yang kamu jelaskan di awal, saya adalah definisi merah, dan saya juga melihat kamu sebagai warna merah. Kamu tidak menyerah untuk memperjuangkan apa yang kamu inginkan. Cukup itu saja sudah membuktikan bahwa merah berkaitan erat dengan kita berdua.”
“Aku agak tidak menduga jawaban satu itu, tapi kurasa itu benar juga.”
“Saya tidak mengerti.”
“Karena kamu memang dari sananya sudah kuat dan pemberani, makanya warna merah ini semakin menonjolkan kelebihanmu itu. Setiap kali aku melihat syal ini di bahumu, aku juga ingin menjadi kuat dan pemberani seperti kamu.”
“Tidak perlu memaksakan diri kamu, Yoshina. Saya menerima kamu apa adanya.”
“Tidak apa-apa, kok! Federico. Ini memang aku yang mau. Karena kamu, aku mau berubah menjadi lebih baik."
Rintik hujan masih menghambur pada kaca jendela, menimbulkan suara lembut yang menidurkan. Yoshina membalutkan aku pada lengan Federico yang kokoh. Menurutku, merah juga berarti hangat. Cara mereka berdua memperlakukan satu sama lain … benar-benar hangat. Aku yang hanya sebuah syal merah ini merasa beruntung karena dilibatkan dalam hubungan antara dua manusia yang sama-sama berhati lembut ini.
.🌿.