Cikuuniverse
4 min readJan 13, 2024

Dalam suatu situasi yang mendebarkan, aneh rasanya jika debaran itu hadir saat kita sedang melakukan kegiatan rutinitas yang setiap harinya kita jalani.

Dan itu lah yang sedang Wonwoo rasakan sekarang. Entah mengapa dadanya terasa berdebar, padahal jika dipikir-pikir ia sudah terlampau sering berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, bertemu dengan orang yang berbeda di satu hari yang sama, dan bersandiwara dengan senyum hangat dengan penuh maksud dan kepalsuan.

Tapi mengapa pada siang terik hari ini, tepat pada pukul 12.55 rasanya cukup berbeda dan dipenuhi perasaan yang aneh?

“Pak Wonwoo, ini tolong diisi dulu ya buku tamunya.”

Suara berat dari dalam pos satpam membuyarkan lamunannya, ia benarkan terlebih dahulu kacamata bulat yang bertengger pada batang hidung tajamnya, menaruh ponsel pintarnya pada saku celananya, lalu beranjak mendekati pos satpam tempat suara itu berasal.

Langkahnya sudah berada tepat di depan pos penjagaan pintu masuk, sorot matanya langsung tertuju pada buku tamu yang wajib ia isi sebelum melalukan kunjungan.

“Diisi disini, Pak?” Tanya Wonwoo memastikan kembali pada seorang pria paruh baya saat ingin memulai menuliskan namanya pada buku tamu.

“Iyaa, Bapak disitu. Si Bapak kayak gak pernah ngisi buku tamu disini aja.” Celetuk pria paruh baya tersebut.

Wonwoo hanya tersenyum simpul, lalu lanjut menuliskan namanya di atas kertas putih yang sudah terisi beberapa nama di atasnya.

“Ya maklum, Pak. Udah lama gak ke sini jadinya agak lupa. Tapi Bapak gak lupa sama saya kan?” Tanya Wonwoo hanya untuk sedikit mencairkan suasana di siang yang terik itu. Yang pastinya mengundang gelak tawa dan tepukan kecil pada bahu lebarnya.

“Hahaha si Bapak makin lucu aja nih.” Begitulah responnya. “Ya nggak lah, masa saya lupa sama Bapak. Tapi saya sempet heran sih kenapa si Bapak gak kesini-sini. Padahalkan dulu sering banget kesini, ya minimal seminggu sekali lah saya lihat, Bapak.”

“Saya, juga maunya seminggu sekali kesininya, Pak. Tapi kemarin saya baru dapat info kalo Pak Agungnya udah gak bisa saya temuin lagi, Pak.” Wonwoo menyelesaikan tulisannya, lalu menggeletakan kembali pena hitam itu di atas kertas putih bertuliskan namanya.

“Oh iya, soalnya Pak Agung kan sudah pindah divisi, Pak. Bukan purchasing lagi, sekarang dipindahin ke logistik.”

Gotcha. Satu umpan berhasil ia pancing dengan mulus.

Bukan tanpa maksud tiba-tiba Wonwoo membuka obrolan dengan membawa salah satu nama pekerja di perusahaan ini. Ada sesuatu yang ingin gali dan ketahui sedikit kebenarannya.

Walaupun bukan dari narasumbernya langsung, tidak ada salahnya bukan mencari tahu dari orang terdekat yang masih dalam satu lingkup ruang kerja?

“Kenapa Pak, kok bisa tiba-tiba banget di ganti? Saya sih tahu Pak Agung udah pindah divisi, cuman ya gak dikasih tau alasannya. Ini sekarang saja saya mau ketemu sama penggantinya Pak Agung.” Jelasnya, bermaksud menebar lebih banguak untuk semakin mendapatkan hasil pancing yang memuaskan.

Beramah-tamah dan sedikit ingin tahu tentang suatu perusahaan yang akan menjadi targetnya sudah merupakan tugas utama pekerjaan Wonwoo.

Ibaratnya saat ini Wonwoo sedang berada di dalam medan perang, bukankah setidaknya dia harus memiliki strategi untuk memenangkan peperangan tersebut?

“Wah, kalo alasan pastinya mah saya kurang tahu.”

Jawabannya sedikit terdengar mengecewakan, tapi semengecewakan apapun jawabannya, senyum palsu itu tetap akan tepatri pada wajah tampan Wonwoo. Layaknya seorang aktor, Wonwoo sudah sangat leluasa menggunakan topengnya.

“Tapi yang saya tahu sedikit nih, Mas. Penggantinya Pak Agung itu kenalannya direktur PT ini. Katanya sih dulu temen masa kuliah yang deket banget gitu.” Tubuh pria paruh baya itu sedikit mencondong ke arah Wonwoo, nada suaranya ia pelankan dan lirikan matanya sedikit was-was menilisik pada kanan-kiri mereka. Tepat saat itu Wonwoo tau kemana arah pembicaraan itu mengalir.

Wonwoo memindahkan segelas kopi hitam dingin dari tangan kirinya ke tangan kanannya. Kopi dingin yang sempat ia beli di salah satu minimarket terdekat. Ia ambil dari dalam plastik di tangan kirinya, sengaja ia taruh di tangan kananya agar lawan bicaranya menyadari kehadiran segelas kopi yang nantinya akan ia gunakan sebagai ucapan terimakasih.

“Walah, gitu toh. Ah tapi mah mungkin direkturnya emang lagi cari yang muda aja. Soalnya kan kalo yang muda, biasanya lebih ngerti harga.”

“Kayaknya sih begitu ya Pak. Soalnya anak saya tuh yang muda paling pinter kalo cari harga yang paling murah.”

Percakapan mereka, mereka tutup dengan tawa kecil yang terdengar canggung. Berusaha menutupi obrolan yang lebih terdengar seperti gosip. Lagipula mana ada obrolan biasa yang minumbulkan rasa was-was di antara kedua belah pihak.

“Yasudah kalo begitu, Pak. Saya izin masuk ke dalam dulu ya, Pak. Udah ditungguin pasti sama Pak Mingyu nya.” Pamit Wonwoo pada pria paruh baya itu. Namun sebelum meninggalkan tempatnya berdiri, tangannya terulur memberikan segelas kopi hitam dingin yang terasa sangat menyegarkan. “Buat temen jaga, Bapak.”

“Eh gak usah repot-repot, Pak. Aduh saya gak enak nih sama Bapak.” Nadanya memang terdengar menolak, tapi seulas senyum pada wajah yang mulai dipenuhi kerutan itu tak dapat berbohong bahwa sebenarnya ia senang saat diberikan segelas kopi.

“Nggak repot kok, Pak. Orang saya sengaja memang belikan buat Bapak. Sok atuh di ambil.” Rayu Wonwoo, telapak tangannya semakin menyodorkan gelas kopi itu agar segera diterima oleh pria paruh baya itu.

“Waduh, jadi gak enak. Tapi kalo beneran buat saya, saya ambil ya Pak. Saya beneran gak enak loh sama Bapak.” Ucapnya masih menolak, tapi berbanding terbalik dengan telapak tangannya yang meraih gelas kopi itu dari genggaman Wonwoo. “Terimakasih banyak ya, Pak.”

“Iya, sama-sama Pak. Ini saya masuk ke lobi nya ya Pak. Makasih Pak.”

“Iya monggo-monggo di tunggu di lobi saja, Pak.”

Tepat setelah mendapatkan izin untuk melangkah lebih jauh, kaki-kaki panjangnya mulai meninggalkan pos satpam, merubah pijakan agar langkah-langkahnya semakin mendekati pintu kaca yang akan membawa dirinya masuk dan dipertemukan dengan seseorang yang telah ia nantikan.

Mingyu. Nama itu yang begitu Wonwoo nantikan pertemuanya. Namun saat langkahnya semakin mendekati pintu kaca, deberannya perlahan menghilang.

Karena dari obrolanya dengan security tadi cukup menyakinkan Wonwoo, kalau ia bukan menemui seseorang yang menawan dan hebat seperti perkataan teman-temannya.

Melainkan ia akan bertemu dengan seorang pria muda yang menyebalkan, angkuh, dan penuh dengan nepotisme.